Berbincang Sastra dengan Ahmadun Yosi Herfanda

Sabtu, 01 Desember 2018 - 09:30 WIB
Berbincang Sastra dengan...
Berbincang Sastra dengan Ahmadun Yosi Herfanda
A A A
Pria kelahiran Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah ini menyukai sastra, terutama puisi, semenjak kecil ketika di sekolah dasar dan pesantren di desanya. Latar belakang ini juga yang membuatnya lebih senang menulis puisi bertemakan religi.

Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di IKIP Yogyakarta ini juga pernah menjabat di beberapa komunitas atau organisasi yang bergerak di bidang penulisan ataupun sastra.Kemudian sebagai Ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (KSI) pada 1999-2002.

Pada tahun 2010-2013 juga aktif sebagai ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Beberapa karyanya antara lain Pagar-Pagar (kumpulan puisi, 1980), Sembahyang Rumputan (kumpulan puisi, 1996), Badai Laut Biru (kumpulan cerpen, 2004), dan masih banyak lagi.

Aktivitasnya kini selain sebagai penulis adalah sebagai pengajar, juga membantu beberapa lembaga yang bergerak di bidang literasi, termasuk lembaga pemerintah, yakni Kemendikbud dalam Gerakan Literasi Nasional.

"Bersastra bagi saya adalah sebuah wadah untuk menyebarkan pesan-pesan kebaikan, menjadi sebuah ibadah kreatif," ujarnya. Beliau melihat bahwa kondisinya sudah cukup bagus, dan karya-karya yang ada sudah banyak serta heterogen dalam hal temanya dibandingkan dengan zaman atau periode yang telah lalu.

Saat ini juga karya sastra banyak dirangsang dengan sejumlah event yang bersifat lokalitas. Sebagaimana umumnya kita ketahui, terdapat periodisasi dalam penulisan sejarah perkembangan sastra di Indonesia.

Diawali dari angkatan ‘20 dengan munculnya Balai Pustaka, Abdul Muis, dan Rustam Effendi. Berlanjut ke angkatan Pujangga Baru, ‘30 dengan tokohnya Sultan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, dan Sanusi Pane. Kemudian angkatan ‘45 dengan tokohnya Chairil Anwar.

Dan angkatan ‘66 dengan tokohnya seperti Taufiq Ismail, AA Navis, dan Mochtar Lubis. Hingga ke angkatan 2000 yang sebenarnya kadang pula dibagi lagi menjadi angkatan ‘70, ‘80, dan reformasi. "Pembagian periodisasi atau angkatan ini untuk memudahkan dalam mempelajari perkembangan sastra di Indonesia.

Selain itu, pembagian ini menunjukkan adanya warna tersendiri di setiap angkatan itu. Namun, bagi seorang sastrawan sebenarnya tidak begitu berpengaruh ia masuk ke angkatan mana pun karena yang terpenting adalah mereka berkarya," tuturnya ketika diwawancarai di kediamannya di daerah Pamulang.

"Tidak ada kecenderungan yang homogen. Apalagi karya sastra saat ini terutama puisi dirangsang dengan event yang sifatnya kedaerahan. Misalnya sebuah event sastra di Aceh dengan tema kopi, maka pihak panitia menyuruh peserta menuliskan puisi bertemakan kopi.

Begitu juga dengan daerah lainnya yang banyak sekali mengadakan event sastra," ungkapnya. Untuk melestarikan dan mengembangkan budaya sastra di Indonesia ini, tentu harus ada kerja sama dari berbagai pihak. Penulis, komunitas sastra, para penerbit, juga dari pemerintah. Terakhir, untuk bisa membuat sebuah karya sastra yang baik, Ahmadun memberikan sedikit tips.

"Tentu diawali dengan niat dan kesenangan untuk menulis, kemudian kita mesti mengenali diri sendiri di mana potensi dan passion kita, misalnya apakah kita lebih suka menulis puisi atau cerpen bertemakan sosial, religi, atau yang lainnya, dan terakhir tentu saja mulailah untuk menulis, di awalawal menulis sajalah tanpa perlu khawatir apakah tulisan kita bagus ataukah tidak," tutupnya.

SYAIDINA SAPTA WILANDRA
GEN SINDO-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1873 seconds (0.1#10.140)