Musuh Kita Lemak, Bukan Daging

Selasa, 30 Juni 2015 - 09:36 WIB
Musuh Kita Lemak, Bukan...
Musuh Kita Lemak, Bukan Daging
A A A
Secara makro, ditinjau dari sisi sustainability atau keberlanjutan, konsumsi daging memang perlu dicermati secara khusus.

Seekor sapi potong – bergantung beratnya – memerlukan sekitar 30-50 liter setiap hari, dan 15-25 kilogram rumput untuk pakannya. Statistik ini cukup jelas menggambarkan bahwa peningkatan konsumsi daging sapi secara global, dapat mengancam kelestarian bumi. Para pejuang lingkungan juga sering mengemukakan fakta bahwa peternakan sapi telah mengakibatkan peningkatan emisi gas rumah kaca ke tingkat yang membahayakan.

Statistik ini pula yang sering dikemukakan oleh mereka yang mempromosikan pola konsumsi vegetarianisme. Tetapi, di sisi lain, kita juga paham bahwa untuk hidup sehat normal, manusia memerlukan nutrisi dari sumber daya hewani. Sebelum kita membahasnya lebih lanjut, perlu kita pahami prinsip gizi seimbang yang paling dasar, yaitu bahwa gizi harus:

1) cukup, 2) lengkap, dan 3) beragam. Dari segi kecukupan, kita biasanya mengacu pada prinsip RDA (Recommended Daily Allowance), yaitu jumlah yang diperlukan manusia setiap hari, disesuaikan dengan kebutuhan tubuh masing-masing. Dari segi kelengkapan, acuannya adalah bahwa kita semua memerlukan protein, karbohidrat, vitamin, mineral, serat, dan air sebagai asupan tubuh.
Sedangkan dari segi keragaman, pemahamannya adalah bahwa kita seyogyanya mengonsumsi aneka ragam pangan bernutrisi. Dengan pemahaman itu, kita akan menyadari bahwa konsumsi daging merupakan salah satu pilar penting untuk kesehatan tubuh kita. Sekalipun kaum vegetarian pun mendapatkan keragaman dari berbagai jenis protein yang dikonsumsi mereka – seperti: jamur, kedelai, chickpeas, dll. – tetapi jelas mereka tidak mendapatkan berbagai protein penting dari sumber hewani.

Sumber protein hewani antara lain sangat penting dalam pembentukan massa otot. Massa otot meningkatkan metabolisme tubuh dan kepadatan tulang, serta memperkuat jaringan ikat. Dua hal yang disebut terakhir berarti bahwa daging bermanfaat mencegah cedera pada tubuh manusia.

Informasi penting lainnya tentang daging adalah bahwa satu kilogram massa otot membutuhkan 14 kalori untuk mempertahankannya. Kenyataan ini membuat orang ber-analogi bahwa sebenarnya massa otot inilah yang membakar lemak dalam tubuh kita. Daging juga mengandung vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup. Daging kaya akan kandungan vitamin D, zat yang sangat penting untuk mencegah osteoporosis alias pengeroposan tulang.

Di samping itu, daging juga kaya akan vitamin B1, B2, B6, B12 – semuanya bermanfaat bagi kesehatan kita. Selain kaya akan zat besi, daging juga kaya akan berbagai mineral penting seperti: seng dan selenium. Bahkan orang-orang yang menjalani diet sehat pun memerlukan daging – terutama untuk pembentukan otot yang berfungsi “memakan” lemak.

Banyak teman-teman saya yang bertanya mengapa pada usia 65 tahun saya belum mengurangi konsumsi daging. Jawaban saya sederhana: “Musuh saya bukanlah daging, melainkan lemak.” Daging tanpa lemak – dalam porsi yang cukup – justru dibutuhkan bagi kaum senior yang sehat. Pengurangan atau penihilan konsumsi daging hanya disarankan bagi mereka yang menderita penyakit tertentu.

