Waldjinah Terima Piala AMI di Solo
A
A
A
SOLO - Penyanyi musik keroncong Waldjinah kembali menorehkan prestasi menjelang usianya yang ke 70 tahun. Penyanyi berjuluk Si Walang Kekek ini menyabet penghargaan dari Anugerah Musik Indonesia (AMI) award tahun 2015 untuk kategori penampil solo/duo/grup keroncong terbaik untuk lagu Ayo Ngguyu.
Lagu Ayo Ngguyu di album Best Waldjinah Keroncong juga menyabet penghargaan kategori produser/penata musik keroncong terbaik di ajang yang sama. Penghargaan diberikan kepada produser Gema Nada Pertiwi (GNP) dan penata musik orkes musik kerongcong Bintang Surakarta.
Penghargaan untuk Waldjinah yang 7 November 2015 nanti genap berusia 70 tahun, merupakan kedua kalinya dari AMI award. Sebelumnya, pada tahun 2013 lalu, Waldjinah menyabet penghargaan Legend Award di ajang yang sama.
“Banyak orang berpikir bahwa lagu dari Bu Waldjinah merupakan rekaman lama. Padahal lagu Ayo Ngguyu merupakan hasil rekaman tahun 2013 dan dirilis akhir tahun 2014,” ujar Jaka Winata Susilo, Produser GNP, di Solo, Jumat (25/9) siang.
Ide pembuatan album berawal saat ngobrol dengan Waldjinah tentang perjalanan kariernya. Dirinya pun kemudian menawarkan kepada Waldjinah untuk membuat album rekaman baru.
Selain Ayo Ngguyu yang merupakan lagu jenawa berlanggam Jawa, tiga lagu lainnya yang berhasil direkam adalah Kembang Kacang, Gombal Gambul, dan Panglipur Wuyung yang merupakan ciptaan Waldjinah sendiri. Lagu tersebut dinyanyikan bersama Nuning dan Asty Dewi. Namun hanya satu yang baru dimasukkan dalam album terbaru Waldjinah. Sedangkan tiga lagu lainnya masih dalam proses mixing dan finishing.
Mengingat kondisi Waldjinah yang sudah tua dan sakit-sakitan, rekaman diakui membutuhkan waktu sekitar dua hari. “Kalau dulu (saat sehat), empat jam bisa lima lagu,” kata Jaka.
Waldjinah sendiri mengaku senang atas penghargaan yang diterimanya. Penghargaan itu dianggapnya sebagai kado menjelang hari ulang tahunnya yang ke-70 pada November nanti. Namun dirinya tidak bisa datang saat penghargaan itu diberikan 22 September lalu karena kondisi kesehatannya memang tidak memungkinkan.
Dia berharap keroncong dapat terus dihidupkan. Musik asli Indonesia tersebut diharapkan dapat berkembang dan eksis di tengah masyarakat. “Anak-anak muda sekarang sekarang juga mulai senang bermain musik keroncong,” tutur Waldjinah.
Perempuan yang memiliki lima anak, delapan cucu dan dua cicit ini mulai sakit-sakitan sejak tahun 2012 lalu. Setelah sembuh namun belum begitu fit, Waldjinah pada tahun 2013 sempat manggung di Suriname. Setelah pulang, album terbaru bisa diselesaikan meski masih dalam kondisi capek.
Tahun 2014 lalu Waldjinah kembali jatuh sakit dan hendak pensiun dari dunia menyanyi. “Ibu sakitnya lambung. Dari diagnosa ada luka di lambungnya,” ujar Ary Mulyono, putra keempat Waldjinah sekaligus pimpinan orkes keroncong Bintang Surakarta.
Penyakit dialami karena tak lepas dari kebiasaan Waldjinah saat masih muda. Ketika sudah memakai kebaya dan stagen dan siap manggung, Waldjinah selalu tidak mau makan. Padahal ketika manggung di acara wayang kulit, biasanya mulai pukul 20.00 WIB sampai pagi. Kini, saat berdiri atau berjalan, Waldjinah harus didampingi.
