Dilarang Dipakai Tamu Undangan Pernikahan Kaesang-Erina, Ini Makna Filosofis Motif Parang

Sabtu, 10 Desember 2022 - 09:35 WIB
loading...
Dilarang Dipakai Tamu Undangan Pernikahan Kaesang-Erina, Ini Makna Filosofis Motif Parang
Kain motif parang tidak boleh sembarangan dikenakan di area Pura Mangkunegaran, motif tersebut hanya boleh dipakai oleh raja dan ksatria kerajaan. / Foto: ist
A A A
JAKARTA - Pernikahan Kaesang Pangarep-Erina Gudono ternyata memiliki satu aturan yang wajib ditaati tamu undangan. Ya, tamu undangan dilarang mengenakan kain motif parang. Aturan tersebut berlaku dengan tegas.

Apabila ada tamu undangan nekat datang memakai kain bermotif parang, dipastikan ditolak masuk ke lokasi acara. Kaesang Pangarep pun menjelaskan aturan ini. Menurutnya, kain motif parang tidak boleh sembarangan dikenakan di area Pura Mangkunegaran. Motif tersebut hanya boleh dipakai oleh raja dan ksatria kerajaan.

"Yang boleh pakai motif parang kan hanya Kanjeng Gusti, yang lain kan rakyat biasa, ya, pakai batik pada umumnya," ungkap Kaesang pada awak media, beberapa waktu lalu.

Baca juga: Motif Batik yang Dikenakan Kasang Pangarep saat Siraman Ternyata Memiliki Makna Mendalam

"Kalau kelupaan dan masih pakai batik parang, di depan (Pura Mangkunegaran) ada banyak toko batik, jadi silakan beli," lanjut dia.

Aturan larangan mengenakan kain batik parang ini pun sempat menghebohkan publik. Padahal sudah jelas bahwa itu terkait dengan aturan yang berlaku di area Pura Mangkunegaran, lokasi resepsi pernikahan Kaesang-Erina.

MPI pun mencoba mendalami soalan motif parang ini. Diterangkan Desainer Motif Batik dan Penggiat Batik Tulis Pewarna Alami, Agnes Dwina Herdiasti bahwa motif parang punya kedudukan tinggi di Tanah Jawa.

Menurut Agnes, motif parang masuk dalam kategori motif larangan di lingkup keraton Solo maupun Yogyakarta. Artinya, hanya boleh dikenakan oleh raja dan keluarga, serta kerabatnya.

"Itu pun ada aturan ketatnya tersendiri," ujar Agnes melalui aplikasi pengirim pesan, Sabtu (10/12/2022).

"Besar kecilnya bidang parang menentukan status atau kedudukan seseorang di lingkup tersebut. Jadi tidak ada yang boleh menyamai apalagi melebihi ukuran parang seorang raja, demikian berlaku untuk strata di bawah raja," terangnya.

Agnes juga menjelaskan bahwa parang itu sendiri berasal dari kata 'pereng' yang berarti tebing, polanya garis-garis diagonal 45 derajat. Sudut 45 derajat pun memiliki makna filosofis.

Adalah sudut sakral karena menunjukkan perjuangan seorang pemimpin dari dasar, bertirakat yang diibaratkan menaiki bukit menuju puncak gunung (manunggaling kawula Gusti), untuk kemudian membawa wahyunya turun demi kemakmuran rakyatnya.



"Parang tercipta dari perjalanan tirakat panjang Danang Sutawijaya di tebing pantai selatan sebelum akhirnya memulai babad alas Mentaok yang mengawali berdirinya kerajaan Mataram. Danang Sutawijaya kemudian bergelar Panembahan Senopati, penguasa pertama Kerajaan Mataram," jelas Agnes.

Dia melanjutkan, bentuk-bentuk yang terdapat pada motif parang menyimpan kode rahasia alam semesta yang sangat tinggi tingkatannya, hingga di zaman itu hanya orang yang waskita saja yang tahu maknanya.

Simbol-simbol tersembunyi dengan sangat rapatnya. Misalnya, diketahui kemudian bahwa di dalam motif parang tersembunyi simbol burung rajawali yang tidak bakal bisa terlihat oleh mata orang awam.

"Dari buku 'Batik-Filosofi, Motif & Kegunaan' yang disusun oleh Adi Kusrianto (2013), dijelaskan bagaimana objek rajawali didekonstruksi sedemikian rupa, menjadi bentuk dengan stilisasi tingkat tinggi," terang Agnes.

Ada bagian kepala burung yang didekonstruksi menjadi bagian motif yang disebut 'uceng' yang bermakna alam pikiran seorang raja atau pemimpin; bagian paruh yang beralih bentuk menjadi lidah api, menggambarkan kemampuan seorang raja yang memiliki 'sabdo dadi' (apapun yang diucapkan akan terjadi); bagian badan yang melukiskan kekuatan fisik, dan lain sebagainya.

"Ya, burung dijadikan simbol tahta tertinggi di banyak kebudayaan di belahan bumi manapun. Dan burung rajawali atau garuda adalah makhluk bumi yang bisa terbang mendekati langit atau surga. Burung rajawali juga merupakan simbol 'Wong Agung' atau manusia di atas rata-rata," tutur Agnes.

"Hal unik dan khas dari Parang justru karena mata awam tidak bisa melihat bentuk burung tersebut. Ini tentunya sejalan dengan falsafah Jawa yang mengedepankan aspek rasa dan kepantasan, yang mana keunggulan diri tidak boleh dipamerkan. Semakin tinggi kedudukan dan ilmu seseorang, semakin halus dan berkias bahasanya," katanya lagi.

"Karena segala keutamaannya, motif Parang kata orang Jawa bilang 'abot sanggane' atau berat tanggung jawabnya, sehingga tidak bisa sembarang orang mengenakannya," sambungnya.

Baca juga: Pesta Pernikahan Kaesang-Erina Akan Sajikan Pesta Kuliner dan Panggung Hiburan untuk Masyarakat

Jadi, diibaratkan orang awam yang tidak pernah merasakan tirakat dan alam pikirannya berada dalam keheningan, mereka tidak akan mampu mengemban tanggung jawab kepada masyarakat yang berada di bawahnya.
(nug)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1938 seconds (0.1#10.140)