Review Film Smallfoot
A
A
A
JAKARTA - Mitos tentang makhluk aneh besar dan diduga suka menyerang manusia ada di hampir seluruh dunia. Beberapa di antaranya bahkan telah menjadi dongeng yang dikisahkan secara turun temurun dan dipercayai keberadaannya.
Salah satunya adalah Yeti. Makhluk mitologi ini dipercaya tinggal di kawasan pegunungan Himalaya di Nepal. Dia digambarkan berbentuk mirip kera dengan tubuh yang lebih tinggi dari manusia.
Mitos tentang Yeti inilah yang diangkat sutradara Karey Kirkpatrick di film animasi Smallfoot. Berdurasi 96 menit, film ini memperkenalkan dua dunia berbeda, yaitu dunia manusia dengan dunia Yeti yang kemudian saling berhubungan.
Kisah Smallfoot dimulai di sebuah kawasan bersalju di lereng Himalaya yang dihuni satu komunitas Yeti. Di sana ada sesepuh yang bertindak sebagai pelindung batu dan sekaligus pemimpin desa tersebut, yaitu Stonekeeper. Tokoh sentral di film ini adalah Migo, anak Dorgle yang bertugas memukul gong dengan kepalanya sebagai penanda datangnya pagi.
Suatu hari, ketika sedang berlatih untuk memukul gong, Migo meleset dan jatuh ke sisi lain pegunungan bersalju tersebut. Dia kemudian kaget ketika ada pesawat yang hendak meluncur ke arahnya. Pesawat itu kemudian jatuh dan Migo bertemu manusia yang disebut Smallfoot di desanya.
Manusia itu kabur dari tangkapan Migo dengan parasut. Migo segera pulang ke desa untuk memberitahukan pengalamannya itu. Sayang, Migo malah diusir karena tidak punya bukti keberadaan Smallfoot itu.
Migo kemudian ditemui Gwangi, Kolka, dan Fleem yang mengajaknya masuk Komunitas Pembuktian Kaki Kecil (KPKK). Ternyata, ketua komunitas itu adalah Mechee, anak Stonekeeper. Bersama, mereka pun berusaha membuktikan bahwa manusia atau smallfoot itu ada. Mereka kemudian menurunkan Migo ke bawah gunung.
Di bawah gunung, Migo bertemu Percy Patterson, seorang pembuat film dokumenter alam bebas yang sudah kehilangan kekondangannya. Migo kemudian membawa Percy ke desanya sebagai bukti bahwa smallfoot itu ada.
Film ini di awal memang terasa sangat lamban karena kita tidak tahu apa yang diinginkan film ini. Tapi, begitu ada pertemuan antara Migo dan Percy, film ini baru menemukan titik terang. Dari situlah semuanya berjalan dengan baik.
Dari sisi cerita, film ini bisa dibilang agak berat. Tapi, Karey sepertinya mampu membuatnya menjadi tontonan ringan yang enak dinikmati tidak hanya untuk anak-anak tapi juga orang dewasa. Pesan moral yang disampaikan pun cukup baik di masa ketika orang-orang menilai orang lain hanya dari luarnya tanpa mempertimbangkan apa isi pikiran mereka.
Smallfoot adalah film “kecil” yang menyenangkan untuk ditonton. Film ini juga membuat penontonnya bahagia dengan gambar-gambar yang belum pernah ada sebelumnya dan juga lelucon-lelucon yang terjadi di setiap adegannya.
Smallfoot memberikan pengalaman baru dalam menjawab sebuah mitos yang sudah lama beredar di masyarakat. Orang bisa takut pada orang lain karena trauma masa lalu. Komunikasi dan saling mengenal satu sama lain bisa mengatasi rasa trauma sehingga hubungan baik bisa kembali terjalin.
Smallfoot bisa disaksikan di bioskop mulai Jumat (5/10/2018). Selamat menyaksikan.
Salah satunya adalah Yeti. Makhluk mitologi ini dipercaya tinggal di kawasan pegunungan Himalaya di Nepal. Dia digambarkan berbentuk mirip kera dengan tubuh yang lebih tinggi dari manusia.
Mitos tentang Yeti inilah yang diangkat sutradara Karey Kirkpatrick di film animasi Smallfoot. Berdurasi 96 menit, film ini memperkenalkan dua dunia berbeda, yaitu dunia manusia dengan dunia Yeti yang kemudian saling berhubungan.
Kisah Smallfoot dimulai di sebuah kawasan bersalju di lereng Himalaya yang dihuni satu komunitas Yeti. Di sana ada sesepuh yang bertindak sebagai pelindung batu dan sekaligus pemimpin desa tersebut, yaitu Stonekeeper. Tokoh sentral di film ini adalah Migo, anak Dorgle yang bertugas memukul gong dengan kepalanya sebagai penanda datangnya pagi.
Suatu hari, ketika sedang berlatih untuk memukul gong, Migo meleset dan jatuh ke sisi lain pegunungan bersalju tersebut. Dia kemudian kaget ketika ada pesawat yang hendak meluncur ke arahnya. Pesawat itu kemudian jatuh dan Migo bertemu manusia yang disebut Smallfoot di desanya.
Manusia itu kabur dari tangkapan Migo dengan parasut. Migo segera pulang ke desa untuk memberitahukan pengalamannya itu. Sayang, Migo malah diusir karena tidak punya bukti keberadaan Smallfoot itu.
Migo kemudian ditemui Gwangi, Kolka, dan Fleem yang mengajaknya masuk Komunitas Pembuktian Kaki Kecil (KPKK). Ternyata, ketua komunitas itu adalah Mechee, anak Stonekeeper. Bersama, mereka pun berusaha membuktikan bahwa manusia atau smallfoot itu ada. Mereka kemudian menurunkan Migo ke bawah gunung.
Di bawah gunung, Migo bertemu Percy Patterson, seorang pembuat film dokumenter alam bebas yang sudah kehilangan kekondangannya. Migo kemudian membawa Percy ke desanya sebagai bukti bahwa smallfoot itu ada.
Film ini di awal memang terasa sangat lamban karena kita tidak tahu apa yang diinginkan film ini. Tapi, begitu ada pertemuan antara Migo dan Percy, film ini baru menemukan titik terang. Dari situlah semuanya berjalan dengan baik.
Dari sisi cerita, film ini bisa dibilang agak berat. Tapi, Karey sepertinya mampu membuatnya menjadi tontonan ringan yang enak dinikmati tidak hanya untuk anak-anak tapi juga orang dewasa. Pesan moral yang disampaikan pun cukup baik di masa ketika orang-orang menilai orang lain hanya dari luarnya tanpa mempertimbangkan apa isi pikiran mereka.
Smallfoot adalah film “kecil” yang menyenangkan untuk ditonton. Film ini juga membuat penontonnya bahagia dengan gambar-gambar yang belum pernah ada sebelumnya dan juga lelucon-lelucon yang terjadi di setiap adegannya.
Smallfoot memberikan pengalaman baru dalam menjawab sebuah mitos yang sudah lama beredar di masyarakat. Orang bisa takut pada orang lain karena trauma masa lalu. Komunikasi dan saling mengenal satu sama lain bisa mengatasi rasa trauma sehingga hubungan baik bisa kembali terjalin.
Smallfoot bisa disaksikan di bioskop mulai Jumat (5/10/2018). Selamat menyaksikan.
(alv)