Jenang Alot, Jajanan Tradisional Langka yang Banyak Diburu Warga
A
A
A
YOGYAKARTA - Di usianya yang sudah menginjak 80 tahun, Pawiro Sumarto masih tetap gigih untuk melayani para pelanggannya. Membuatkan jenang alot, salah satu jenis jajanan pasar yang kini mulai jarang ditemukan.
Ditemui di kediamannya, di Dusun Cageran, Tamanmartani, Kalasan, Sleman, nenek yang biasa dipanggil Mbah Pawiro tersebut, masih terlihat cukup aktif untuk wanita seumurannya. Selesai memasak adonan baru, jenang alot yang sebelumnya telah masak, kemudian dipotongnya sesuai ukuran.
"Kalau usia sekarang sudah 80 tahun. Sudah sejak umur 45 dulu buat jenang alot. Dijual di Pasar Prambanan atau Jambon," katanya.
Karena sudah cukup tua, lima tahun belakangan ini pun dia sudah tak berjualan di pasar. Namun, atas permintaan banyak pelanggan, dia tetap membuat jenang alot. "Banyak yang cari. Kalau mau beli, ke rumah saja," tuturnya.
Jenang alot buatannya memang mempunyai ciri khas rasa yang berbeda. Terutama dari segi kekenyalan dan kemanisannya.
"Kalau jenang alot lainnya kan ada campurannya beras biasa. Kalau saya hanya beras ketan, gula jawa, dan santan kelapa. Sedikit gula pasir agar tidak lengket," tutur dia.
Memakai alat memasak tradisional, santan tersebut terlebih dahulu direbus. Sampai masak, kemudian dicampur dengan beras ketan dan gula jawa. "Satu hari bisa jadi," ucap dia.
Dalam sehari, sedikitnya seratus kilogram selalu habis terjual. Permintaan akan semakin tinggi, ketika masa lebaran. "Orang luar daerah yang ambil biasanya. Palembang, dan lainnya. Pernah ada juga pelanggan yang bilang kalau jenang alot ini bisa tahan disimpan sebulan," katanya.
Satu kilogramnya jenang alot buatannya ini, dijualnya seharga Rp45.000. Selain pelanggan yang datang, dalam pemasarannya juga dibantu oleh anaknya yang tinggal di dekat Pasar Manisrenggo, Klaten.
Tomi Nugraha, salah satu warga Cageran, mengatakan jenang alot ini sudah menjadi ikon makanan dari Desa Tamanmartani. "Cara membuatnya masih tradisional. Biasanya sehari bahkan pemesanan berkuintal-kuintal," ujar dia.
Ditemui di kediamannya, di Dusun Cageran, Tamanmartani, Kalasan, Sleman, nenek yang biasa dipanggil Mbah Pawiro tersebut, masih terlihat cukup aktif untuk wanita seumurannya. Selesai memasak adonan baru, jenang alot yang sebelumnya telah masak, kemudian dipotongnya sesuai ukuran.
"Kalau usia sekarang sudah 80 tahun. Sudah sejak umur 45 dulu buat jenang alot. Dijual di Pasar Prambanan atau Jambon," katanya.
Karena sudah cukup tua, lima tahun belakangan ini pun dia sudah tak berjualan di pasar. Namun, atas permintaan banyak pelanggan, dia tetap membuat jenang alot. "Banyak yang cari. Kalau mau beli, ke rumah saja," tuturnya.
Jenang alot buatannya memang mempunyai ciri khas rasa yang berbeda. Terutama dari segi kekenyalan dan kemanisannya.
"Kalau jenang alot lainnya kan ada campurannya beras biasa. Kalau saya hanya beras ketan, gula jawa, dan santan kelapa. Sedikit gula pasir agar tidak lengket," tutur dia.
Memakai alat memasak tradisional, santan tersebut terlebih dahulu direbus. Sampai masak, kemudian dicampur dengan beras ketan dan gula jawa. "Satu hari bisa jadi," ucap dia.
Dalam sehari, sedikitnya seratus kilogram selalu habis terjual. Permintaan akan semakin tinggi, ketika masa lebaran. "Orang luar daerah yang ambil biasanya. Palembang, dan lainnya. Pernah ada juga pelanggan yang bilang kalau jenang alot ini bisa tahan disimpan sebulan," katanya.
Satu kilogramnya jenang alot buatannya ini, dijualnya seharga Rp45.000. Selain pelanggan yang datang, dalam pemasarannya juga dibantu oleh anaknya yang tinggal di dekat Pasar Manisrenggo, Klaten.
Tomi Nugraha, salah satu warga Cageran, mengatakan jenang alot ini sudah menjadi ikon makanan dari Desa Tamanmartani. "Cara membuatnya masih tradisional. Biasanya sehari bahkan pemesanan berkuintal-kuintal," ujar dia.
(alv)