Okinawa, Kemegahan Kerajaan Ryukyu
A
A
A
OKINAWA - Okinawa sarat dengan sejarah. Secara geografis dekat dengan Taiwan dan China, sebagian budaya mereka begitu kental aroma Negeri Tirai Bambu. Namun Jepang juga menorehkan budaya yang tidak sedikit. Perpaduan ini memulaskan Okinawa menjadi “wajah” yang menarik.
Salah satu yang paling kentara soal akulturasi budaya China dan Jepang ada di Shurijo Castle. Kastil ini merupakan pusat Kerajaan Ryukyu yang dikenal sangat bermartabat dan memiliki sistem politik, hubungan luar negeri dan budaya yang membanggakan.
Dengan pengaruh arsitektur dari China dan Jepang, kastil ini menunjukkan nilai budaya dan sejarahnya yang luar biasa dalam desain batu dan arsitektur unik. Pada Desember 2000, Shurijo Castle ditetapkan sebagai situs warisan budaya. Ini merupakan situs warisan budaya dunia ke-11 di Jepang.
Bangunan kastil ini secara kasat mata sangat berbau China. Bentuk atap yang kelihatan dari kejauhan mengingatkan akan istana di Kota Terlarang, Beijing, China. Warna merah yang mendominasi bangunan menegaskan pengaruh itu.
Jika menilik sejarah, memang tidak mengherankan jika Kerajaan Ryukyu di Okinawa sangat kental budaya China. Secara geografis lebih dengan China daratan, Kerajaan Ryukyu memiliki hubungan erat dengan Beijing.
Mereka memiliki hubungan politik dan dagang yang sangat erat. Sebagai kerajaan merdeka, Ryukyu juga menjalin hubungan kekaisaran Jepang.
Di istana ini kita bisa melihat bagaimana Kerajaan Rykyu di masa lalu memiliki peran vital menjadi “penghubung” China dan Jepang. Sebagai wujud memiliki hubungan erat dengan China dan Jepang, di sisi kanan dan kiri istana didirikan bangunan untuk para tamu kedua kerajaan. Di sisi kanan didirikan bangunan untuk tamu dari Jepang. Bangunannya disamakan dengan budaya Jepang. Pintu geser, tatami (tikar khas Jepang), dinding hingga struktur bangunan sangat Jepang.
Sebaliknya di sisi kiri, bangunannya dibuat persis dengan di China. Gambar naga dan warna merah menghiasi bangunan tersebut. Di dalam istana, kita bisa melihat maket bagaimana Kerajaan Rykyu saat menyambut para tamu kehormatannya. Juga sejarah awal Kerajaan Rykyu berikut para kaisarnya.
Sebenarnya Shurijo Castle ini didirikan di atas puing-puing bangunan. Perang Okinawa meluluhlantahkan istana, berikut dokumen berharga lainnya. Nyaris tak ada yang tersisa. Hanya pondasi bangunan yang tersisa.
Dari sisa pondasi bangunan tersebut, pada 1992, Shurijo Castle kembali dibangun. Sungguh sebuah upaya mengagungkan sejarah yang patut diacungi jempol. Dari sisa pondasi tersebut, istana berikut ruang-ruang di dalamnya dibangun secara mendetail. Tak lupa, benteng yang mengelilinginya pun dibuat. Bagi para turis, semua sudut istana sangat bagus untuk berfoto.
Kepedihan Perang Okinawa
Strategisnya posisi Okinawa ternyata juga menggoreskan sisi kelam. Sebagai wilayah Jepang paling selatan, Okinawa dianggap Amerika Serikat sebagai gerbang untuk menaklukkan Negeri Sakura pada Perang Dunia (PD) II. Jika ingin melihat sejarah kelam sekaligus kedahsyatan PD II, kunjungi Okinawa Prefectural Peace Memorial Museum.
Museum ini menjadi peringatan Perang Dunia II. Di museum ini, diinformasikan pada akhir Maret 1945, pertempuran sengit terjadi di Okinawa, “Typhoon of Steel” yang berlangsung 90 hari telah merusak gunung, menghancurkan banyak warisan budaya dan merenggut 200 ribu orang.
Pertempuran Okinawa adalah satu-satunya pertempuran darat yang terjadi di Jepang dan merupakan kampanye skala terbesar dari Perang Asia-Pasifik. Untuk mengenang korban PD II itu dibangun deretan dinding bertuliskan nama-nama para korban. Daftar nama ini sering berubah-ubah karena “membuka pintu” bagi data baru korban perang.
