Bob Dylan, Bintang Kondang yang Takut pada Ketenaran
A
A
A
JAKARTA - Bob Dylan menorehkan sejarah setelah pada Kamis (13/10/2016), dia dianugerahi Hadiah Nobel Sastra dari Swedish Academy. Komisi pemberi hadiah ini menilai, Dylan layak mendapatkan penghargaan ini karena jasanya membentuk ekspresi puitis baru di tradisi lagu Amerika.
Penghargaan ini membuat Dylan menjadi satu-satunya satu-satunya penyanyi—penulis lagu yang memenangkan penghargaan ini. Dengan demikian, pria berusia 75 tahun ini berhak mendapatkan hadiah uang sebesar 8 juta kron Swedia (Rp11,8 miliar).
Selama ini, Dylan dikenal sebagai suara generasi atas lagu-lagunya yang berpengaruh pada 1960an hingga kini. Lagu-lagunya, seperti Blowin’ in the Wind, The Times They Are a-Changin’, Subterranean Homesick Blues dan Like a Rolling Stone, menangkap semangat pemberontakan, kekecewaan dan kemerdekaan.
Dan, merambatnya usia tidak menghentikannya. Sejak akhir 1980an, Dylan terus menggelar tur yang dia sebut Never-Ending Tour. Dan, selama lebih dari 50 tahun sejak album debutnya, Bob Dylan, dirilis pada 1962, tidak ada tanda-tanda bahwa pria asal Minnesota ini bakal berhenti dari dunia musik.
Bahkan sampai saat ini, Dylan masih tetap manggung di mana-mana, menulis buku, membintangi film sampai menjadi salah satu pendukung dalam drama musikal Broadway. Meski sering tampil di mana-mana Dylan, yang mencari ketenangan hidupnya, tetap menyimpan misteri dalam hidupnya.
Dylan menolak usulan agar dia pensiun mengingat usianya yang merambat senja. Dia malahan tetap aktif dan mencoba menjadi seorang DJ radio. Selain itu, dia telah mempublikasikan kumpulan perjalanan hidupnya, mempertimbangkan sebuah dokumenter tentang dirinya yang digarap sutradara kondang Martin Scorsese, mengotorisasi drama musikal panggung yang memakai lagunya—dan muncul dalam sebuah iklan toko cabang pakaian dalam Victoria’s Secret.
Pada otobiografinya yang luar biasa, Chronicles: Volume One, yang dirilis pada 2004, Dylan mengenang krisis musik yang dia alami pada akhir 1980an. Saat itu, dia tidak bisa masuk ke sentuhan musik lamanya, bahkan tak bisa menyanyikan sebagaimana kalau lagu-lagu itu adalah miliknya.
“Saya sering berdiri di dekat panggung sebelum memulai konser. Dan, saya bisa melihat diri saya sedang berpikir bahwa saya tidak menjaga kata saya. Apa kata itu, saya bahkan tidak ingat, tapi saya tahu kata itu ada di sana, di suatu tempat,” papar Dylan dalam buku itu, dikutip Telegraph.
Dylan juga blak-blakan mengungkapkan kecanduannya pada heroin. Pengakuan itu dia sampaikan dalam sebuah wawancara dengan Robert Shelton pada Maret 1966. “Saya mulai kecanduan heroin di New York,” ujar Dylan dalam rekaman itu berdurasi dua jam yang disiarkan radio BBC.
Wawancara itu diperkirakan dilakukan di pesawat pribadi Dylan ketika penyanyi balada itu sedang tur di Amerika Serikat. Dia dan Shelton, kritikus yang membantu meluncurkan kariernya, terbang dari Lincoln, Nebraska ke Denver. Dalam wawancara itu, Dylan, yang saat itu berusia 24 tahun, mengungkapkan kalau dia pernah berpikir untuk bunuh diri. “Kematian bagi saya tak ada artinya selama saya bisa mati cepat. Sering kali saya tahu saya bisa saja mati cepat dan saya bisa cepat mati dan melakukannya. Saya akui pernah berpikir untuk bunuh diri. Tapi saya berhasil melampauinya hingga sekarang,” tutur dia.
Selain kematian, Dylan juga pernah mengungkapkan bahwa dia takut menjadi terkenal dan lebih hiperbola pada 1960an. Semuanya dimulai ketika dia diperkenalkan di Princeton University sebagai “kesadaran mengganggu Pemuda Amerika.”
“Ya, Tuhan! Saya begitu marah dan ingin menggigit diri saya sendiri,” ujar Dylan kala itu.
