Jelajah Wisata di Lengkung Gunung Kidul
A
A
A
MATAHARI sudah bergeser jauh dari titik zenit, Sabtu (29/9/2018) itu. Panasnya sudah berkurang. Angin beraroma wewangi daun gugur seolah menyapa akrab para awak media saat turun dari tiga minibus putih.
Tatkala mengangkat kepala, mata menabrak belasan vila yang berdiri tegak persis di depan. Dengan tiang-tiang kokoh mencengkeram cadas di area berkontur miring mendekati 70 derajat, hunian beratap lancip itu berdiri anggun di tengah hening hutan jati. Seperti sebuah isyarat asa dan optimisme yang kukuh.
Entah mengapa. Seluruh perjalanan wisata hari itu sungguh suatu perjumpaan estetik-religius. Dan perjumpaan itu serasa dimulai dari titik ini, Radika Paradise.
Terletak di bukit cadas Tenggole, Ngasem, Tepus, Gunung Kidul, Radika Paradise menyuntik optimisme awal pada petualangan kami hari itu. Di depan hunian itu sepuluh jeep bak terbuka sudah disiapkan oleh para crew Jendela Wisata yang ramah dan gesit.
Sejenak jeda, sekadar untuk berganti pakaian, memindahkan cemilan dan kotak air mineral dari minibus ke jeep serta membagi-bagi masker. Setelah semuanya siap, para petualang diminta untuk menumpang jeep-jeep itu sesui pilihan hati masing-masing.
Seperti tak sabar, rombongan wartawan itu melompt ke atasnya. Ada yang memilih warna orange, merah, hijau, kuning, biru dan hitam. Aba-aba pemandu wisata menandai petualangan dimulai. Jeep pertama meluncur diikuti jeep yang lainnya. Beriring-iringan.
Dalam hitungan detik Radika Paradise menjauh di belakang. Sepuluh kendaraan penakluk gunung itu terus meluncur di atas jalan licin menuju Pantai Timang. Gemuruh memecah sunyi. Penjelajahan yang menakjubkan. Estetik-religus.
Di kiri kanan jalan, bukit batu cadas meranggas. Tapi di sela bebatuan berlubang itu akar jati menusuk mencari kehidupan. Jati-jati itu tumbuh tegak, sabar mananti hujan pertama dengan mencicil daun kering menumpuki bumi.
Wow! Tanah kerontang, cadas dan jati meranggas menceritakan keindahan sekaligus keagungan. Betapa agung karya-Nya. Di titik tertentu bukit cadas menyerupai tempurung telungkup raksasa dengan karang kehitaman menonjol ke permukaan bumi.
Di lain tempat, hamparan lahan tanah merah hampir seluas lapangan bola sepak dikelilingi bukit batu setengah melingkar. Langsung angan saya bertualang ke Gunung Ares dekat kota Athena, jaman Yunani Kuno.
Di bukit Ares sebuah stadion bernama Areopagus dibangun. Areopagus, dalam tradisi keilmuan Yunani, dijadikan tempat untuk mengadili atau menguji pemikiran atau ajaran baru. Dewan Areopagus dan seluruh rakyat Athena bisa seharian mendengarkan pertanggungjawaban akademik ajaran baru.
Tidak heran, Athena menjadi gudangnya para pemikir di abad keempat hingga abad kedua sebelum Masehi. Filsuf Sokrates, Plato, dan Aristoteles contohnya. Ketiganya mengukuhkan etika kehidupan yang disebut eudamonia. Bahwa tujuan hidup manusia adalah kesenangan....
Semua Senang di Timang
Petualangan saya di Gunung Ares, Yunani klasik terhenti saat iring-iringan jeep memasuki kampung kecil bernama Tari. Di pojok pangkalan ojek terpampang sebilah plang bertuliskan; Timang, 3 km, ojek Rp 50 ribu go back'. "Kok mahal banget? Hanya 3 kilometer ke Timang, sewa ojek Rp50 ribu pergi dan pulang,?" tanya saya dalam hati.
