Susuri Gua dan Potensi Wisata Kekinian
A
A
A
BELUM banyak masyarakat yang mengenal gua sebagai wisata alam bebas. Orang-orang lebih mengenal gunung dengan pemandangan menariknya dari ketinggian, hamparan luas padang rumput, dan hijau hutan tropis.
Suasana damai kerap menjadi motivasi orang-orang yang menggiati kegiatan luar ruang memilih gunung sebagai tempat bertualang.Gua merupakan lubang alami bawah tanah, selain memiliki keterkaitan dengan sejarah kehidupan masa lalu, ternyata juga menyimpan keindahan alam dalam gelapnya.
Contohnya stalagtit dan stalagmit yang terbentuk secara alami selama ratusan tahun. Beberapa gua bahkan memiliki keindahan lebih, sebut saja Gua Cerme di Yogyakarta yang memiliki sungai bawah tanah, atau Gua Ngarong di Tuban yang memiliki air terjun bawah tanah serta keindahan lain yang belum banyak terungkap.
Tidak sedikit kalangan masyarakat yang menggiati susur gua, mereka biasanya dari kalangan pencinta alam atau kalangan peneliti yang memasuki gua dengan tujuan-tujuan tertentu, misalnya pengambilan data untuk penelitian atau sekadar eksplorasi biasa.
Namun, tidak semua gua dapat bebas dimasuki. Terdapat beberapa gua yang memiliki karakteristik khusus sehingga belum bisa dimanfaatkan sebagai situs wisata. Muhammad Iqbal Willyanto, Koordinator Bidang Penelitian, Pengembangan, dan Ekspedisi Indonesian Speleological Society (ISS), menuturkan, secara garis besar ada tiga jenis kegiatan susur gua berdasarkan tingkat bahayanya.
Pertama, gua aman, gua ini sudah dikelola oleh sebuah lembaga atau instansi sehingga dapat dikunjungi sebagai tempat wisata, contohnya Gua Cerme di Yogyakarta.
Kedua, gua mengandung bahaya, gua ini belum dikelola secara sempurna, namun sudah pernah dieksplorasi sehingga terdapat data-data pendukung bagi pengunjungnya. Gua ini biasanya ditelusuri untuk kegiatan minat khusus. Contohnya latihan mahasiswa pencinta alam.
Ketiga, gua mengundang bahaya, gua ini masih liar serta minim data-data penunjang. Bahkan, belum ada yang pernah memasukinya sehingga sangat bahaya untuk ditelusuri oleh masyarakat umum.
"Kegiatan susur gua mengandung bahaya dan risiko, sesuaikan kemampuan, keterampilan dan pengetahuan speleologi yang kita miliki dengan gua yang akan ditelusuri," imbuh pria yang akrab disapa Mas Bim ini.
Sebagai kegiatan olahraga alam bebas, tentunya susur gua memiliki risiko yang terbilang cukup tinggi bagi pelakunya. Hal ini dikarenakan karakteristik gua yang berbeda-beda sesuai tempatnya. Menurut Mas Bim, penelusuran gua merupakan kegiatan yang menggabungkan beberapa keahlian olahraga alam bebas.
Di antaranya, mendaki gunung, memanjat tebing, berenang, bahkan menyelam, semua kegiatan tersebut harus dilakukan dalam kondisi minim cahaya sehingga rentan terjadi kecelakaan jika mengabaikan keselamatan.
Alternatif lain bagi masyarakat umum yang hendak merasakan sensasi susur gua adalah dengan mengunjungi gua yang sudah dikelola secara serius oleh suatu lembaga bersertifikat, misalnya Gua Jomblang di Yogyakarta dan Gua Buniayu di Sukabumi.
Potensi Wisata Saat ini peminat susur gua tidak hanya datang dari pencinta alam atau kalangan peneliti. Masyarakat umum pun mulai melirik wisata susur gua. Hal ini dibenarkan oleh Mas Bim dengan banyaknya gua yang dibuka untuk umum, seperti Gua Buniayu di Sukabumi, Gua Jomblang di Yogyakarta dan beberapa gua lainnya di Pulau Jawa.
