Durasi Tidur Pengaruhi Risiko Terkena Stroke
A
A
A
WASHINGTON - Orang yang memiliki tekanan darah tinggi yang tidur kurang dari 5 jam atau lebih dari 8 jam tiap malam memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena stroke. Hal ini didasarkan dari sebuah penelitian terbaru.
Dikutip dari CBS, para periset menganalisa data dari lebih dari 200.000 warga Amerika Serikat (AS) yang memiliki tekanan darah tinggi alias hipertensi. Dari analisa ini, para ilmuwan menentukan, orang-orang yang tidur kurang dari 5 jam per hari memiliki 83% peningkatan risiko stroke jika dibandingkan dengan mereka yang tidur 7—8 jam tiap hari.
Menurut kajian ini, mereka yang tidur lebih dari 8 jam tiap hari menghadapi 74% peningkatan risiko terkena stroke dibandingkan mereka yang tidur dengan jam “sehat”.
“Kami kaget, terutama dengan mereka yang melaporkan kurang tidur, karena sebagian besar kajian hanya memperlihatkan peningkatan kecil dalam peluang terkena stroke terhadap mereka yang durasi tidurnya pendek. Kajian kami memperlihatkan peningkatan risiko stroke yang lebih tinggi, hampir dua kali lipat,” papar penulis kajian itu, Oluwaseun Akinseye, resident di pengobatan internal di Icahn School of Medicine of Mount Sinai Hospital di New York City.
Meskipun kajian ini menemuka kaitan antara durasi tidur dan risiko stroke terhadap orang-orang yang menderita tekanan darah tinggi, kajian ini tidak dirancang untuk membuktikan hubungan sebab akibat.
Menurut para penulis kajian itu, sekitar sepertiga orang dewasa di Amerika Serikat (AS) terdampak tekanan darah tinggi. Kondisi ini adalah faktor risiko terkena stroke dan juga bentuk lain penyakit jantung.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS, tiap tahun ada sekitar 800.000 orang di AS yag terkena stroke. Mereka juga menyatakan, stroke juga merupakan penyebab utama disabilitas di AS. Mayoritas stroke dipicu penyumbatan darah di otak, sementara sisanya terjadi ketika pembuluh darah pecah.
Akinseye dan koleganya menggunakan data yang dikumpulkan selama 9 tahu dari US National Health Interview Survey terhadap 204.000 warga AS yang menderita hipertensi. Secara keseluruhan, risiko stroke hampir 14% di antara orang-orang yang tidur terlalu lama, 11% terhadap mereka yang kurang tidur, 6% pada yang tidur dalam waktu pendek sekitar 5—6 jam, dan sekitar 5% pada yang tidur dengan durasi normal.
Menurut Akinseye, belum jelas mengapa durasi tidur berkaitan dengan risiko stroke. Tapi, dia menambahkan, jumlah mata terpejam terkait level kortisol—yang juga dikenal sebagai hormon stres—yang lebih tinggi di dalam tubuh. Sementara, durasi tidur yang panjang terkait pelepasan zat kimia perangsangan.
Amy Tai, seorang asisten dosen klinis neurologi dan ilmu neurologi di Stanford University School of Medicine di Palo Alto, California, meyebut, hasil kajian itu terbatas karena partisipan melaporkan sendiri durasi tidur mereka.
“Kalau melaporkan sendiri, sulit untuk mengukur kualitas tidur yang didapatkan pasien. Sulit untuk mengetahui apakah ada denominator umum mandiri yang dibagikan pasien yang tidak tertangkap,” papar Tai, yang tidak terlibat dalam riset baru itu.
Menurut Tai, di masa mendatang riset terbaru harus memasukkan bentuk pencatatan tidur yang lebih terpercaya. “Ada monitor yang mengukur tidak hanya durasi tapi juga kualitas tidur. Saya kira kajian yang menggunakan pengukuran tidur yang lebih objektif seperti peralatan jarak jauh atau bisa direkam akan membantu dalam menangkap data karena melaporkan sendiri itu punya batasan,” ujar dia.