Ketakutan Dylan terhadap ketenaran semakin menjadi ketika ribuan fans menggerubuti rumahnya di Woodstock, New York, pada 1960an. “Saya ingin sekali membakar orang-orang ini. Peta jalan ke rumah saya itu pasti sudah diposkan di seluruh lima puluh negara bagian ke alamat geng drop out sekolah dan pecandu narkoba,” tulisnya dalam otobiografinya.
Masa lalu kelam tak membuat Dylan terus berhenti. Tapi, malah membuatnya menatap masa depan penuh keyakinan. Sampai saat ini, pelantun Knockin' On Heaven's Door itu menolak untuk pensiun. Selama kariernya, dalam periode satu tahun dalam kurun waktu 1990an—2000an, Dylan tampil dalam 100 kali pertunjukkan. Hingga akhir 2010, dia sudah melakukan lebih dari 2.300 pertunjukan. Pada Januari 2011, Dylan menjadwalkan tampil di Taiwan, China, Vietnam dan Australia pada April 2011.
Tahun 60an adalah masa kejayaan Dylan. Saat itu kariernya mulai menanjak dan dia menjadi petugas penyusun dokumen yang tidak resmi dan pemimpin pemberontakan Amerika untuk mendapatkan hak sipil penuh. Beberapa lagunya menjadi lagu kebangsaan gerakan anti-perang dan hak sipil.
Dia memimpin beberapa reli gerakan hak sipil Amerika pada 1963 dengan menyanyikan lagu-lagunya. Dia juga ikut serta dalam March on Washington di mana Martin Luther King, Jr. menyampaikan pidato kondangnya, I have a dream. Lagu-lagu Dylan sarat akan pengaruh keadaan politik, sosial, komentar, filosofi dan sastra saat itu, dengan mengobrak-abrik aturan pop musik yang sudah ada saat itu dan menyerukan kontrabudaya.
Terlahir dengan nama lengkap Robert Allen Zimmerman, Dylan mengubah namanya ketika sedang meniti kariernya di jalur musik dengan harapan agar namanya lebih muda disebut dan diingat orang. Awalnya, dia akan memakai nama Robert Allen. “Saya ingin dipanggil Robert Allen saat itu. Rasanya seperti nama raja Skotlandia dan saya suka,” cetusnya.
Namun, Dylan mengurungkan niat itu akrena ternyata ada seorang peniup saksofon yang memiliki nama David Allyn. Tak lama kemudian, dia memikirkan nama Dylan Thomas dan kemudian membuat pilihan antara memakai Robert Allen atau Robert Dylan. “Saya tidak bisa memutuskannya. Huruf D itu tampak lebih kuat,” kata Dylan, yang akhirnya memutuskan memakai nama Bob.
Penghargaan ini membuat Dylan menjadi satu-satunya satu-satunya penyanyi—penulis lagu yang memenangkan penghargaan ini. Dengan demikian, pria berusia 75 tahun ini berhak mendapatkan hadiah uang sebesar 8 juta kron Swedia (Rp11,8 miliar).
Selama ini, Dylan dikenal sebagai suara generasi atas lagu-lagunya yang berpengaruh pada 1960an hingga kini. Lagu-lagunya, seperti Blowin’ in the Wind, The Times They Are a-Changin’, Subterranean Homesick Blues dan Like a Rolling Stone, menangkap semangat pemberontakan, kekecewaan dan kemerdekaan.
Dan, merambatnya usia tidak menghentikannya. Sejak akhir 1980an, Dylan terus menggelar tur yang dia sebut Never-Ending Tour. Dan, selama lebih dari 50 tahun sejak album debutnya, Bob Dylan, dirilis pada 1962, tidak ada tanda-tanda bahwa pria asal Minnesota ini bakal berhenti dari dunia musik.
Bahkan sampai saat ini, Dylan masih tetap manggung di mana-mana, menulis buku, membintangi film sampai menjadi salah satu pendukung dalam drama musikal Broadway. Meski sering tampil di mana-mana Dylan, yang mencari ketenangan hidupnya, tetap menyimpan misteri dalam hidupnya.
Dylan menolak usulan agar dia pensiun mengingat usianya yang merambat senja. Dia malahan tetap aktif dan mencoba menjadi seorang DJ radio. Selain itu, dia telah mempublikasikan kumpulan perjalanan hidupnya, mempertimbangkan sebuah dokumenter tentang dirinya yang digarap sutradara kondang Martin Scorsese, mengotorisasi drama musikal panggung yang memakai lagunya—dan muncul dalam sebuah iklan toko cabang pakaian dalam Victoria’s Secret.
Pada otobiografinya yang luar biasa, Chronicles: Volume One, yang dirilis pada 2004, Dylan mengenang krisis musik yang dia alami pada akhir 1980an. Saat itu, dia tidak bisa masuk ke sentuhan musik lamanya, bahkan tak bisa menyanyikan sebagaimana kalau lagu-lagu itu adalah miliknya.