Pertanyaan itu terjawab oleh perjalanan itu sendiri. Dari kampung Tari, Kelurahan Purwodadi, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul menuju Timang hampir seluruhnya melewati jalan yang belum beraspal. Jalan yang agak bagus berhenti persis di kampung ini. Mulai dari Tari, roda bergerigi jeep bergelinding di atas bongkah batu seukuran batok kelapa gading.
Terasa badan meliuk kiri-kanan, melenting turun naik mengikuti lekuk liku jalan. Pengalaman seperti ini dirasakan sepanjang 3 kilometer. Benarlah apa yang dikatakan buku suci, jalan menuju nirwana tak mudah. Untuk meraih kesenangan atau sukacita kerap harus melewati jalan dukacita, onak, dan duri.
Itu dialami saat tiba di spot wisata bernama Timang, Nirwana di balik Gunung Kidul itu. Di Timang semua senang. Pengunjung senang melihat ombak menggulung, menghantam tebing karang, lalu menjelma buih putih seperti kapas.
Pengunjung juga senang karena berhasil menekuk rasa takut saat menyeberang menuju Watu Panjang dengan gondola atau jalan kaki di jembatan dengan panjang 120 meter berada di atas ketinggian 15 meter.
Di Timang pengunjung juga senang karena menemukan hakikat diri sebagai makhluk pesiarah yang riang. Lihat saja, mereka menebar senyum di spot-spot foto selfie.
Dan jangan lupa, mereka yang mencatat tamu, menjual es kelapa, menarik tambang gondola juga senang, karena telah menukar senang dengan uang.
"Di sini, untuk menyeberang pake gondola, tarifnya Rp200 ribu untuk orang asing, lokal Rp150 ribu. Sedangkan yang menyeberang lewat jembatan akan dikenakan tarif Rp100 ribu," jelas Muji, warga Kampung Tari, Kelurahan Purwodadi, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul.
Muji yang bertugas memberi cap atau stempel pada karcis mengaku bahagia karena punya sumber pendapatan. Dia bercerita, sebanyak 12 orang warga kampung Tari bekerja di Timang. Mereka membagi-bagi peran.
Sekitar enam orang bertugas menarik gondola. Ada yang berperan mendampingi tetamu menyeberangi jembatan menuju Watu Panjang yang berada sejauh 120 meter di depan pantai. Watu Panjang ini menjadi daya pikat pantai Timang. "Saya seharian dapat paling sedikit Rp 40 ribu," ujar Muji jujur.
Si Cantik Pok Tunggal
Percakapan saya dan Muji belum tuntas ketika pemandu mengumumkan agar segera kembali ke jeep. Sasaran selanjutnya adalah pantai Pok Tunggal. Dari Timang menuju Pok Tunggal terasa tergesa-gesa dan ngeri.
Iring-iringan jeep bak naga marah yang sedang mengejar mangsa. Semua kendaraan yang menuju Timang, sore itu, sampai-sampai menyingkir jauh di luar jalur. “Apa pula gerangan sampai hiruk-pikuk begini,” batinku.
Saat tiba di Pok Tunggal, baru saya sadar kalau ketergesaan itu lantaran memburu sang surya tenggelam. Saat tiba, Pok Tunggal memang menampilkan pemandangan terbaiknya. Pok Tunggal bagai gadis cantik. Lembut pasir putih terbentang. Laut pasang surut. Tak jenuh ombak menggulung melepas buih putih.
Jauh di horson kaki langit, sang surya perlahan menurun. Warna perak, merah merona, dan jingga menyatu. Awan senja tipis enggan beranjak. Beberapa pengunjung berusaha menangkap momen ini dengan kamera telepon genggam.
Terlihat sepasang anak muda bertukar posisi dalam ritual fotografi. Mereka berusaha membingkai matahari dalam dua jari telunjuk dan ibu jari yang membentuk simbol hati.