Tolong diingat tentang pentingnya kandungan zat besi dalam daging sapi. Zat besi sangat penting untuk mencegah anemia (kurang darah) yang biasanya ditandai dengan 5L: Lemah, Letih, Lesu, Lelah, Lalai. Banyak sekali kaum senior yang menunjukkan gejala itu, bukan? Secara bergurau, saya sering berkata:

“Saya tidak darah tinggi karena makan steak atau sate kambing. Saya justru stress dan darah tinggi bila seminggu tidak berjumpa steak atau sate.” Tetapi, porsinya memang tidak pernah berlebihan. Bila memesan satu porsi sate yang isinya sepuluh tusuk, paling banyak saya hanya makan empat tusuk. Itupun hanya saya makan dagingnya. Lemaknya tidak saya makan.

Perhatikan juga orang-orang Barat bila makan steak. Pasti pertama kali mereka mengiris bagian lemak dan kemudian menyingkirkannya. Lemak sendiri tetap diperlukan pada proses membakar sate atau steak agar aromanya harum dan penampilannya cantik. Hadirnya lemak dan jeroan dalam kuliner Indonesia memang perlu lebih dicermati dari pemahaman prinsip makan sehat.

Misalnya, sudah sejak lama saya menghindari oseng-oseng mercon, kuliner heboh khas Yogya. Lihat saja ke pancinya. Sebelum dipanaskan, tampak lemak beku yang mengeras sampai tebal sekali. Lemak itulah yang nantinya berpotensi menyumbat arteri kita. Tentang jeroan sapi, karena memang enak dan saya sukai, saya belum sepenuhnya dapat menghapusnya dari diet saya.

Bila diproses dengan bersih dan dimasak lezat, saya masih sesekali menyantapnya. Satu usulan lain dari saya tentang daging sapi dalam kuliner kita adalah pemahaman tentang bagian-bagian mana dari daging sapi yang cocok untuk jenis masakan tertentu. Orang-orang Eropa dan Amerika sangat paham tentang jenis daging. Misalnya, untuk steak, yang biasa dipakai adalah sirloin (has luar) dan tenderloin (has dalam).

Dari namanya sudah dapat kita duga bahwa tenderloin lebih empuk dan lembut dibanding sirloin. Sebaliknya, stew alias semur selalu dibuat dari bagian daging sapi yang lebih murah, seperti chuck atau brisket. Di Purwakarta, misalnya, maranggi alias sate sapi manis bisa dibuat dari bagian mana saja dari seekor sapi. Padahal, bila dikategorikan jenis dagingnya, mereka bisa menyajikan sate dengan berbagai tingkat harga – sesuai dengan kualitas dagingnya.

Di Bandung, khusus untuk sate kambing, sudah ada pembedaan harga untuk sate yang dibuat dari sineureut – bagian paha kambing yang paling empuk dagingnya. Di Jawa Timur juga belum ada standarisasi, misalnya: untuk rawon sebaiknya memakai bagian gandik (round). Semakin kita memahami kualitas dan karakteristik daging sapi, semakin tepat kita bisa mengaplikasikannya kepada masakan yang kita olah.

Setiap bagian daging sapi perlu dibedakan pemanfaatannya serta cara memasaknya. Ada yang perlu dimasak cepat dengan api besar, ada pula yang harus dimasak dengan api kecil dalam waktu lama. Diperlukan re-edukasi secara umum bagi masyarakat kita tentang teknik memasak dan ilmu bahan makanan. Bila kita berbelanja daging sapi di toko swalayan, khususnya pada daging sapi impor seperti True Ausssie Beef, jenis-jenis daging sapi ini tertera dengan jelas pada labelnya.

Daging sapi impor dari Australia ini juga diketahui sebagai sumber zat besi terbaik, lebih tinggi dari zat besi pada ayam, ikan, dan sayuran. Pada dasarnya, meningkatkan pemahaman kita pastilah pada gilirannya akan meningkatkan apresiasi kita terhadap kuliner Indonesia.

Bondan Winarno
Pengamat Kuliner dan Nutrisi
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1206 seconds (0.1#10.140)