Hal ini tentunya merupakan berita baik bagi masyarakat dan pemerintah dalam konteks ekonomi dan sosial. Dengan dibukanya gua untuk wisata, tentunya perekonomian masyarakat dapat meningkat dengan memanfaatkan pengunjung yang datang.
Ke depannya bisa saja akan lebih banyak lagi gua yang dibuka untuk wisata umum, terlebih dengan tren traveling yang sedang naik daun saat ini. Namun, ada hal yang perlu diperhatikan pemerintah maupun pengelola wisata gua. Di antaranya terkait kelestarian ekosistem gua itu sendiri.
"Lingkungan gua bersifat rapuh dan rentan perubahan. Jika sudah rusak, akan sulit untuk memulihkannya lagi seperti sediakala," ujar Mas Bim. Dia menambahkan, segala bentuk kegiatan penelusuran gua pasti menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan gua, misalnya perubahan suhu saat manusia memasuki gua.
Pengelola wisata gua harus mampu membuat regulasi yang bertujuan meminimalisasi dampak-dampak negatif yang akan terjadi di gua. Selain itu, aspek keselamatan pengunjung juga harus diperhatikan.
"Setiap gua yang sudah dibuka untuk umum, sudah semestinya menerapkan early warning system dan manajemen cave rescue ," ujar Mas Bim yang tengah merintis tim cave rescue guna menunjang kegiatan susur gua untuk tujuan wisata.
Tak kalah penting adalah kehatihatian pemerintah dalam memanfaatkan gua yang biasanya terdapat di kawasan karst yang memiliki potensi multisektor, baik di bidang wisata, sumber daya alam maupun lainnya. "Langkah yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi dan menginventarisasi karst dan gua di Indonesia.
Data yang sudah terkumpul itu, selanjutnya dianalisis dan dikaji secara multidisiplin ilmu agar dapat ditentukan prioritas pemanfaatannya. Untuk wisata-kah, untuk kebutuhan air-kah, untuk laboratorium dan sebagainya," imbuh Mas Bim.
Muhammad Aminullah
(GEN SINDO UIN-Syarif Hidayatullah Jakarta)
Suasana damai kerap menjadi motivasi orang-orang yang menggiati kegiatan luar ruang memilih gunung sebagai tempat bertualang.Gua merupakan lubang alami bawah tanah, selain memiliki keterkaitan dengan sejarah kehidupan masa lalu, ternyata juga menyimpan keindahan alam dalam gelapnya.
Contohnya stalagtit dan stalagmit yang terbentuk secara alami selama ratusan tahun. Beberapa gua bahkan memiliki keindahan lebih, sebut saja Gua Cerme di Yogyakarta yang memiliki sungai bawah tanah, atau Gua Ngarong di Tuban yang memiliki air terjun bawah tanah serta keindahan lain yang belum banyak terungkap.
Tidak sedikit kalangan masyarakat yang menggiati susur gua, mereka biasanya dari kalangan pencinta alam atau kalangan peneliti yang memasuki gua dengan tujuan-tujuan tertentu, misalnya pengambilan data untuk penelitian atau sekadar eksplorasi biasa.
Namun, tidak semua gua dapat bebas dimasuki. Terdapat beberapa gua yang memiliki karakteristik khusus sehingga belum bisa dimanfaatkan sebagai situs wisata. Muhammad Iqbal Willyanto, Koordinator Bidang Penelitian, Pengembangan, dan Ekspedisi Indonesian Speleological Society (ISS), menuturkan, secara garis besar ada tiga jenis kegiatan susur gua berdasarkan tingkat bahayanya.
Pertama, gua aman, gua ini sudah dikelola oleh sebuah lembaga atau instansi sehingga dapat dikunjungi sebagai tempat wisata, contohnya Gua Cerme di Yogyakarta.
Kedua, gua mengandung bahaya, gua ini belum dikelola secara sempurna, namun sudah pernah dieksplorasi sehingga terdapat data-data pendukung bagi pengunjungnya. Gua ini biasanya ditelusuri untuk kegiatan minat khusus. Contohnya latihan mahasiswa pencinta alam.
