Menampilkan Wajah Multikulturalisme Australia di Panggung Busana
A
A
A
SYDNEY - Pada perkembangannya fashion bukan sekadar menjadi pelindung tubuh atau hanya membuat orang yang mengenakannya lebih menarik dan percaya diri. Lebih dari itu fashion juga bisa menjadi etalase wajah suatu negara.
Fashions of Multicultural Australia (FOMA) adalah salah satu event yang mencoba melihat fashion bukan sekadar tren. Tapi bagaimana menampilkan wajah Australia yang sangat multikultural untuk dirangkum dalam fashion show di Cutaway, Barangaroo, New South Wales, Australia.
“FOMA adalah inisiatif nasional yang unik dan baru untuk menumbuhkan hubungan sosial, hubungan budaya, dan apresiasi melalui mode. Pameran dan pertunjukan adalah media memamerkan bakat para desainer lokal, internasional, dan bahkan pengungsi," kata penggagas Gandhi Creations dan FOMA Sonia Sadiq Gandhi kepada KORAN SINDO dan beberapa media asal Indonesia lainnya di kantornya, Senin (25/2).
Event yang mulai digelar kemarin ini, menurut Gandhi, adalah yang terbesar yang mereka lakukan. Acara ini akan menampilkan 15 desainer dan 30 budaya dunia berbeda yang membentuk multikulturalisme Australia. Ada Afghanistan, Cile, Rusia, Kolombia, India, Indonesia, Irlandia, Pakistan, Palestina, Kiribati, Australia, dan bahkan Brasil.
Gandhi menegaskan, yang ingin dilakukan adalah meruntuhkan stereotip dalam menilai seseorang dari pakaiannya. “Kami juga ingin memberikan kesempatan merefleksikan mode dunia dan membantu mengembangkan apresiasi publik atas budaya yang berbeda. Kami juga menjadikan beberapa atlet paralympics menjadi model dari pakaian yang dipamerkan,” tandasnya.
Desainer yang datang bisa dikatakan menjadi representasi dari negara peserta karena FOMA bekerja sama dengan pemerintah. Pelibatan pemerintah diharapkan membuat para desainer yang disertakan memang menjadi wajah dari mode di negara sendiri. Selain itu tiap negara juga akan mendapatkan space untuk memperkenalkan semua hal tentang negara peserta.
Dia kemudian mencontohkan Indonesia. Jika bicara Indonesia yang muncul adalah Bali dan Bali. Padahal Indonesia memiliki lebih dari itu. “Lalu bagaimana mengurangi kesan itu jika tidak ada media atau ruang menyampaikannya? Bicara di podium tidak ada yang mendengarkan. Dampak visual sangat penting. Kami pikir, itulah yang harus dilakukan,” tambahnya.
Indonesia mengirim dua desainer di FOMA 2019. Mereka adalah Savira Lavinia (Sav Lavin) pemilik Not Just Label dan Novita Yunus dari Batik Chic. Lavin disebut sebagai desainer muda masa depan yang berani bereksplorasi dengan tema edgy yang berakar pada budaya Indonesia. Dalam beberapa kesempatan dia juga tak ragu memperlihatkan wujud nasionalisme dalam bentuk gurdo saat menampilkan karyanya di Future Profound 2015. Neoprene, 3D space fabrics, synthetic leather pun menjadi ciri khasnya dalam mendeskripsikan masa depan. ”Awalnya tidak menyangka bisa di-invite dan dikurasi KJRI Sydney dan FOMA event. Pastinya sangat senang dan excited,” kata Lavin kepada wartawan.
Menariknya, menurut beberapa pengamat fashion yang memberikan reviu mereka melalui blog, lulusan Universitas ESMOD Jakarta tersebut bukan sekadar berinovasi, tetapi juga mempertahankan akar budaya sebagai bagian dia mendeskripsikan masa depan. Di FOMA 2019, Lavin membawa desain yang terinspirasi Jakarta.
Riset dan proses desain dilakukan mendalam dengan harapan orang Jakarta akan teringat pada ibu kota Indonesia itu. Misalnya sarung, plastik hitam, polusi, keamanan di kota, si pitung, ondel-ondel, tetapi itu semua digabungkan dengan riset tren dunia sehingga look tetap ready to wear dan modern.
“Jumlah yg akan ditampilkan ada 10 total look. Warna-warna yang diangkat adalah mandarin orange, biru laut, hijau, hitam, dan silver. Jenis bahan ada polyester dan katun. Siluetnya perpaduan antara maskulin dan sentuhan feminin. Koleksi ini berupa koleksi terbaru Sav Lavin AW19,” tambah Lavin.
