Tren Berwisata Kaum Milenial Tinggi
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah dan pemangku kepentingan akan lebih serius menggarap pasar wisatawan milenial yang diproyeksikan terus tumbuh dan menjadi pasar utama.
Pada 2030, Asia akan menja di rumah bagi 57% penduduk usia 15-38 atau yang populer dengan sebutan generasi Y atau generasi milenial. Di China, kaum milenialis akan mencapai 333 juta, Filipina 42 juta, Vietnam 26 juta, Thailand 19 juta, sedangkan Indonesia 82 juta.
Sejalan dengan itu, pasar pariwisata Asia juga akan didominasi wisatawan milenial. “Seki tar 40% perjalanan wisatawan itu dari regionalnya. Pasar kita juga dominan wisman dari kawasan Asia, khususnya ASEAN sekitar 30%,” ujar Deputi Pengembangan Industri dan Kelembagaan Kemenpar Rizki Handayani di sela-sela FGD dengan tema “Millennials & Disruption, Tantangan Model Bisnis” di Jakarta kemarin.
Kiki, sapaan akrabnya, melihat saat ini 50% dari masingmasing pasar wisman tersebut sudah merupakan generasi milenial. Dia pun meyakini lima tahun kedepan perkembangan pasar wisatawan milenial akan terus menanjak sehingga perlu strategi tepat untuk merangkul milenial dari berbagai segmen.
Dia mencontohkan, di Singapura banyak terdapat pelajar dan mahasiswa generasi milenial yang berpotensi melakukan perjalanan wisata di Asia, termasuk Indonesia. “Segmen yang bermacam-macam ini ke depan harus dilihat.
Mudah-mudahan tahun depan kita sudah punya strategi khusus untuk menarik kaum milenial,” ucapnya. Pendiri Rumah Perubahan Rhenald Kasali mengatakan, karakteristik wisatawan milenial di berbagai regional bisa berbeda-beda.
Misalnya milenial Amerika punya moto work hard play hard, suka travel jarak jauh atau long haul, dengan pengeluaran yang besar. Wisatawan China juga terbilang high spender dan suka berbelanja, berwisata dengan mengambil paket turdan mencari destinasi populer.
Lantas, bagaimana dengan milenial Indonesia? “Karakternya impulsive holidays. Hari ‘kejepit’ penting dan dimanfaatkan untuk berwisata. Selain itu, mereka memperhitungkan biaya, budget travel.
Dalam perkembangannya, saat berwisata tak jarang mereka juga menawarkan jasa titipan atau jastip dan bistip. Gaya hidup milenial Indonesia sudah berubah banyak,” tutur Rhenald.
Mengutip sumber dari Capturing the Asian Millenial Traveller, Rhenald menyebutkan rata-rata orang Asia berlibur dua kali setahun, Eropa dan Amerika tiga kali setahun, Timur Tengah dua kali setahun dengan lama tinggal bisa mencapai 100 hari (satu musim).
Adapun pengeluaran selama berwisata, untuk Asia USD1.548, Eropa USD1.300, Timur Tengah USD3.000, dan Amerika USD2.500. Lebih lanjut Rhenald mengatakan, milenial sebagai generasi yang ingin selalu terkoneksi dengan dunia, tentunya membutuhkan ketersediaan perangkat konektivitas seperti Wi-Fi dalam li burannya.
Mereka juga mencari pengalaman otentik selama berwisata. Hal ini ditangkap pelaku pariwisata dengan menawarkan paket wisata menarik yang berbau pengalaman.
Di sisi lain, kehadiran milenial menyebabkan disrupsi di industri pariwisata, di mana cara-cara lama dan konvensional tidak lagi dilirik, digantikan oleh medium yang lebih kekinian seperti platform di gital.
Maka itu, pelaku bisnis pariwisata Indonesia perlu segera mengantisipasi perubahan model bisnis pariwisata di era digital atau millennial tou rism di mana pasar dunia akan didominasi kelompok wisatawan ini.
Para millennial tra velers ini mempunyai kesenangan untuk berpetualang atau travelling, namun mereka lebih suka menggunakan jasa-jasa perjalanan wisata yang berbasis aplikasi, bukan lagi konvensional.
“Ini tentu menjadi salah satu tantangan besar bagi pelaku bisnis pariwisata di Tanah Air untuk segera menyesuaikan model bisnis mereka sesuai dengan tuntutan pasar,” tandas Kiki.
Ketua Asosiasi Biro Perjalanan Wisata (Asita) Asnawi Bahar mengatakan, tumbuhnya wisatawan milenial merupakan peluang besar bagi industri pariwisata. Asita menyatakan siap menyesuaikan selera dan kebutuhan dari pang sa pasar millennial tourism.
