Tiga Langkah untuk Mencegah Stunting pada Anak-Anak
A
A
A
MALANG - Sebanyak 4.007 anak balita (bawah lima tahun) di Kota Malang mengalami stunting, yang membuat anak tidak memiliki tinggi tubuh sesuai usianya. Merujuk data resmi Dinas Kesehatan Kota Malang, jumlah balita yang mengalami stunting kategori sangat pendek sejumlah 978 anak dan kategori pendek ada 3.029 anak. Jumlah tersebut didapat dari total balita di Kota Malang yakni 54.469 anak.
Ahli kesehatan ibu anak Novi Maharani berpandangan, faktor penyebab stunting bisa terjadi pada anak-anak yang hidup di lingkungan dengan sanitasi dan kebersihan yang tidak memadai. Menurut Novi, sanitasi yang buruk mengakibatkan penyakit diare dan infeksi cacing usus (cacingan) secara berulang-ulang pada anak.
“Kedua penyakit tersebut telah terbukti ikut berperan menyebabkan anak kerdil (stunting),” kata Novi di Malang, Sabtu (24/3/2018).
Novi menambahkan, tingginya kontaminasi bakteri dari tinja ke makanan yang dikonsumsi dapat menyebabkan diare dan cacingan yang kemudian berdampak kepada tingkatan gizi anak. Kontaminasi bakteri-bakteri tersebut juga dapat terjadi melalui peralatan dapur maupun peralatan rumah tangga lainnya yang tidak dicuci bersih maupun tidak mencuci tangan hingga bersih sebelum makan.
“Alhasil, bakteri bisa masuk melalui mulut. Praktik hidup seperti itu kemudian dapat mengurangi nafsu makan anak, menghambat proses penyerapan nutrisi di dalam tubuh anak, serta meningkatkan risiko kehilangan nutrisi,” papar dia.
Lebih lanjut menurut Novi, penyebab lain stunting adalah anak yang terlahir dengan sindrom alkohol janin (Fetus Alcohol Syndrome/FAS). FAS merupakan pola cacat yang dapat terjadi pada janin karena sang ibu mengonsumsi terlalu banyak minuman beralkohol saat sedang hamil. Ciri-ciri anak dengan FAS memiliki rangkaian gejala yang mencakup bentuk wajah yang berbeda dari anak normal, pertumbuhan fisik terhambat, serta beberapa gangguan mental.
Untuk mencegahnya, alumni Politeknik Kesehatan Malang ini memberikan tiga langkah penting. Pertama, perlunya penguatan program promotif dan preventif yang diarahkan untuk penyakit tidak menular dan program untuk ibu hamil dan menyusui. Mengingat stunting menjadi salah satu indikator kesehatan masyarakat kita. Hal ini sebagaimana target pemerintah, penderita stunting pada tahun 2018 ditargetkan turun menjadi 28,8% dibandingkan pada 2017 sebesar 29,6%.
“Harus lebih massif sinergi antar pemangku kepentingan untuk mensosialisasikan pentingnya menjaga pola hidup sehat terutama untuk ibu hamil dan menyusui. Balita jangan sampai mengalami gizi buruk sehingga perkembangannya normal,” kata Novi.
Dalam konteks sinergi, lanjut Novi, Dinas Kesehatan bisa menggandeng berbagai pihak, baik perguruan tinggi, organisasi masyarakat, organisasi pemuda, posyandu, PKK, dan lembaga lain untuk melakukan penyuluhan kepada balita dan ibu menyusui.
Langkah kedua, program pemberian Air Susu Ibu (ASI) ekslusif pada anak. Ketiga, adalah akses air bersih dan sanitasi.
“Saya kira pemberian ASI eksklusif harus ditingkatkan melalui kesadaran pemberian ASI eksklusif," kata dia.
Ahli kesehatan ibu anak Novi Maharani berpandangan, faktor penyebab stunting bisa terjadi pada anak-anak yang hidup di lingkungan dengan sanitasi dan kebersihan yang tidak memadai. Menurut Novi, sanitasi yang buruk mengakibatkan penyakit diare dan infeksi cacing usus (cacingan) secara berulang-ulang pada anak.
“Kedua penyakit tersebut telah terbukti ikut berperan menyebabkan anak kerdil (stunting),” kata Novi di Malang, Sabtu (24/3/2018).
Novi menambahkan, tingginya kontaminasi bakteri dari tinja ke makanan yang dikonsumsi dapat menyebabkan diare dan cacingan yang kemudian berdampak kepada tingkatan gizi anak. Kontaminasi bakteri-bakteri tersebut juga dapat terjadi melalui peralatan dapur maupun peralatan rumah tangga lainnya yang tidak dicuci bersih maupun tidak mencuci tangan hingga bersih sebelum makan.
“Alhasil, bakteri bisa masuk melalui mulut. Praktik hidup seperti itu kemudian dapat mengurangi nafsu makan anak, menghambat proses penyerapan nutrisi di dalam tubuh anak, serta meningkatkan risiko kehilangan nutrisi,” papar dia.
Lebih lanjut menurut Novi, penyebab lain stunting adalah anak yang terlahir dengan sindrom alkohol janin (Fetus Alcohol Syndrome/FAS). FAS merupakan pola cacat yang dapat terjadi pada janin karena sang ibu mengonsumsi terlalu banyak minuman beralkohol saat sedang hamil. Ciri-ciri anak dengan FAS memiliki rangkaian gejala yang mencakup bentuk wajah yang berbeda dari anak normal, pertumbuhan fisik terhambat, serta beberapa gangguan mental.
Untuk mencegahnya, alumni Politeknik Kesehatan Malang ini memberikan tiga langkah penting. Pertama, perlunya penguatan program promotif dan preventif yang diarahkan untuk penyakit tidak menular dan program untuk ibu hamil dan menyusui. Mengingat stunting menjadi salah satu indikator kesehatan masyarakat kita. Hal ini sebagaimana target pemerintah, penderita stunting pada tahun 2018 ditargetkan turun menjadi 28,8% dibandingkan pada 2017 sebesar 29,6%.
“Harus lebih massif sinergi antar pemangku kepentingan untuk mensosialisasikan pentingnya menjaga pola hidup sehat terutama untuk ibu hamil dan menyusui. Balita jangan sampai mengalami gizi buruk sehingga perkembangannya normal,” kata Novi.
Dalam konteks sinergi, lanjut Novi, Dinas Kesehatan bisa menggandeng berbagai pihak, baik perguruan tinggi, organisasi masyarakat, organisasi pemuda, posyandu, PKK, dan lembaga lain untuk melakukan penyuluhan kepada balita dan ibu menyusui.
Langkah kedua, program pemberian Air Susu Ibu (ASI) ekslusif pada anak. Ketiga, adalah akses air bersih dan sanitasi.
“Saya kira pemberian ASI eksklusif harus ditingkatkan melalui kesadaran pemberian ASI eksklusif," kata dia.
(alv)