Puncak Acara di Kelimutu

Jum'at, 28 Agustus 2015 - 07:58 WIB
Puncak Acara di Kelimutu
Puncak Acara di Kelimutu
A A A
FESTIVAL Kelimutu yang digelar pada bulan Agustus ini mencapai klimaksnya saat upacara Pati Ka DuPati Ka Dua Bapu Ata Mata di Puncak Kelimutu. Inilah cara yang dilakukan orang Ende untuk berterima kasih kepada leluhurnya.

“Dua Bapu Ata Mata, Babo Mamo Ku Kajo (Nenek moyang dan para leluhur). Leja Ina Kami Mai Tii Tu ( Hari ini kami datang membawa ).

Ola Kema Mbale - Ola Bugu Supu Gha Kanga Pu).Ola Kema Mbale - Ola Bugu Supu Gha Kanga Puu Kelimutu ( Hasil kerja kami di atas pelataran agung Kelimutu ). Ngodho Molo - Simo Pawe ( Terimalah semuanya ini dengan baik ). Kami Iwa Se). Kami Iwa Seu - Kami Iwa Sengge ( Kami tidak ingin menguasai ). Kami Menga Fe Naja Dede Ngere Lele ( Kami hanya memanggil namamu seperti desiran pohon beringin) .

Wake Naja Ame Ngere Mase ( Mengagungkan namamu seperti batu perkasa ).Tau Mbeo Sawe Mena Du Ghale ( Agar semua yang dari Timur dan Barat tahu ). Miu Ata Jaga Mutu Masa ( Kamu yang menjaga Kelimutu ). Jaga Mara Mamo Ana ( Lindungilah Anak Cucu ). We Ende Lio Sare Pawe ( Agar Ende Lio Baik dan Sejahtera).”

Demikian beberapa kalimat yang diucapkan salah seorang pemangku (mosalaki ) dari desa penyangga adat Kelimutu saat upacara Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata di Puncak Kelimutu. Upacara adat yang rutin diadakan setiap 14 Agustus ini bermakna memberikan penghormatan kepada leluhur yang dipercaya jiwanya atau mae tinggal di Kelimutu untuk selama-lamanya.

Upacara adat ini diawali dengan berkumpulnya sekitar 20 mosalaki dari desa penyangga adat Kelimutu. Ditambah dengan Bupati Marselinus YW Petu dan Wakil Bupati Ende Djafar Achmad, serta pejabat muspida lainnya. Setelah didoakan, sebagian besar dari mosalaki kemudian membawa pane , piring saji yang terbuat dari tanah liat. Pane tersebut berisikan daging babi, beras lokal, ayam kampung, sirih pinang dan tembakau.

Adapun sebagian kecil lainnya membawa tungku yang berisikan moke, air putih dan kopi. Untuk menuju lokasi upacara, para mosalaki , pemimpin daerah, dan masyarakat penyangga adat, serta ribuan peserta upacara harus melewati tangga dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Kemudian dilanjutkan dengan jalan yang dibatasi jurang. Total jarak tempuh peserta upacara dari tempat berkumpul hingga lokasi acara sekitar 700 meter ke arah Puncak Kelimutu. Hampir seluruh peserta yang terlibat penuh dalam aktivitas religius ini mengenakan pakaian adat Lio-Ende.

Para pria mengenakan kain sarung khusus hasil tenunan untuk lelaki yang disebut luka dan mengenakan destar yang umumnya berbahan batik disebut lesu, dan juga tenun ikat samba atau selendang. Sementara, kaum perempuan memakai kain sarung tenun ikat yang disebut lawo dan baju adat bernama lambu. Di tempat khusus yang telah disediakan di Puncak kelimutu, para pemimpin komunitas adat melaksanakan puncak ritual Pati ka. Diawali dengan memberikan makan kepada leluhur berupa sesembahan yang dipersiapkan sebelumnya.

Caranya dengan meletakkan sesembahan di atas batu yang menjadi mesbah atau altar sesajian. Diikuti dengan pengucapan kata-kata religius atau doa oleh seorang perwakilan mosalaki . Sisa makanan yang di pane kemudian dimakan bersama oleh para tetua adat dan pimpinan daerah yang hadir. Setelah itu, mulai menyanyikan lagu tradisional dengan bahasa suku Lio- Ende yang disambut dengan tarian Gawi oleh mosalaki lainnya. Berakhirnya tarian Gawi menjadi tanda berakhirnya prosesi upacara Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata di puncak Kelimutu.

Menurut Bupati Ende Marselinus YW Petu, upacara Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata, menunjukkan sifat gotongroyong masyarakat Ende dalam menjaga alam dan membangun daerah. “Tarian Gawi dilakukan dengan cara bergandeng tangan. Artinya, mari bergandeng tangan dan bersama menjaga alam dan bekerja bersama-sama,” ucapnya seusai prosesi upacara.

Dia menuturkan, sebelum masuk ke dalam salah satu danau, para arwah terlebih dahulu menghadap konde ratu , selaku penjaga pintu masuk di perekonde. Arwah tersebut masuk ke salah satu danau yang ada, tergantung usia dan perbuatannya. Tidaklah aneh, jika tempat yang keramat ini menjadi legenda sejak lama dan berlangsung turun-temurun. Untuk diketahui, Gunung Kelimutu memiliki tinggi 1.640 meter di atas permukaan laut (dpl).

Tumbuh di dalam kaldera Sokoria atau Tubusa bersama dengan Gunung Kelido (1.641 m dpl) dan Gunung Kelibara (1.630 m dpl). Letak puncak-puncak gunung api ini terjadi karena perpindahan titik erupsi. Melalui sebuah celah yang menjurus lebih kurang utara-selatan. Di puncak Kelimutu terdapat tiga sisa kawah yang mencerminkan perpindahan puncak erupsi. Ketiga sisa kawah tersebut kini berupa danau yang warna airnya berlainan dan mempunyai ukuran diameter bervariasi.

Bernama tiwu ata polo (danau merah), tempat orang berdosa ditempatkan, tiwu nua muri koo fai (danau hijau), sebagai tempat membersihkan orang-orang berdosa, serta tiwu ata mbupu (danau biru) sebagai tempat orang-orang berbudi baik. Ketiga danau tersebut seolah-olah bagaikan dicat berwarna. Warna airnya berubah-ubah tanpa ada tanda alami sebelumnya.

Hermansah
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5857 seconds (0.1#10.140)