Ketiga, gua mengundang bahaya, gua ini masih liar serta minim data-data penunjang. Bahkan, belum ada yang pernah memasukinya sehingga sangat bahaya untuk ditelusuri oleh masyarakat umum.
"Kegiatan susur gua mengandung bahaya dan risiko, sesuaikan kemampuan, keterampilan dan pengetahuan speleologi yang kita miliki dengan gua yang akan ditelusuri," imbuh pria yang akrab disapa Mas Bim ini.
Sebagai kegiatan olahraga alam bebas, tentunya susur gua memiliki risiko yang terbilang cukup tinggi bagi pelakunya. Hal ini dikarenakan karakteristik gua yang berbeda-beda sesuai tempatnya. Menurut Mas Bim, penelusuran gua merupakan kegiatan yang menggabungkan beberapa keahlian olahraga alam bebas.
Di antaranya, mendaki gunung, memanjat tebing, berenang, bahkan menyelam, semua kegiatan tersebut harus dilakukan dalam kondisi minim cahaya sehingga rentan terjadi kecelakaan jika mengabaikan keselamatan.
Alternatif lain bagi masyarakat umum yang hendak merasakan sensasi susur gua adalah dengan mengunjungi gua yang sudah dikelola secara serius oleh suatu lembaga bersertifikat, misalnya Gua Jomblang di Yogyakarta dan Gua Buniayu di Sukabumi.
Potensi Wisata Saat ini peminat susur gua tidak hanya datang dari pencinta alam atau kalangan peneliti. Masyarakat umum pun mulai melirik wisata susur gua. Hal ini dibenarkan oleh Mas Bim dengan banyaknya gua yang dibuka untuk umum, seperti Gua Buniayu di Sukabumi, Gua Jomblang di Yogyakarta dan beberapa gua lainnya di Pulau Jawa.
Hal ini tentunya merupakan berita baik bagi masyarakat dan pemerintah dalam konteks ekonomi dan sosial. Dengan dibukanya gua untuk wisata, tentunya perekonomian masyarakat dapat meningkat dengan memanfaatkan pengunjung yang datang.
Ke depannya bisa saja akan lebih banyak lagi gua yang dibuka untuk wisata umum, terlebih dengan tren traveling yang sedang naik daun saat ini. Namun, ada hal yang perlu diperhatikan pemerintah maupun pengelola wisata gua. Di antaranya terkait kelestarian ekosistem gua itu sendiri.
"Lingkungan gua bersifat rapuh dan rentan perubahan. Jika sudah rusak, akan sulit untuk memulihkannya lagi seperti sediakala," ujar Mas Bim. Dia menambahkan, segala bentuk kegiatan penelusuran gua pasti menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan gua, misalnya perubahan suhu saat manusia memasuki gua.
Pengelola wisata gua harus mampu membuat regulasi yang bertujuan meminimalisasi dampak-dampak negatif yang akan terjadi di gua. Selain itu, aspek keselamatan pengunjung juga harus diperhatikan.
"Setiap gua yang sudah dibuka untuk umum, sudah semestinya menerapkan early warning system dan manajemen cave rescue ," ujar Mas Bim yang tengah merintis tim cave rescue guna menunjang kegiatan susur gua untuk tujuan wisata.
Tak kalah penting adalah kehatihatian pemerintah dalam memanfaatkan gua yang biasanya terdapat di kawasan karst yang memiliki potensi multisektor, baik di bidang wisata, sumber daya alam maupun lainnya. "Langkah yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi dan menginventarisasi karst dan gua di Indonesia.
Data yang sudah terkumpul itu, selanjutnya dianalisis dan dikaji secara multidisiplin ilmu agar dapat ditentukan prioritas pemanfaatannya. Untuk wisata-kah, untuk kebutuhan air-kah, untuk laboratorium dan sebagainya," imbuh Mas Bim.
Muhammad Aminullah
(GEN SINDO UIN-Syarif Hidayatullah Jakarta)
(nfl)