Dari lima anak Waldjinah, dua di antaranya mengikuti jejaknya untuk berkecimpung di dunia musik, yaitu Ary dan kakak sulungnya. Tapi, sang kakak memilih jalur musik jazz. Sehingga, hanya dirinya yang tetap murni mengikuti aliran musik keroncong. “Tapi kakak saya juga tetap bisa bermain musik keroncong,” pungkas dia.
Lagu Ayo Ngguyu di album Best Waldjinah Keroncong juga menyabet penghargaan kategori produser/penata musik keroncong terbaik di ajang yang sama. Penghargaan diberikan kepada produser Gema Nada Pertiwi (GNP) dan penata musik orkes musik kerongcong Bintang Surakarta.
Penghargaan untuk Waldjinah yang 7 November 2015 nanti genap berusia 70 tahun, merupakan kedua kalinya dari AMI award. Sebelumnya, pada tahun 2013 lalu, Waldjinah menyabet penghargaan Legend Award di ajang yang sama.
“Banyak orang berpikir bahwa lagu dari Bu Waldjinah merupakan rekaman lama. Padahal lagu Ayo Ngguyu merupakan hasil rekaman tahun 2013 dan dirilis akhir tahun 2014,” ujar Jaka Winata Susilo, Produser GNP, di Solo, Jumat (25/9) siang.
Ide pembuatan album berawal saat ngobrol dengan Waldjinah tentang perjalanan kariernya. Dirinya pun kemudian menawarkan kepada Waldjinah untuk membuat album rekaman baru.
Selain Ayo Ngguyu yang merupakan lagu jenawa berlanggam Jawa, tiga lagu lainnya yang berhasil direkam adalah Kembang Kacang, Gombal Gambul, dan Panglipur Wuyung yang merupakan ciptaan Waldjinah sendiri. Lagu tersebut dinyanyikan bersama Nuning dan Asty Dewi. Namun hanya satu yang baru dimasukkan dalam album terbaru Waldjinah. Sedangkan tiga lagu lainnya masih dalam proses mixing dan finishing.
Mengingat kondisi Waldjinah yang sudah tua dan sakit-sakitan, rekaman diakui membutuhkan waktu sekitar dua hari. “Kalau dulu (saat sehat), empat jam bisa lima lagu,” kata Jaka.
Waldjinah sendiri mengaku senang atas penghargaan yang diterimanya. Penghargaan itu dianggapnya sebagai kado menjelang hari ulang tahunnya yang ke-70 pada November nanti. Namun dirinya tidak bisa datang saat penghargaan itu diberikan 22 September lalu karena kondisi kesehatannya memang tidak memungkinkan.
Dia berharap keroncong dapat terus dihidupkan. Musik asli Indonesia tersebut diharapkan dapat berkembang dan eksis di tengah masyarakat. “Anak-anak muda sekarang sekarang juga mulai senang bermain musik keroncong,” tutur Waldjinah.
Perempuan yang memiliki lima anak, delapan cucu dan dua cicit ini mulai sakit-sakitan sejak tahun 2012 lalu. Setelah sembuh namun belum begitu fit, Waldjinah pada tahun 2013 sempat manggung di Suriname. Setelah pulang, album terbaru bisa diselesaikan meski masih dalam kondisi capek.
Tahun 2014 lalu Waldjinah kembali jatuh sakit dan hendak pensiun dari dunia menyanyi. “Ibu sakitnya lambung. Dari diagnosa ada luka di lambungnya,” ujar Ary Mulyono, putra keempat Waldjinah sekaligus pimpinan orkes keroncong Bintang Surakarta.
Penyakit dialami karena tak lepas dari kebiasaan Waldjinah saat masih muda. Ketika sudah memakai kebaya dan stagen dan siap manggung, Waldjinah selalu tidak mau makan. Padahal ketika manggung di acara wayang kulit, biasanya mulai pukul 20.00 WIB sampai pagi. Kini, saat berdiri atau berjalan, Waldjinah harus didampingi.
Dari lima anak Waldjinah, dua di antaranya mengikuti jejaknya untuk berkecimpung di dunia musik, yaitu Ary dan kakak sulungnya. Tapi, sang kakak memilih jalur musik jazz. Sehingga, hanya dirinya yang tetap murni mengikuti aliran musik keroncong. “Tapi kakak saya juga tetap bisa bermain musik keroncong,” pungkas dia.
(alv)