Industri pariwisata juga dituntut untuk dapat menyesuaikan perubahan karakteris tik dari wisatawan yang berusia lebih muda tersebut. “Tentu akan ada perubahan karakteristik dari millennial tourism ini, jadi kita harus menyesuaikan habit dan kebiasaan mereka, pasti ada sensasi baru yang berkembang, karena mereka tidak menganut paham tradisional,” kata Asnawi.
Dia mengakui saat ini industri wisata di Tanah Air cukup tertekan dengan hadir nya layanan travel online seperti pemesanan tiket secara online dan juga pemesanan hotel secara online.
Untuk itu, pihaknya siap beradaptasi dengan mengombinasikan sistem konvensional dan digital yang akhirnya menghasilkan la yan an terbaik. “Kami akan membuat produk baru yang disesuaikan dengan habit mereka, produk yang punya sentuhan teknologi,” ucapnya.
Asnawi mengakui, saat ini sebagian besar wisatawan milenial lebih memanfaatkan teknologi digital diban dingkan cara tradisional dalam memilih tiket akomodasi maupun pemesanan kamar hotel. Meski demikian, Asita tetap optimistis bisa meraih pangsa pasar tersebut dengan mengandalkan pelayanan terbaik.
Hal serupa juga diyakini Rhenald Kasali yang meyakini pelaku usaha pariwisata akan mampu beradaptasi dengan per ubahan. “Karakter bisnis pariwisata itu mereka terperangkap masa lalu, kaget, tapi kemudian dengan cepat mereka beradaptasi,” tuturnya.
Asdep Manajemen Strategis Kemenpar Frans Teguh mengatakan, di era digital saat ini kaum milenial sebagai pemeran utama dalam menggunakan teknologi dan meng akses informasi di dunia maya.
Kaum Generasi Y ini mudah terlihat dengan kegemaran mereka berwisata dan lebih senang berpetualang, dibandingkan dengan generasi sebelumnya. “Minimnya pengalaman tidak mengurungkan niat kaum ini untuk mengaktualisasi diri, ini yang membedakan generasi sebelumnya yang sudah berpengalaman dan lebih menyenangi aktivitas rutinitas yang sudah jelas,” kata Frans.
Pada berbagai kesempatan, Menteri Pariwisata Arief Yahya juga kerap menyinggung terkait peran besar milenial dal am pariwisata. “Market-nya adalah para milenial. Anak-anak muda mobile, digital dan interaktif. Mereka membutuhkan pengakuan, esteem needs, terutama melalui media sosial,” tuturnya.
Pada 2030, Asia akan menja di rumah bagi 57% penduduk usia 15-38 atau yang populer dengan sebutan generasi Y atau generasi milenial. Di China, kaum milenialis akan mencapai 333 juta, Filipina 42 juta, Vietnam 26 juta, Thailand 19 juta, sedangkan Indonesia 82 juta.
Sejalan dengan itu, pasar pariwisata Asia juga akan didominasi wisatawan milenial. “Seki tar 40% perjalanan wisatawan itu dari regionalnya. Pasar kita juga dominan wisman dari kawasan Asia, khususnya ASEAN sekitar 30%,” ujar Deputi Pengembangan Industri dan Kelembagaan Kemenpar Rizki Handayani di sela-sela FGD dengan tema “Millennials & Disruption, Tantangan Model Bisnis” di Jakarta kemarin.
Kiki, sapaan akrabnya, melihat saat ini 50% dari masingmasing pasar wisman tersebut sudah merupakan generasi milenial. Dia pun meyakini lima tahun kedepan perkembangan pasar wisatawan milenial akan terus menanjak sehingga perlu strategi tepat untuk merangkul milenial dari berbagai segmen.
Dia mencontohkan, di Singapura banyak terdapat pelajar dan mahasiswa generasi milenial yang berpotensi melakukan perjalanan wisata di Asia, termasuk Indonesia. “Segmen yang bermacam-macam ini ke depan harus dilihat.
Mudah-mudahan tahun depan kita sudah punya strategi khusus untuk menarik kaum milenial,” ucapnya. Pendiri Rumah Perubahan Rhenald Kasali mengatakan, karakteristik wisatawan milenial di berbagai regional bisa berbeda-beda.
Misalnya milenial Amerika punya moto work hard play hard, suka travel jarak jauh atau long haul, dengan pengeluaran yang besar. Wisatawan China juga terbilang high spender dan suka berbelanja, berwisata dengan mengambil paket turdan mencari destinasi populer.
Lantas, bagaimana dengan milenial Indonesia? “Karakternya impulsive holidays. Hari ‘kejepit’ penting dan dimanfaatkan untuk berwisata. Selain itu, mereka memperhitungkan biaya, budget travel.