“Saya sering berdiri di dekat panggung sebelum memulai konser. Dan, saya bisa melihat diri saya sedang berpikir bahwa saya tidak menjaga kata saya. Apa kata itu, saya bahkan tidak ingat, tapi saya tahu kata itu ada di sana, di suatu tempat,” papar Dylan dalam buku itu, dikutip Telegraph.
Dylan juga blak-blakan mengungkapkan kecanduannya pada heroin. Pengakuan itu dia sampaikan dalam sebuah wawancara dengan Robert Shelton pada Maret 1966. “Saya mulai kecanduan heroin di New York,” ujar Dylan dalam rekaman itu berdurasi dua jam yang disiarkan radio BBC.
Wawancara itu diperkirakan dilakukan di pesawat pribadi Dylan ketika penyanyi balada itu sedang tur di Amerika Serikat. Dia dan Shelton, kritikus yang membantu meluncurkan kariernya, terbang dari Lincoln, Nebraska ke Denver. Dalam wawancara itu, Dylan, yang saat itu berusia 24 tahun, mengungkapkan kalau dia pernah berpikir untuk bunuh diri. “Kematian bagi saya tak ada artinya selama saya bisa mati cepat. Sering kali saya tahu saya bisa saja mati cepat dan saya bisa cepat mati dan melakukannya. Saya akui pernah berpikir untuk bunuh diri. Tapi saya berhasil melampauinya hingga sekarang,” tutur dia.
Selain kematian, Dylan juga pernah mengungkapkan bahwa dia takut menjadi terkenal dan lebih hiperbola pada 1960an. Semuanya dimulai ketika dia diperkenalkan di Princeton University sebagai “kesadaran mengganggu Pemuda Amerika.”
“Ya, Tuhan! Saya begitu marah dan ingin menggigit diri saya sendiri,” ujar Dylan kala itu.
Ketakutan Dylan terhadap ketenaran semakin menjadi ketika ribuan fans menggerubuti rumahnya di Woodstock, New York, pada 1960an. “Saya ingin sekali membakar orang-orang ini. Peta jalan ke rumah saya itu pasti sudah diposkan di seluruh lima puluh negara bagian ke alamat geng drop out sekolah dan pecandu narkoba,” tulisnya dalam otobiografinya.
Masa lalu kelam tak membuat Dylan terus berhenti. Tapi, malah membuatnya menatap masa depan penuh keyakinan. Sampai saat ini, pelantun Knockin' On Heaven's Door itu menolak untuk pensiun. Selama kariernya, dalam periode satu tahun dalam kurun waktu 1990an—2000an, Dylan tampil dalam 100 kali pertunjukkan. Hingga akhir 2010, dia sudah melakukan lebih dari 2.300 pertunjukan. Pada Januari 2011, Dylan menjadwalkan tampil di Taiwan, China, Vietnam dan Australia pada April 2011.
Tahun 60an adalah masa kejayaan Dylan. Saat itu kariernya mulai menanjak dan dia menjadi petugas penyusun dokumen yang tidak resmi dan pemimpin pemberontakan Amerika untuk mendapatkan hak sipil penuh. Beberapa lagunya menjadi lagu kebangsaan gerakan anti-perang dan hak sipil.
Dia memimpin beberapa reli gerakan hak sipil Amerika pada 1963 dengan menyanyikan lagu-lagunya. Dia juga ikut serta dalam March on Washington di mana Martin Luther King, Jr. menyampaikan pidato kondangnya, I have a dream. Lagu-lagu Dylan sarat akan pengaruh keadaan politik, sosial, komentar, filosofi dan sastra saat itu, dengan mengobrak-abrik aturan pop musik yang sudah ada saat itu dan menyerukan kontrabudaya.
Terlahir dengan nama lengkap Robert Allen Zimmerman, Dylan mengubah namanya ketika sedang meniti kariernya di jalur musik dengan harapan agar namanya lebih muda disebut dan diingat orang. Awalnya, dia akan memakai nama Robert Allen. “Saya ingin dipanggil Robert Allen saat itu. Rasanya seperti nama raja Skotlandia dan saya suka,” cetusnya.
Namun, Dylan mengurungkan niat itu akrena ternyata ada seorang peniup saksofon yang memiliki nama David Allyn. Tak lama kemudian, dia memikirkan nama Dylan Thomas dan kemudian membuat pilihan antara memakai Robert Allen atau Robert Dylan. “Saya tidak bisa memutuskannya. Huruf D itu tampak lebih kuat,” kata Dylan, yang akhirnya memutuskan memakai nama Bob.
(alv)