Sedini Mungkin Cegah Anak Gagal Tumbuh
A
A
A
GAGAL tumbuh (weight faltering ) bukan hanya masalah kurang nutrisi. Dampak yang ditimbulkan pun amat besar. Anak berisiko stunting dan otaknya tidak bisa berkembang.
Dalam bahasa Indonesia, weight faltering sering disebut sebagai gagal tumbuh. Namun, istilah lebih tepat yakni kenaikan berat badan (BB) yang tidak adekuat atau tidak sesuai dari yang seharusnya. Kondisi ini ditandai dengan BB bayi turun atau tidak bertambah.
“Di seluruh dunia, berdasarkan penelitian, paling sering terjadi pada usia 3 bulan, saat masih mendapat ASI,” ujar Dr dr Damayanti Rusli Sjarif SpA(K), konsultan nutrisi dan penyakit metabolik FKUI/RSCM.
Dia pernah melakukan penelitian pada 100 ibu hamil, yang diikuti sejak trimester akhir kehamilan, dan dimotivasi untuk memberikan ASI eksklusif. Hingga akhir penelitian, terdapat 84 ibu yang terus diikuti setiap bulan.
“Ternyata saat bayi berusia 3 bulan, 33% kenaikan BB-nya tidak adekuat dan semakin lama semakin tinggi. Pada usia 6 bulan, angkanya 68%. Artinya, asupan dari ASI tidak cukup untuk tumbuh,” paparnya.
Pada anak dengan BB < 10 kg, metabolisme otak menggunakan 50%-60% dari asupan kalori. Bila asupan kalori kurang, otaklah yang pertama kali terdampak karena kalori yang ada harus dibagi dengan organ lain.
Terjadilah weight faltering dan IQ bisa turun 3 poin. Bila kondisi ini dibiarkan, lama-kelamaan keseimbangan hormon akan terganggu sehingga anak menjadi pendek, juga terjadi mekanisme “kompensasi”.
Agar tubuh tidak terlihat kurus, akhirnya pertumbuhan tinggi badan (TB) berhenti atau berjalan sangat lambat; anak menjadi pendek. Akhirnya, begitu ditemukan (biasanya pada usia 18 bulan), anak sudah stunting. Bila sudah stunting, sudah terlambat. Otak yang sudah rusak tidak bisa diperbaiki lagi.
Bisa dikejar dengan pemberian nutrisi dan stimulasi, tetapi tetap tidak akan menyamai anak yang tidak stunting. Bila stunting terus dibiarkan, anak akan mengalami gizi buruk hingga demikian kurus.
“Maka itu, tanda-tanda malanutrisi tahap awal harus dideteksi. Orang tua harus cermat memperhatikan bila ada penurunan atau kenaikan BB yang tidak sesuai,” ucapnya. Dia menambahkan, begitu BB tidak naik, jangan tunda untuk ke dokter.
Gagal tumbuh ini harus diatasi sebelum masa perkembangan otak yang maksimal berakhir, yaitu pada usia 2 tahun. Untuk TB, masih ada kesempatan kedua saat growth spurt kedua menjelang pubertas.
Secara kasat mata, anak yang mengalami weight faltering tidak tampak berbeda, begitu pun dengan anak stunting; tidak terlihat kurus, hanya pendek yang bisa diketahui dengan grafik pertumbuhan. Ini pentingnya bayi ditimbang BB di posyandu setiap bulan. “Me - nim bang harus benar.
Bayi harus dibuka bajunya. Selisihnya bisa berbeda 0,5 kg dengan memakai baju,” ucap dr Dama yanti. Celana dan kaus dalam masih boleh dipakai, terutama pada anak yang sudah agak besar.
Sayangnya, alat pengukur tinggi badan (TB) tidak tersedia di posyandu. Padahal, mengukur TB sama penting dengan BB. Untuk mengukur TB, pada anak < 2 tahun dilakukan dengan berbaring. Kepala anak harus menyentuh batas alat, kaki harus lurus benar agar pengukurannya tepat.
“Pada anak di atas 2 tahun, dilakukan sambil berdiri,” imbuhnya. BB dan TB anak selanjutnya diplot, dimasukkan ke grafik pertumbuhan. Bila ditemukan melenceng atau berada di bawah grafik, harus segera dirujuk ke dokter.
“Jangan tunggu sampai makin melenceng,” ujar Dr dr Damayanti. Selain mengukur BB dan TB, lingkar kepala anak juga harus terus dipantau. Pada kesempatan terpisah, Dr Elvina Karyadi MSc PhD SpGK memaparkan, sepertiga balita di Indonesia stunting.
Gangguan gizi pada masa janin dan usia dini berdampak jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek berupa gangguan pertum buhan otak, pertumbuhan tidak optimal, dan gangguan metabolic programming.
Dalam jangka panjang, kemampuan kognitif terganggu dan tubuh pendek. Metabolic pro gramming perlu diwaspadai. “Bila anak lahir dengan berat < 2.500 gram, saat dewasa banyak yang kena obesitas, diabetes, sakit jantung, stroke, dan lain-lain karena saat lahir organnya tidak sempurna,” ungkap dr Elvina.