Dalam perkembangannya, saat berwisata tak jarang mereka juga menawarkan jasa titipan atau jastip dan bistip. Gaya hidup milenial Indonesia sudah berubah banyak,” tutur Rhenald.
Mengutip sumber dari Capturing the Asian Millenial Traveller, Rhenald menyebutkan rata-rata orang Asia berlibur dua kali setahun, Eropa dan Amerika tiga kali setahun, Timur Tengah dua kali setahun dengan lama tinggal bisa mencapai 100 hari (satu musim).
Adapun pengeluaran selama berwisata, untuk Asia USD1.548, Eropa USD1.300, Timur Tengah USD3.000, dan Amerika USD2.500. Lebih lanjut Rhenald mengatakan, milenial sebagai generasi yang ingin selalu terkoneksi dengan dunia, tentunya membutuhkan ketersediaan perangkat konektivitas seperti Wi-Fi dalam li burannya.
Mereka juga mencari pengalaman otentik selama berwisata. Hal ini ditangkap pelaku pariwisata dengan menawarkan paket wisata menarik yang berbau pengalaman.
Di sisi lain, kehadiran milenial menyebabkan disrupsi di industri pariwisata, di mana cara-cara lama dan konvensional tidak lagi dilirik, digantikan oleh medium yang lebih kekinian seperti platform di gital.
Maka itu, pelaku bisnis pariwisata Indonesia perlu segera mengantisipasi perubahan model bisnis pariwisata di era digital atau millennial tou rism di mana pasar dunia akan didominasi kelompok wisatawan ini.
Para millennial tra velers ini mempunyai kesenangan untuk berpetualang atau travelling, namun mereka lebih suka menggunakan jasa-jasa perjalanan wisata yang berbasis aplikasi, bukan lagi konvensional.
“Ini tentu menjadi salah satu tantangan besar bagi pelaku bisnis pariwisata di Tanah Air untuk segera menyesuaikan model bisnis mereka sesuai dengan tuntutan pasar,” tandas Kiki.
Ketua Asosiasi Biro Perjalanan Wisata (Asita) Asnawi Bahar mengatakan, tumbuhnya wisatawan milenial merupakan peluang besar bagi industri pariwisata. Asita menyatakan siap menyesuaikan selera dan kebutuhan dari pang sa pasar millennial tourism.
Industri pariwisata juga dituntut untuk dapat menyesuaikan perubahan karakteris tik dari wisatawan yang berusia lebih muda tersebut. “Tentu akan ada perubahan karakteristik dari millennial tourism ini, jadi kita harus menyesuaikan habit dan kebiasaan mereka, pasti ada sensasi baru yang berkembang, karena mereka tidak menganut paham tradisional,” kata Asnawi.
Dia mengakui saat ini industri wisata di Tanah Air cukup tertekan dengan hadir nya layanan travel online seperti pemesanan tiket secara online dan juga pemesanan hotel secara online.
Untuk itu, pihaknya siap beradaptasi dengan mengombinasikan sistem konvensional dan digital yang akhirnya menghasilkan la yan an terbaik. “Kami akan membuat produk baru yang disesuaikan dengan habit mereka, produk yang punya sentuhan teknologi,” ucapnya.
Asnawi mengakui, saat ini sebagian besar wisatawan milenial lebih memanfaatkan teknologi digital diban dingkan cara tradisional dalam memilih tiket akomodasi maupun pemesanan kamar hotel. Meski demikian, Asita tetap optimistis bisa meraih pangsa pasar tersebut dengan mengandalkan pelayanan terbaik.
Hal serupa juga diyakini Rhenald Kasali yang meyakini pelaku usaha pariwisata akan mampu beradaptasi dengan per ubahan. “Karakter bisnis pariwisata itu mereka terperangkap masa lalu, kaget, tapi kemudian dengan cepat mereka beradaptasi,” tuturnya.
Asdep Manajemen Strategis Kemenpar Frans Teguh mengatakan, di era digital saat ini kaum milenial sebagai pemeran utama dalam menggunakan teknologi dan meng akses informasi di dunia maya.
Kaum Generasi Y ini mudah terlihat dengan kegemaran mereka berwisata dan lebih senang berpetualang, dibandingkan dengan generasi sebelumnya. “Minimnya pengalaman tidak mengurungkan niat kaum ini untuk mengaktualisasi diri, ini yang membedakan generasi sebelumnya yang sudah berpengalaman dan lebih menyenangi aktivitas rutinitas yang sudah jelas,” kata Frans.
Pada berbagai kesempatan, Menteri Pariwisata Arief Yahya juga kerap menyinggung terkait peran besar milenial dal am pariwisata. “Market-nya adalah para milenial. Anak-anak muda mobile, digital dan interaktif. Mereka membutuhkan pengakuan, esteem needs, terutama melalui media sosial,” tuturnya.
(don)