Menurut pengakuan warga, tempat ini banyak dikunjungi kaum muda atau keluarga muda jika hari Sabtu atau Minggu. “Mereka umumnya suka memotret saat matahari terbenam,” kata seorang ibu yang menjajakan minuman kelapa muda.
Tatkala mengangkat kepala, mata menabrak belasan vila yang berdiri tegak persis di depan. Dengan tiang-tiang kokoh mencengkeram cadas di area berkontur miring mendekati 70 derajat, hunian beratap lancip itu berdiri anggun di tengah hening hutan jati. Seperti sebuah isyarat asa dan optimisme yang kukuh.
Entah mengapa. Seluruh perjalanan wisata hari itu sungguh suatu perjumpaan estetik-religius. Dan perjumpaan itu serasa dimulai dari titik ini, Radika Paradise.
Terletak di bukit cadas Tenggole, Ngasem, Tepus, Gunung Kidul, Radika Paradise menyuntik optimisme awal pada petualangan kami hari itu. Di depan hunian itu sepuluh jeep bak terbuka sudah disiapkan oleh para crew Jendela Wisata yang ramah dan gesit.
Sejenak jeda, sekadar untuk berganti pakaian, memindahkan cemilan dan kotak air mineral dari minibus ke jeep serta membagi-bagi masker. Setelah semuanya siap, para petualang diminta untuk menumpang jeep-jeep itu sesui pilihan hati masing-masing.
Seperti tak sabar, rombongan wartawan itu melompt ke atasnya. Ada yang memilih warna orange, merah, hijau, kuning, biru dan hitam. Aba-aba pemandu wisata menandai petualangan dimulai. Jeep pertama meluncur diikuti jeep yang lainnya. Beriring-iringan.
Dalam hitungan detik Radika Paradise menjauh di belakang. Sepuluh kendaraan penakluk gunung itu terus meluncur di atas jalan licin menuju Pantai Timang. Gemuruh memecah sunyi. Penjelajahan yang menakjubkan. Estetik-religus.
Di kiri kanan jalan, bukit batu cadas meranggas. Tapi di sela bebatuan berlubang itu akar jati menusuk mencari kehidupan. Jati-jati itu tumbuh tegak, sabar mananti hujan pertama dengan mencicil daun kering menumpuki bumi.
Wow! Tanah kerontang, cadas dan jati meranggas menceritakan keindahan sekaligus keagungan. Betapa agung karya-Nya. Di titik tertentu bukit cadas menyerupai tempurung telungkup raksasa dengan karang kehitaman menonjol ke permukaan bumi.
Di lain tempat, hamparan lahan tanah merah hampir seluas lapangan bola sepak dikelilingi bukit batu setengah melingkar. Langsung angan saya bertualang ke Gunung Ares dekat kota Athena, jaman Yunani Kuno.
Di bukit Ares sebuah stadion bernama Areopagus dibangun. Areopagus, dalam tradisi keilmuan Yunani, dijadikan tempat untuk mengadili atau menguji pemikiran atau ajaran baru. Dewan Areopagus dan seluruh rakyat Athena bisa seharian mendengarkan pertanggungjawaban akademik ajaran baru.
Tidak heran, Athena menjadi gudangnya para pemikir di abad keempat hingga abad kedua sebelum Masehi. Filsuf Sokrates, Plato, dan Aristoteles contohnya. Ketiganya mengukuhkan etika kehidupan yang disebut eudamonia. Bahwa tujuan hidup manusia adalah kesenangan....
Semua Senang di Timang
Petualangan saya di Gunung Ares, Yunani klasik terhenti saat iring-iringan jeep memasuki kampung kecil bernama Tari. Di pojok pangkalan ojek terpampang sebilah plang bertuliskan; Timang, 3 km, ojek Rp 50 ribu go back'. "Kok mahal banget? Hanya 3 kilometer ke Timang, sewa ojek Rp50 ribu pergi dan pulang,?" tanya saya dalam hati.