Dikutip dari CBS, para periset menganalisa data dari lebih dari 200.000 warga Amerika Serikat (AS) yang memiliki tekanan darah tinggi alias hipertensi. Dari analisa ini, para ilmuwan menentukan, orang-orang yang tidur kurang dari 5 jam per hari memiliki 83% peningkatan risiko stroke jika dibandingkan dengan mereka yang tidur 7—8 jam tiap hari.
Menurut kajian ini, mereka yang tidur lebih dari 8 jam tiap hari menghadapi 74% peningkatan risiko terkena stroke dibandingkan mereka yang tidur dengan jam “sehat”.
“Kami kaget, terutama dengan mereka yang melaporkan kurang tidur, karena sebagian besar kajian hanya memperlihatkan peningkatan kecil dalam peluang terkena stroke terhadap mereka yang durasi tidurnya pendek. Kajian kami memperlihatkan peningkatan risiko stroke yang lebih tinggi, hampir dua kali lipat,” papar penulis kajian itu, Oluwaseun Akinseye, resident di pengobatan internal di Icahn School of Medicine of Mount Sinai Hospital di New York City.
Meskipun kajian ini menemuka kaitan antara durasi tidur dan risiko stroke terhadap orang-orang yang menderita tekanan darah tinggi, kajian ini tidak dirancang untuk membuktikan hubungan sebab akibat.
Menurut para penulis kajian itu, sekitar sepertiga orang dewasa di Amerika Serikat (AS) terdampak tekanan darah tinggi. Kondisi ini adalah faktor risiko terkena stroke dan juga bentuk lain penyakit jantung.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS, tiap tahun ada sekitar 800.000 orang di AS yag terkena stroke. Mereka juga menyatakan, stroke juga merupakan penyebab utama disabilitas di AS. Mayoritas stroke dipicu penyumbatan darah di otak, sementara sisanya terjadi ketika pembuluh darah pecah.
Akinseye dan koleganya menggunakan data yang dikumpulkan selama 9 tahu dari US National Health Interview Survey terhadap 204.000 warga AS yang menderita hipertensi. Secara keseluruhan, risiko stroke hampir 14% di antara orang-orang yang tidur terlalu lama, 11% terhadap mereka yang kurang tidur, 6% pada yang tidur dalam waktu pendek sekitar 5—6 jam, dan sekitar 5% pada yang tidur dengan durasi normal.
Menurut Akinseye, belum jelas mengapa durasi tidur berkaitan dengan risiko stroke. Tapi, dia menambahkan, jumlah mata terpejam terkait level kortisol—yang juga dikenal sebagai hormon stres—yang lebih tinggi di dalam tubuh. Sementara, durasi tidur yang panjang terkait pelepasan zat kimia perangsangan.
Amy Tai, seorang asisten dosen klinis neurologi dan ilmu neurologi di Stanford University School of Medicine di Palo Alto, California, meyebut, hasil kajian itu terbatas karena partisipan melaporkan sendiri durasi tidur mereka.
“Kalau melaporkan sendiri, sulit untuk mengukur kualitas tidur yang didapatkan pasien. Sulit untuk mengetahui apakah ada denominator umum mandiri yang dibagikan pasien yang tidak tertangkap,” papar Tai, yang tidak terlibat dalam riset baru itu.
Menurut Tai, di masa mendatang riset terbaru harus memasukkan bentuk pencatatan tidur yang lebih terpercaya. “Ada monitor yang mengukur tidak hanya durasi tapi juga kualitas tidur. Saya kira kajian yang menggunakan pengukuran tidur yang lebih objektif seperti peralatan jarak jauh atau bisa direkam akan membantu dalam menangkap data karena melaporkan sendiri itu punya batasan,” ujar dia.
(alv)