Jangan Sembunyikan Anak Pengidap Penyakit Tulang Rapuh
A
A
A
BANDUNG - Kepala Divisi Ortopedi Anak SMF Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Yoyos Ismiarto, mengimbau para orangtua untuk tidak 'menyembunyikan' anaknya jika mengidap osteogenesis imperfecta.
Penyakit osteogenesis imperfecta sendiri lebih dikenal dengan sebutan tulang rapuh. Itu dikarenakan pengidapnya akan memiliki tulang yang rapuh dan mudah patah.
Saking rapuhnya, benturan yang pelan pun bisa berakibat tulang menjadi patah. Bahkan, batuk atau bersin bisa membuat tulang rusuk pengidapnya patah.
Anak yang mengidap penyakit tersebut biasanya akan terhambat pertumbuhannya. Bahkan dalam kasus yang parah, pengidapnya hanya bisa berbaring di tempat tidur. Ia tidak bisa beraktivitas dengan normal.
Faisal mengatakan, paradigma di masyarakat saat ini belum semuanya terbuka. Masih ada orangtua yang berpikir jika anaknya penyakit tersebut adalah sebuah aib, bahkan kutukan.
"Seringkali di lingkungan masyarakat ada yang menganggap (anak mengidap osteogenesis imperfecta) adalah sebuah kegagalan, misalnya menganggap dikutuk atau apalah. Sehingga anaknya disembunyikan karena merasa malu. Padahal kalau ditangani lebih awal akan lebih baik," kata Yoyos di RSHS, Bandung.
Jika diketahui sejak dini, sang anak sebaiknya segera ditangani dokter ahli. Sehingga kemungkinan buruk akan diminimalisir sekecil mungkin.
Dijelaskannya, untuk menangani pasien osteogenesis imperfecta, penanganan medis memang harus dilakukan jangka panjang. Obat hingga akan menjadi 'teman akrab' pasien agar tulangnya relatif lebih kuat.
Selain ditangani secara medis, orangtua sang pasien juga harus memiliki pengetahuan. Sehingga hal-hal yang berpotensi membuat tulang anaknya patah bisa dijauhi.
Yoyos mencontohkan saat sang anak harus diganti popok. Proses penggantian dan pemasangannya harus betul-betul hati-hati.
Pemahaman agar sang anak bisa menjalani kehidupan dengan semangat juga harus ditanamkan orangtua. Mereka juga jangan dijadikan sebagai 'alat' untuk mengemis'. Sehingga, sang anak harus mendapatkan pendidikan setinggi mungkin.
"Pendidikan itu penting. Jangan sampai (pengidap osteogenesis imperfecta) berakhir di lampu merah," tegas Yoyos.
Sang anak juga jangan 'dikurung' terus di dalam rumah. Ia harus bersosialisasi dengan anak-anak seusianya. Sehingga, sang anak tidak akan merasa sendirian dan berbeda dibanding anak lainnya.
Yoyos menambahkan, dalam kondisi tertentu, sang anak pengidap osteogenesis imperfecta juga sebaiknya didampingi psikiater atau psikolog. Sebab, kondisi psikologis pengidap penyakit tersebut pasti akan memiliki hambatan dan berpotensi stres.
Penyakit osteogenesis imperfecta sendiri lebih dikenal dengan sebutan tulang rapuh. Itu dikarenakan pengidapnya akan memiliki tulang yang rapuh dan mudah patah.
Saking rapuhnya, benturan yang pelan pun bisa berakibat tulang menjadi patah. Bahkan, batuk atau bersin bisa membuat tulang rusuk pengidapnya patah.
Anak yang mengidap penyakit tersebut biasanya akan terhambat pertumbuhannya. Bahkan dalam kasus yang parah, pengidapnya hanya bisa berbaring di tempat tidur. Ia tidak bisa beraktivitas dengan normal.
Faisal mengatakan, paradigma di masyarakat saat ini belum semuanya terbuka. Masih ada orangtua yang berpikir jika anaknya penyakit tersebut adalah sebuah aib, bahkan kutukan.
"Seringkali di lingkungan masyarakat ada yang menganggap (anak mengidap osteogenesis imperfecta) adalah sebuah kegagalan, misalnya menganggap dikutuk atau apalah. Sehingga anaknya disembunyikan karena merasa malu. Padahal kalau ditangani lebih awal akan lebih baik," kata Yoyos di RSHS, Bandung.
Jika diketahui sejak dini, sang anak sebaiknya segera ditangani dokter ahli. Sehingga kemungkinan buruk akan diminimalisir sekecil mungkin.
Dijelaskannya, untuk menangani pasien osteogenesis imperfecta, penanganan medis memang harus dilakukan jangka panjang. Obat hingga akan menjadi 'teman akrab' pasien agar tulangnya relatif lebih kuat.
Selain ditangani secara medis, orangtua sang pasien juga harus memiliki pengetahuan. Sehingga hal-hal yang berpotensi membuat tulang anaknya patah bisa dijauhi.
Yoyos mencontohkan saat sang anak harus diganti popok. Proses penggantian dan pemasangannya harus betul-betul hati-hati.
Pemahaman agar sang anak bisa menjalani kehidupan dengan semangat juga harus ditanamkan orangtua. Mereka juga jangan dijadikan sebagai 'alat' untuk mengemis'. Sehingga, sang anak harus mendapatkan pendidikan setinggi mungkin.
"Pendidikan itu penting. Jangan sampai (pengidap osteogenesis imperfecta) berakhir di lampu merah," tegas Yoyos.
Sang anak juga jangan 'dikurung' terus di dalam rumah. Ia harus bersosialisasi dengan anak-anak seusianya. Sehingga, sang anak tidak akan merasa sendirian dan berbeda dibanding anak lainnya.
Yoyos menambahkan, dalam kondisi tertentu, sang anak pengidap osteogenesis imperfecta juga sebaiknya didampingi psikiater atau psikolog. Sebab, kondisi psikologis pengidap penyakit tersebut pasti akan memiliki hambatan dan berpotensi stres.
(nfl)