Tak hanya dari rakyat Okinawa, daftar nama korban perang juga berasal dari Amerika, Korea, dan Jepang. Seluruh korban perang ditulis, tanpa melihat negara asal mereka ini bukannya tanpa alasan. Sebagai monumen perdamaian, Okinawa Prefectural Peace Memorial Museum ingin memberikan pesan bahwa perang adalah bencana bagi siapa saja. Perang harus ditiadakan karena rakyatlah yang menjadi korban terbanyak.
Beragam video, foto, dan patung-patung di dalam museum menegaskan bagaimana keperihan rakyat menghadapi perang. Di museum ini dilarang mengambl foto maupun video. Di sini museum kita sejenak diajak meratapi penderitaan rakyat dan mengutuk kekejaman perang.
Senandung Cinta untuk Para Leluhur
Genderang ditabuh bertalu-talu. Semangat para penabuh genderang tak surut meski sinar matahari begitu terik dan cuaca panas menyengat. Ribuan orang juga terlihat santai, bahkan menikmati cuaca panas itu.
Suasana lapangan Okinawa City Koza Undo Koen memang berbeda pada Minggu, 2 September 2018. Ya, hari itu warga Okinawa menikmati Festival Eisa yang digelar setiap tahun. Tahun ini ada 18 grup yang tampil. Mereka tidak hanya berasal dari Okinawa saja. Warga Okinawa di perantauan juga pulang dan menampilkan grup Eisa mereka.
Festival Bon merupakan tradisi di Jepang untuk menghormati roh leluhur dan meyakini bahwa roh nenek moyang mereka dating dari dunia lain untuk berkunjung ke rumah. Kebiasaan ini telah berkembang menjadi sebuah liburan sekaligus acara reuni keluarga, di mana orang-orang akan mengunjungi dan membersihkan makam leluhur mereka.
Di hari terakhir Festival Bon, dipertunjukkan sebuah tarian bernama Eisa. Tarian ini merupakan salah satu acara tepenting di Okinawa, yang mana pemujaan kepada leluhur sangat kuat.
Bon (orang Jepang menyebutnya Obon) adalah festival tahunan Jepang untuk memperingati nenek moyang. Perayaannya berbeda antara Okinawa dan daratan utama Jepang.
Di Okinawa, Bon (Obon) adalah waktu untuk menyambut roh nenek moyang yang pulang untuk berkumpul bersama keluarga. Ada tarian tradisional untuk menyambut para roh leluhur itu hanya di Okinawa. Tarian itu adalah tarian Eisa. “Jadi, kita bisa menyebut Festival Bon adalah acara di seluruh Jepang. Festival Eisa hanya ada di Okinawa” kata Miki Aniya, Sales and Promotion Department Overseas Marketing Section, Okinawa Convention & Visitors Bureau.
Banyak sekali lagu dan ceritanya. Kadang, lagunya tentang rasa syukur atas panen yang melimpah, keberuntungan. Beberapa lagu yang biasa dinyanyikan yakni Toshin doy dan Ichubi gwa bushi.
Toshin doy tentang merayakan karena pulang dengan selamat dari China. Ceritanya di masa lalu, Okinawa disebut Kerajaan Ryukyu, dan memiliki hubungan dagang yang dekat dengan Jepang dan Asia.
Toshin adalah kapal untuk hubungan dagang dengan China. Ketika para pedagang pulang dari perjalanan jauh dengan membawa banyak barang dagangan, orang-orang merayakannya dengan menyanyi dan menari. “Itulah mengapa Okinawa punya budaya unik tersendiri yang bercampur dengan tradisi tradisi Jepang dan Asia,” lanjutnya.
Sedangkan Ichubi gwa bushi adalah sejenis lagu cinta. Biasanya Eisa dinyanyikan 3-4 orang. Jikata/Jutei (penyanyi), mereka beryanyi sambil bermain sansin (gitar khas Okinawa).
Eisa sendiri memiliki beberapa macam tarian Eisa. Akan tetapi yang paling umum adalah Eisa yang menggunakan drum yang mencakup beberapa alat, yakni, pertama, Odaiko (drum barel besar) dan Shimedaiko (drum perukuran sedang). Odaiko dan Shimedaiko menari sambil memainkan drum. Odaiko bisa membuat penonton kewalahan dengan suaranya yang sangat kuat. Di sisi lain, Shimedaiko dimaikan dengan gerakan tangan dan kaki yang dinamis.
Kedua, Ikigamoi (boy teodori hand dance) dan Inagumoi (girl teodori hand dance). Mereka menari dengan music. Penari wanita menari dengan sangat lembut dibandingkan dengan penari laki-laki.
Ketiga, Sanaja/Chondara (badut). Sanaja mengenakan make up dan kostum yang sangat lucu. Mereka menari untuk menghibur penonton.