Pertanyaan itu terjawab oleh perjalanan itu sendiri. Dari kampung Tari, Kelurahan Purwodadi, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul menuju Timang hampir seluruhnya melewati jalan yang belum beraspal. Jalan yang agak bagus berhenti persis di kampung ini. Mulai dari Tari, roda bergerigi jeep bergelinding di atas bongkah batu seukuran batok kelapa gading.
Terasa badan meliuk kiri-kanan, melenting turun naik mengikuti lekuk liku jalan. Pengalaman seperti ini dirasakan sepanjang 3 kilometer. Benarlah apa yang dikatakan buku suci, jalan menuju nirwana tak mudah. Untuk meraih kesenangan atau sukacita kerap harus melewati jalan dukacita, onak, dan duri.
Itu dialami saat tiba di spot wisata bernama Timang, Nirwana di balik Gunung Kidul itu. Di Timang semua senang. Pengunjung senang melihat ombak menggulung, menghantam tebing karang, lalu menjelma buih putih seperti kapas.
Pengunjung juga senang karena berhasil menekuk rasa takut saat menyeberang menuju Watu Panjang dengan gondola atau jalan kaki di jembatan dengan panjang 120 meter berada di atas ketinggian 15 meter.
Di Timang pengunjung juga senang karena menemukan hakikat diri sebagai makhluk pesiarah yang riang. Lihat saja, mereka menebar senyum di spot-spot foto selfie.
Dan jangan lupa, mereka yang mencatat tamu, menjual es kelapa, menarik tambang gondola juga senang, karena telah menukar senang dengan uang.
"Di sini, untuk menyeberang pake gondola, tarifnya Rp200 ribu untuk orang asing, lokal Rp150 ribu. Sedangkan yang menyeberang lewat jembatan akan dikenakan tarif Rp100 ribu," jelas Muji, warga Kampung Tari, Kelurahan Purwodadi, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul.
Muji yang bertugas memberi cap atau stempel pada karcis mengaku bahagia karena punya sumber pendapatan. Dia bercerita, sebanyak 12 orang warga kampung Tari bekerja di Timang. Mereka membagi-bagi peran.
Sekitar enam orang bertugas menarik gondola. Ada yang berperan mendampingi tetamu menyeberangi jembatan menuju Watu Panjang yang berada sejauh 120 meter di depan pantai. Watu Panjang ini menjadi daya pikat pantai Timang. "Saya seharian dapat paling sedikit Rp 40 ribu," ujar Muji jujur.
Si Cantik Pok Tunggal
Percakapan saya dan Muji belum tuntas ketika pemandu mengumumkan agar segera kembali ke jeep. Sasaran selanjutnya adalah pantai Pok Tunggal. Dari Timang menuju Pok Tunggal terasa tergesa-gesa dan ngeri.
Iring-iringan jeep bak naga marah yang sedang mengejar mangsa. Semua kendaraan yang menuju Timang, sore itu, sampai-sampai menyingkir jauh di luar jalur. “Apa pula gerangan sampai hiruk-pikuk begini,” batinku.
Saat tiba di Pok Tunggal, baru saya sadar kalau ketergesaan itu lantaran memburu sang surya tenggelam. Saat tiba, Pok Tunggal memang menampilkan pemandangan terbaiknya. Pok Tunggal bagai gadis cantik. Lembut pasir putih terbentang. Laut pasang surut. Tak jenuh ombak menggulung melepas buih putih.
Jauh di horson kaki langit, sang surya perlahan menurun. Warna perak, merah merona, dan jingga menyatu. Awan senja tipis enggan beranjak. Beberapa pengunjung berusaha menangkap momen ini dengan kamera telepon genggam.
Terlihat sepasang anak muda bertukar posisi dalam ritual fotografi. Mereka berusaha membingkai matahari dalam dua jari telunjuk dan ibu jari yang membentuk simbol hati.
Menurut pengakuan warga, tempat ini banyak dikunjungi kaum muda atau keluarga muda jika hari Sabtu atau Minggu. “Mereka umumnya suka memotret saat matahari terbenam,” kata seorang ibu yang menjajakan minuman kelapa muda.
(don)