Dalam bahasa Indonesia, weight faltering sering disebut sebagai gagal tumbuh. Namun, istilah lebih tepat yakni kenaikan berat badan (BB) yang tidak adekuat atau tidak sesuai dari yang seharusnya. Kondisi ini ditandai dengan BB bayi turun atau tidak bertambah.
“Di seluruh dunia, berdasarkan penelitian, paling sering terjadi pada usia 3 bulan, saat masih mendapat ASI,” ujar Dr dr Damayanti Rusli Sjarif SpA(K), konsultan nutrisi dan penyakit metabolik FKUI/RSCM.
Dia pernah melakukan penelitian pada 100 ibu hamil, yang diikuti sejak trimester akhir kehamilan, dan dimotivasi untuk memberikan ASI eksklusif. Hingga akhir penelitian, terdapat 84 ibu yang terus diikuti setiap bulan.
“Ternyata saat bayi berusia 3 bulan, 33% kenaikan BB-nya tidak adekuat dan semakin lama semakin tinggi. Pada usia 6 bulan, angkanya 68%. Artinya, asupan dari ASI tidak cukup untuk tumbuh,” paparnya.
Pada anak dengan BB < 10 kg, metabolisme otak menggunakan 50%-60% dari asupan kalori. Bila asupan kalori kurang, otaklah yang pertama kali terdampak karena kalori yang ada harus dibagi dengan organ lain.
Terjadilah weight faltering dan IQ bisa turun 3 poin. Bila kondisi ini dibiarkan, lama-kelamaan keseimbangan hormon akan terganggu sehingga anak menjadi pendek, juga terjadi mekanisme “kompensasi”.
Agar tubuh tidak terlihat kurus, akhirnya pertumbuhan tinggi badan (TB) berhenti atau berjalan sangat lambat; anak menjadi pendek. Akhirnya, begitu ditemukan (biasanya pada usia 18 bulan), anak sudah stunting. Bila sudah stunting, sudah terlambat. Otak yang sudah rusak tidak bisa diperbaiki lagi.
Bisa dikejar dengan pemberian nutrisi dan stimulasi, tetapi tetap tidak akan menyamai anak yang tidak stunting. Bila stunting terus dibiarkan, anak akan mengalami gizi buruk hingga demikian kurus.
“Maka itu, tanda-tanda malanutrisi tahap awal harus dideteksi. Orang tua harus cermat memperhatikan bila ada penurunan atau kenaikan BB yang tidak sesuai,” ucapnya. Dia menambahkan, begitu BB tidak naik, jangan tunda untuk ke dokter.
Gagal tumbuh ini harus diatasi sebelum masa perkembangan otak yang maksimal berakhir, yaitu pada usia 2 tahun. Untuk TB, masih ada kesempatan kedua saat growth spurt kedua menjelang pubertas.
Secara kasat mata, anak yang mengalami weight faltering tidak tampak berbeda, begitu pun dengan anak stunting; tidak terlihat kurus, hanya pendek yang bisa diketahui dengan grafik pertumbuhan. Ini pentingnya bayi ditimbang BB di posyandu setiap bulan. “Me - nim bang harus benar.
Bayi harus dibuka bajunya. Selisihnya bisa berbeda 0,5 kg dengan memakai baju,” ucap dr Dama yanti. Celana dan kaus dalam masih boleh dipakai, terutama pada anak yang sudah agak besar.
Sayangnya, alat pengukur tinggi badan (TB) tidak tersedia di posyandu. Padahal, mengukur TB sama penting dengan BB. Untuk mengukur TB, pada anak < 2 tahun dilakukan dengan berbaring. Kepala anak harus menyentuh batas alat, kaki harus lurus benar agar pengukurannya tepat.
“Pada anak di atas 2 tahun, dilakukan sambil berdiri,” imbuhnya. BB dan TB anak selanjutnya diplot, dimasukkan ke grafik pertumbuhan. Bila ditemukan melenceng atau berada di bawah grafik, harus segera dirujuk ke dokter.
“Jangan tunggu sampai makin melenceng,” ujar Dr dr Damayanti. Selain mengukur BB dan TB, lingkar kepala anak juga harus terus dipantau. Pada kesempatan terpisah, Dr Elvina Karyadi MSc PhD SpGK memaparkan, sepertiga balita di Indonesia stunting.
Gangguan gizi pada masa janin dan usia dini berdampak jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek berupa gangguan pertum buhan otak, pertumbuhan tidak optimal, dan gangguan metabolic programming.
Dalam jangka panjang, kemampuan kognitif terganggu dan tubuh pendek. Metabolic pro gramming perlu diwaspadai. “Bila anak lahir dengan berat < 2.500 gram, saat dewasa banyak yang kena obesitas, diabetes, sakit jantung, stroke, dan lain-lain karena saat lahir organnya tidak sempurna,” ungkap dr Elvina.
(don)