Review Film Insidious: The Last Key

Jum'at, 05 Januari 2018 - 11:46 WIB
Review Film Insidious:...
Review Film Insidious: The Last Key
A A A
FILM keempat seri Insidious ini mundur jauh ke masa kecil sang cenayang Elise. Ada trauma masa lalu yang dibungkus cerita rapi penuh kejutan.

Untuk menyegarkan ingatan, seri Insidious sudah berlangsung selama kurang lebih tujuh tahun. Film pertama, yaitu Insidious (2010) bercerita tentang pasutri yang anak lelakinya kesurupan. Mereka lalu menyewa jasa seorang cenayang bernama Elise (Lin Shaye) yang harus masuk ke dunia "Further" alias alam setelah kematian, antara surga dan neraka, demi menyelamatkan sang bocah. Di akhir film, sang bocah selamat, tapi Elise mati.

Meski begitu, di film kedua Insidious: Chapter 2 (2013), roh Elise muncul, melanjutkan cerita dari film pertama yang belum sepenuhnya selesai. Lalu film berikutnya, Insidious: Chapter 3 (2015) menjadi sebuah film prekuel tentang aksi Elise menaklukkan roh jahat. Dia dibantu duo konyol Tucker (Angus Sampson) dan Specs (Leigh Whannel) yang bekerja dengan bantuan teknologi demi menangkap sinyal kehadiran para roh. Nah, dalam seri keempat ini, cerita akan mengorek-ngorek masa lalu Elise. Tucker dan Specs juga muncul lagi untuk membantunya.

Film dibuka dengan kisah masa kecil Elise di New Mexico. Saat itu Elise muda (diperankan Ava Kolker dan Hana Hayes) sudah punya indera keenam. Namun, ayahnya tak percaya dengan kelebihan anaknya itu, menganggapnya berhalusinasi, hingga selalu memukul dan menghukumnya jika Elise mengaku melihat hantu.

Hingga suatu ketika, saat dihukum, Elise tanpa sengaja membuka "pintu merah", sebuah pintu yang membuat kekuatan jahat masuk ke dunia manusia, lalu meninggalkan trauma bagi Elise hingga usia senjanya. Trauma ini jadi benang merah cerita film keempat, saat Elise ditelepon seseorang yang mengaku diganggu roh jahat, di rumah masa kecil Elise. Dari sinilah petualangan horor Elise dimulai, yang nantinya membuat dia kembali lagi ke dunia "Further".

Sekarang, mari bandingkan film keempat ini dengan film-film sebelumnya. Meski seluruh film ditulis oleh orang yang sama, yaitu Leigh Whannel (juga berperan sebagai Specs), namun dilihat dari kerapian membangun misteri, film ini lebih baik dari seri kedua dan ketiga. Bisa dibilang, The Last Key menyamai keasyikan cerita di film pertama.

Sejak awal, penonton sudah ditarik ke bangunan cerita yang kokoh. Tiap peristiwa akan mengantarkan ke rasa penasaran yang satu ke penasaran yang lain. Bersamaan dengan itu, rasa ngeri karena sadar ada hantu yang hadir (baik yang tampak mau yang tidak), makin menambah keasyikan menonton film ini. Ini juga jadi tanda bahwa The Last Key tak selalu mengandalkan scare jump scene atau adegan yang bikin kaget untuk menakut-nakuti penonton.

Kerapian cerita makin menghibur saat Whannel tiba-tiba menyodorkan kejutan di pertengahan film. Bolehlah disebut, kejutan ini tak lazim terjadi dalam film horor, meski juga bukan sesuatu yang baru. Yang pasti, kejutan ini menambah rasa penasaran tentang ke mana cerita akan dibawa bergerak.

Sayangnya, keseruan di paruh pertama ini bukannya makin naik jelang akhir film, tapi lama-kelamaan malah menurun hingga film selesai. Ini diawali dengan kisah di paruh terakhir yang sangat standar dan mudah ditebak. Sebenarnya, hal tersebut tak terlalu jadi masalah. Namun, hal ini tidak langsung ditutupi atau diimbangi dengan adegan-adegan mengerikan penampakan hantu agar penonton terhibur karena ditakut-takuti hingga titik ekstrem. Boleh dibilang, tingkat kengeriannya malah masih kalah jika dibandingkan film-film sebelumnya.

The Last Key pun lalu berakhir antiklimaks. Saking antiklimaksnya untuk ukuran film horor, bisa-bisa penonton jadi bertanya-tanya, apakah film benar-benar sudah berakhir. Sebuah pertanyaan yang menyimpan harapan tersembunyi agar film jangan selesai dulu. Karena dengan awalan yang apik dan sangat membetot perhatian, The Last Key harusnya bisa ditutup dengan lebih memuaskan.
(amm)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2351 seconds (0.1#10.140)