Keempat, Hatagashira (pembawa bendera). Hatagashira berdiri di depan kelompok dan mengibarkan bendera berat ke atas dan ke bawah sesuai dengan irama musik. Kelima, Jikata/Jutei (penyanyi). (puguh hariyanto)
Salah satu yang paling kentara soal akulturasi budaya China dan Jepang ada di Shurijo Castle. Kastil ini merupakan pusat Kerajaan Ryukyu yang dikenal sangat bermartabat dan memiliki sistem politik, hubungan luar negeri dan budaya yang membanggakan.
Dengan pengaruh arsitektur dari China dan Jepang, kastil ini menunjukkan nilai budaya dan sejarahnya yang luar biasa dalam desain batu dan arsitektur unik. Pada Desember 2000, Shurijo Castle ditetapkan sebagai situs warisan budaya. Ini merupakan situs warisan budaya dunia ke-11 di Jepang.
Bangunan kastil ini secara kasat mata sangat berbau China. Bentuk atap yang kelihatan dari kejauhan mengingatkan akan istana di Kota Terlarang, Beijing, China. Warna merah yang mendominasi bangunan menegaskan pengaruh itu.
Jika menilik sejarah, memang tidak mengherankan jika Kerajaan Ryukyu di Okinawa sangat kental budaya China. Secara geografis lebih dengan China daratan, Kerajaan Ryukyu memiliki hubungan erat dengan Beijing.
Mereka memiliki hubungan politik dan dagang yang sangat erat. Sebagai kerajaan merdeka, Ryukyu juga menjalin hubungan kekaisaran Jepang.
Di istana ini kita bisa melihat bagaimana Kerajaan Rykyu di masa lalu memiliki peran vital menjadi “penghubung” China dan Jepang. Sebagai wujud memiliki hubungan erat dengan China dan Jepang, di sisi kanan dan kiri istana didirikan bangunan untuk para tamu kedua kerajaan. Di sisi kanan didirikan bangunan untuk tamu dari Jepang. Bangunannya disamakan dengan budaya Jepang. Pintu geser, tatami (tikar khas Jepang), dinding hingga struktur bangunan sangat Jepang.
Sebaliknya di sisi kiri, bangunannya dibuat persis dengan di China. Gambar naga dan warna merah menghiasi bangunan tersebut. Di dalam istana, kita bisa melihat maket bagaimana Kerajaan Rykyu saat menyambut para tamu kehormatannya. Juga sejarah awal Kerajaan Rykyu berikut para kaisarnya.
Sebenarnya Shurijo Castle ini didirikan di atas puing-puing bangunan. Perang Okinawa meluluhlantahkan istana, berikut dokumen berharga lainnya. Nyaris tak ada yang tersisa. Hanya pondasi bangunan yang tersisa.
Dari sisa pondasi bangunan tersebut, pada 1992, Shurijo Castle kembali dibangun. Sungguh sebuah upaya mengagungkan sejarah yang patut diacungi jempol. Dari sisa pondasi tersebut, istana berikut ruang-ruang di dalamnya dibangun secara mendetail. Tak lupa, benteng yang mengelilinginya pun dibuat. Bagi para turis, semua sudut istana sangat bagus untuk berfoto.
Kepedihan Perang Okinawa
Strategisnya posisi Okinawa ternyata juga menggoreskan sisi kelam. Sebagai wilayah Jepang paling selatan, Okinawa dianggap Amerika Serikat sebagai gerbang untuk menaklukkan Negeri Sakura pada Perang Dunia (PD) II. Jika ingin melihat sejarah kelam sekaligus kedahsyatan PD II, kunjungi Okinawa Prefectural Peace Memorial Museum.
Museum ini menjadi peringatan Perang Dunia II. Di museum ini, diinformasikan pada akhir Maret 1945, pertempuran sengit terjadi di Okinawa, “Typhoon of Steel” yang berlangsung 90 hari telah merusak gunung, menghancurkan banyak warisan budaya dan merenggut 200 ribu orang.
Pertempuran Okinawa adalah satu-satunya pertempuran darat yang terjadi di Jepang dan merupakan kampanye skala terbesar dari Perang Asia-Pasifik. Untuk mengenang korban PD II itu dibangun deretan dinding bertuliskan nama-nama para korban. Daftar nama ini sering berubah-ubah karena “membuka pintu” bagi data baru korban perang.
Tak hanya dari rakyat Okinawa, daftar nama korban perang juga berasal dari Amerika, Korea, dan Jepang. Seluruh korban perang ditulis, tanpa melihat negara asal mereka ini bukannya tanpa alasan. Sebagai monumen perdamaian, Okinawa Prefectural Peace Memorial Museum ingin memberikan pesan bahwa perang adalah bencana bagi siapa saja. Perang harus ditiadakan karena rakyatlah yang menjadi korban terbanyak.
