Setangkai Anggrek Bulan di Radika Paradise

Sabtu, 13 Oktober 2018 - 06:31 WIB
Setangkai Anggrek Bulan...
Setangkai Anggrek Bulan di Radika Paradise
A A A
"Bunga anggrek yang kusayang
Kini tersenyum berdendang
Bila engkau berduka
Matahari tak bersinar lagi
Matahari tak bersinar lagi".


Lirik-lirik dari bait terakhir lagu berjudul Setangkai Anggrek Bulan. Lagu ini dinyanyikan Pak Cyrillus Harinowo, duet bersama istrinya tercinta di ruang diskusi Radika Paradise, Sabtu (29/9) malam itu. Malam yang istimewa dan penuh makna. Setangkai Anggrek Bulan didendang di puncak Tenggole yang hening.

Saya merasa Setangkai Anggrek Bulan yang dibawakan pengamat pariwisata itu punya makna melampaui lagu itu sendiri. Yaitu sebuah cerita tentang Radika Paradise. Bahkan lebih luas, cerita tentang Gunung Kidul. Sama seperti dia menceritakan Gunung Kidul lewat lisan pun tulisannya.

Dengan jujur dia mengisahkan, mengapa dia berusaha sekuat tenaga mengembangkan pariwisata di Gunung Kidul. Diakuinya, meski pun dirinya warga Yogyakarta dan kuliahnya di UGM, namun baru tahun 2004 menginjakkan kaki di Gunung Kidul, persisnya di Dusun Jati Semanuk.

"Pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini tahun, 2004 saat saya sudah di berada di BCA. Waktu itu saya ada acara di Dusun Jati Semanuk. Saat saya pergi ke toilet, air krannya jernih sekali. Menurut masyarakat setempat, ternyata desa itu memiliki sumber air dari Bribin. Dari sinilah saya yakin, Gunung Kidul berpotensi untuk dikembangkan," lisannya.

Pengalaman itu menggeraknya untuk menulis berbagai artikel terkait potensi Gunung Kidul. Artikel Monterrey di Gunung Kidul yang pernah dimuat di Koran Sindo mengandung asa yang kuat. Di Radika Paradise, malam itu, harapan membuncah, lewat Setangkai Anggrek Bulan.

Lirik-lirik itu pas sebuah potret alam Gunung Kidul yang dulu 'layu', kini mulai mekar bagai anggrek bulan. Lirik-lirik Setangkai Anggrek Bulan juga pas melukiskan bukit Tenggole yang gersang bercadas, kini ditumbuhi taman dan vila-vila kokoh yang menopang industri pariwisata.

Lihat! Vila-vila itu, berbagi ruang dengan batu cadas dan jati meranggas. Tersirat sebuah pesan harmoni antara yang modern dan tradisional. Antara buatan tangan manusia dengan keaslian alam ciptaan-Nya.

Hunian di Radika Paradise, berbentuk rumah panggung, atap miring, dan ruang lega tak bersekat. Bangunan ditopang tiang. Ada empat baris tiang, semuanya dari beton dengan fondasi cakar ayam. Tiap baris ada tiga tiang.

Jadi, untuk menopang vila ada sebanyak duabelas tiang. Karena dipantek di tebing bukit, maka barisan tiang paling belakang -dilihat tampak depan dari jalan- sangat pendek. Bahkan nyaris tak kelihatan.

Saya tidak sempat ukur tinggi tiang paling depan. Dari belasan anak tangga yang saya hitung saat naik dan turun -sekitar 12 anak tangga kalau tidak salah-saya perkirakan tinggi tiang tampak depan sekira 3 meter lebih.

Sekali lagi saya tidak mengukur karena saya tidak merasa penting untuk mencatat detil tinggi tiang. Bagi saya yang penting bisa menangkap kesan awal. Vila-vila itu berjejer rapi di lereng bukit Tenggole, Ngasem, Tepus, Gunung Kidul.

Mereka seolah mendongak ke angkasa raya sambil kaki-kakinya mencengkeram bumi. Dengan gaya arsitektur semi klasik yang mengusung konsep hunian ekowisata, vila-vila mini berkapasitas enam bed itu, terasa nyaman, hening dan ramah alam.

Cyrillys Harinowo, pemilik vila menuturkan, saat menggali fondasi para tukang tidak diperkenankan menggunakan alat berat. Kontur miring dibiarkan begitu saja, tidak dibikin rata. "Agar tidak merusak struktur tanah," jelasnya.

Lorong yang mehubungkan vila yang satu dengan lainnya juga tidak digali, tapi dibuat dengan batu-batu yang disusun rapi. Ada jalur kecil dan ada jalan lebar yang bisa dilalui mobil, semua dari batu-batu yang disusun rapi.

Dengan penataan yang unik disertai letaknya yang strategis, Radika Paradise tidak saja hadir sebagai resort yang menopang pariwisata, tapi spot wisata itu sendiri.

Dari restoran yang berada di lokasi agak tinggi, kita bisa melihat pantai berpasir putih yang ada di bawahnya. Pantai ini berada di belakang Pantai Indrayanti, disekat bukit batu.

Berada di vila Radika Paradise, saya merasa seperti seorang sufi yang sedang meditasi di tengah keheningan. Titik energi jagat raya dan jagat kecil menyatu dalam ada-ku, yang membuat saya sadar akan kebesaran-Nya.

Seketika jiwaku tenang. Saya pun jadi sadar kekuatan konsep hunian yang disebut eco-wisata yang cenderung kembali ke alam, kembali ke akar budaya. Atau dengan kata lain, berdamai dengan dengan alam.

Saat rombongan wartawan check out Minggu (30/9) pagi itu, saya sempat menoleh ke Radika Paradise. Belasan vila beratap lancip itu tampak kokoh dan tegak berdiri, isyarat harapan yang kukuh sang pemilik. Darinya saya memetik banyak pelajaran hidup.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1259 seconds (0.1#10.140)