Gejala Masalah Organ Pendengaran Anda dan Tips Merawatnya

Minggu, 03 April 2016 - 16:01 WIB
Gejala Masalah Organ Pendengaran Anda dan Tips Merawatnya
Gejala Masalah Organ Pendengaran Anda dan Tips Merawatnya
A A A
BANDUNG - Gangguan pendengaran seringkali dianggap enteng oleh sebagian besar masyarakat. Tanpa sadar, kegiatan sehari-hari yang penuh dengan hiruk pikuk kebisingan kota, dianggap menjadi hal biasa. Padahal, jika organ pendengaran kita terus terpapar kebisingan secara berlebihan, maka bisa jadi mengakibatkan tuli permanen.

Terlebih, saat ini penggunaan gadget pun tidak bisa dihindari. Banyak generasi muda kerap mendengarkan musik dengan volume suara tinggi, maupun jangka waktu menelepon yang terlampau lama. Alhasil, gelombang elektromagnetik yang dikeluarkan gadget pun akan semakin menambah kerusakan telinga.

dr Ratna Angraeni (Foto-Dok pribadi)

Kepala Departemen/Staf Medik Fungsional lmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorokan, Kepala – Leher (SMF-THT KL) Rumah Sakit Hasan Sadikin, dr Ratna Anggraeni menuturkan, era serba modern dengan penggunaan gadget terutama earphone yang hiperaktif digunakan generasi muda saat ini, menjadi ancaman tersendiri bagi kesehatan pendengaran mereka.

Menurutnya, 3,2 persen lebih penduduk di Indonesia mengalami gangguan pendengaran, dan 25 persennya dialami oleh anak-anak. Meski demikian, gangguan pendengaran umumnya bisa dicegah meskipun memang tidak mudah.

Ratna menuturkan, idealnya telinga harus beristirahat selama 16 jam dalam sehari tanpa mendengarkan sesuatu dengan tingkat kebisingan yang tinggi. Jika hanya berbincang sewajarnya, maka itu sah-sah saja.

“Pasalnya, kebisingan di lalu lintas saja itu mencapai 90 desibel. Kebisingan saat mendengarkan musik atau orang yang berteriak saja juga bisa 100 desibel. Maka jika sudah di rumah, istirahatkanlah pendengaran anda. Mendengarkan musik dengan nada yang biasa saja itu tidak apa,” ujarnya.

Mendengarkan musik pada saat konser maupun lewat gadget, sebenarnya harus ada batasan khusus. Misalkan saja untuk volume suara yang memiliki intensitas suara hingga 85 desibel, maka seseorang hanya diperbolehkan mendengarkan maksimal 8 jam dalam sehari.

Mengukur tingkat kebisingan sebuah gelaran konser musik. (Foto: Koran Sindo/Anne Rufaidah)

Untuk musik rock saja, kata Ratna, intensitasnya mencapai 100 desibel. Itu artinya iahanya diperbolehkan mendengarkan 15-30 menit saja dalam sekali dengar.
Tak hanya persoalan gaya hidup, gangguan pendengaran pun mengacam para pekerja yang memiliki profesi terpapar langsung kebisingan, seperti mereka yang bekerja di pabrik, pengeboran minyak, maupun di tempat karaoke. Hal ini tentu sudah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, khususnya untuk keselamatan dan kesehatan kerja, para pekerja tersebut wajib dilindungi dengan ear protector.

“Sebenarnya, untuk mengukur tingkat intensitas kebisingan lingkungan sekitar, sudah ada aplikasi yang bisa digunakan pada gadget. Sehinga kita bisa tahu, bahwa wilayah tersebut apakah memiliki tingkat kebisingan yang masih aman untuk telinga kita atau tidak,” ucap Ratna.

Ia mengatakan, tahun 2015 menjadi fokus pihaknya dan pihak pemerhati kesehatan telinga di dunia, bahwa tuli yang disebabkan karena kebisingan meningkat. Pasalnya, tingkat kebisingan saat ini baik di dunia pekerjaan seperti pabrik, lalu lintas, dan bahkan tempat rekreasi, sudah di atas ambang batas kewajaran.

“Pada siswa sekolah kejuruan, saya menemukan banyak dari mereka yang membongkar mesin dengan paparan kebisingan mencapai 100 desibel. Hal itu dilakukan selama beberapa jam. Padahal idealnya, untuk pendengaran yang normal, itu hanya sekitar 50 desibel. Ini sudah sangat berlebihan,” kata Ratna.

Hal serupa pun ia temui pada apa yang dialami pegawai pabrik tekstil. Menurut Ratna, pegawai tersebut bekerja selama 8 jam dengan paparan kebisingan yang mencapai 100 desibel. Jika ini dilakukan dalam jangka waktu panjang, maka pegawai tersebut bisa mengalami tuli permanen. Belum lagi dengan kebiasaan remaja sekarang yang sering mendengarkan musik melalui earphone dengan suara keras ataupun dugem, maka tingkat paparan kebisingannya pun semakin tinggi.

“Umumnya orang yang tuli akibat paparan kebisingan, tidak akan sadar bahwa mereka tuli. Mereka baru akan sadar, setelah 5 tahun kemudian. Itu pun jika kondisi telinga bagian dalam belum terlalu rusak,” katanya.

Ciri pertama seseorang terkena gangguang pendengaran akibat kebisingan yakni dengan seringnya telinga mendenging. Hal yang harus dilakukan pertama yaitu segera mengecek kesehatan telinga ke dokter. Ini dimaksudkan agar tuli permanen yang bisa diiakibatkan kebisingan bisa terhindarkan.

“Telinga adalah aset seseorang. Kebisingan yang berlebih dan dalam jangka waktu yang terlalu lama bisa menyebabkan tuli permanen dan hal tersebut tidak bisa diobati. Agar penderitanya bisa mendengar, mau tidak mau harus menggunakan alat bantu dengar selama hidupnya. Untuk itu, melakukan pencegahan terhadap efek dari kebisingan, adalah satu-satunya cara yang bisa dilakukan saat ini,” pungkasnya.

Cara Menjaga Kesehatan Pendengaran
Seperti organ lain, telinga yang memiliki peranan sangat penting dalam komunikasi haruslah kita jaga semaksimal mungkin. Berikut ini beberapa hal yang bisa anda lakukan, untuk mencegah dan meminimalisir ganguan pendengaran akibat kebisingan:

- Periksakan secara rutin pendengaran anda minimal 6 bulan sekali
- Hindari wilayah yang memiliki kebisingan yang berlebihan
- Jika pekerjaan anda memaksa anda terpapar langsung dengan kebisingan, maka pakailah ear protector sebagai pelindung telinga

- Jika telinga anda mendenging, segera periksakan ke dokter THT agar bisa segera diatas
- Bagi anda yang sehari-hari tidak terpapar secara langsung dengan kebisingan yang kuat, anda pun bisa mengukut intensitas kebisingan di wilayah anda dengan sound level meter atau penggunaan aplikasi serupa di gadget.
(sbn)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4770 seconds (0.1#10.140)