Beragam video, foto, dan patung-patung di dalam museum menegaskan bagaimana keperihan rakyat menghadapi perang. Di museum ini dilarang mengambl foto maupun video. Di sini museum kita sejenak diajak meratapi penderitaan rakyat dan mengutuk kekejaman perang.
Senandung Cinta untuk Para Leluhur
Genderang ditabuh bertalu-talu. Semangat para penabuh genderang tak surut meski sinar matahari begitu terik dan cuaca panas menyengat. Ribuan orang juga terlihat santai, bahkan menikmati cuaca panas itu.
Suasana lapangan Okinawa City Koza Undo Koen memang berbeda pada Minggu, 2 September 2018. Ya, hari itu warga Okinawa menikmati Festival Eisa yang digelar setiap tahun. Tahun ini ada 18 grup yang tampil. Mereka tidak hanya berasal dari Okinawa saja. Warga Okinawa di perantauan juga pulang dan menampilkan grup Eisa mereka.
Festival Bon merupakan tradisi di Jepang untuk menghormati roh leluhur dan meyakini bahwa roh nenek moyang mereka dating dari dunia lain untuk berkunjung ke rumah. Kebiasaan ini telah berkembang menjadi sebuah liburan sekaligus acara reuni keluarga, di mana orang-orang akan mengunjungi dan membersihkan makam leluhur mereka.
Di hari terakhir Festival Bon, dipertunjukkan sebuah tarian bernama Eisa. Tarian ini merupakan salah satu acara tepenting di Okinawa, yang mana pemujaan kepada leluhur sangat kuat.
Bon (orang Jepang menyebutnya Obon) adalah festival tahunan Jepang untuk memperingati nenek moyang. Perayaannya berbeda antara Okinawa dan daratan utama Jepang.
Di Okinawa, Bon (Obon) adalah waktu untuk menyambut roh nenek moyang yang pulang untuk berkumpul bersama keluarga. Ada tarian tradisional untuk menyambut para roh leluhur itu hanya di Okinawa. Tarian itu adalah tarian Eisa. “Jadi, kita bisa menyebut Festival Bon adalah acara di seluruh Jepang. Festival Eisa hanya ada di Okinawa” kata Miki Aniya, Sales and Promotion Department Overseas Marketing Section, Okinawa Convention & Visitors Bureau.
Banyak sekali lagu dan ceritanya. Kadang, lagunya tentang rasa syukur atas panen yang melimpah, keberuntungan. Beberapa lagu yang biasa dinyanyikan yakni Toshin doy dan Ichubi gwa bushi.
Toshin doy tentang merayakan karena pulang dengan selamat dari China. Ceritanya di masa lalu, Okinawa disebut Kerajaan Ryukyu, dan memiliki hubungan dagang yang dekat dengan Jepang dan Asia.
Toshin adalah kapal untuk hubungan dagang dengan China. Ketika para pedagang pulang dari perjalanan jauh dengan membawa banyak barang dagangan, orang-orang merayakannya dengan menyanyi dan menari. “Itulah mengapa Okinawa punya budaya unik tersendiri yang bercampur dengan tradisi tradisi Jepang dan Asia,” lanjutnya.
Sedangkan Ichubi gwa bushi adalah sejenis lagu cinta. Biasanya Eisa dinyanyikan 3-4 orang. Jikata/Jutei (penyanyi), mereka beryanyi sambil bermain sansin (gitar khas Okinawa).
Eisa sendiri memiliki beberapa macam tarian Eisa. Akan tetapi yang paling umum adalah Eisa yang menggunakan drum yang mencakup beberapa alat, yakni, pertama, Odaiko (drum barel besar) dan Shimedaiko (drum perukuran sedang). Odaiko dan Shimedaiko menari sambil memainkan drum. Odaiko bisa membuat penonton kewalahan dengan suaranya yang sangat kuat. Di sisi lain, Shimedaiko dimaikan dengan gerakan tangan dan kaki yang dinamis.
Kedua, Ikigamoi (boy teodori hand dance) dan Inagumoi (girl teodori hand dance). Mereka menari dengan music. Penari wanita menari dengan sangat lembut dibandingkan dengan penari laki-laki.
Ketiga, Sanaja/Chondara (badut). Sanaja mengenakan make up dan kostum yang sangat lucu. Mereka menari untuk menghibur penonton.
Keempat, Hatagashira (pembawa bendera). Hatagashira berdiri di depan kelompok dan mengibarkan bendera berat ke atas dan ke bawah sesuai dengan irama musik. Kelima, Jikata/Jutei (penyanyi). (puguh hariyanto)
(poe)