Bakat Lavin sudah terlihat lama saat pada 2013 menerima penghargaan sebagai "penghargaan juri khusus" dari Yongki Komaladi selama peragaan busana kelulusannya. Dia meraih tempat pertama di Kompetisi Desain Mode Indonesia 2014. Setelah menyelesaikan studi beasiswa di Koefia, Roma, Italia, dia magang di Iris Van Herpen Atelier di Amsterdam, Belanda. Baru-baru ini, debutnya koleksi SS18 pada Oktober 2017 ditampilkan di Los Angeles Fashion Week.
Adapun Novita masuk ke industri mode dengan meninggalkan pekerjaannya di bank. Novita mengirimkan foto-foto "tas batik desainer" pertamanya di halaman Facebooknya yang mengakibatkan pesanan mengalir dari teman-teman dan kenalannya. Menanggapi permintaan tak terduga ini, ia memulai perusahaannya pada 2009.
Novita mendirikan Batik Chic karena kecintaan pada tradisi dan kebutuhan untuk melestarikan budaya seperti yang diwakili moto perusahaan Keep the Heritage Alive. Dia ingin meningkatkan kesadaran dan menumbuhkan popularitas batik dan kain tradisional Indonesia lainnya. Sejak awal dia berkomitmen untuk membuat barang-barang batik modis untuk segala usia, sementara pada saat yang sama mempromosikan kain batik vintage atau desain yang perlahan menghilang.
Maruf
Koran SINDO-Sydney
Fashions of Multicultural Australia (FOMA) adalah salah satu event yang mencoba melihat fashion bukan sekadar tren. Tapi bagaimana menampilkan wajah Australia yang sangat multikultural untuk dirangkum dalam fashion show di Cutaway, Barangaroo, New South Wales, Australia.
“FOMA adalah inisiatif nasional yang unik dan baru untuk menumbuhkan hubungan sosial, hubungan budaya, dan apresiasi melalui mode. Pameran dan pertunjukan adalah media memamerkan bakat para desainer lokal, internasional, dan bahkan pengungsi," kata penggagas Gandhi Creations dan FOMA Sonia Sadiq Gandhi kepada KORAN SINDO dan beberapa media asal Indonesia lainnya di kantornya, Senin (25/2).
Event yang mulai digelar kemarin ini, menurut Gandhi, adalah yang terbesar yang mereka lakukan. Acara ini akan menampilkan 15 desainer dan 30 budaya dunia berbeda yang membentuk multikulturalisme Australia. Ada Afghanistan, Cile, Rusia, Kolombia, India, Indonesia, Irlandia, Pakistan, Palestina, Kiribati, Australia, dan bahkan Brasil.
Gandhi menegaskan, yang ingin dilakukan adalah meruntuhkan stereotip dalam menilai seseorang dari pakaiannya. “Kami juga ingin memberikan kesempatan merefleksikan mode dunia dan membantu mengembangkan apresiasi publik atas budaya yang berbeda. Kami juga menjadikan beberapa atlet paralympics menjadi model dari pakaian yang dipamerkan,” tandasnya.
Desainer yang datang bisa dikatakan menjadi representasi dari negara peserta karena FOMA bekerja sama dengan pemerintah. Pelibatan pemerintah diharapkan membuat para desainer yang disertakan memang menjadi wajah dari mode di negara sendiri. Selain itu tiap negara juga akan mendapatkan space untuk memperkenalkan semua hal tentang negara peserta.
Dia kemudian mencontohkan Indonesia. Jika bicara Indonesia yang muncul adalah Bali dan Bali. Padahal Indonesia memiliki lebih dari itu. “Lalu bagaimana mengurangi kesan itu jika tidak ada media atau ruang menyampaikannya? Bicara di podium tidak ada yang mendengarkan. Dampak visual sangat penting. Kami pikir, itulah yang harus dilakukan,” tambahnya.
Indonesia mengirim dua desainer di FOMA 2019. Mereka adalah Savira Lavinia (Sav Lavin) pemilik Not Just Label dan Novita Yunus dari Batik Chic. Lavin disebut sebagai desainer muda masa depan yang berani bereksplorasi dengan tema edgy yang berakar pada budaya Indonesia. Dalam beberapa kesempatan dia juga tak ragu memperlihatkan wujud nasionalisme dalam bentuk gurdo saat menampilkan karyanya di Future Profound 2015. Neoprene, 3D space fabrics, synthetic leather pun menjadi ciri khasnya dalam mendeskripsikan masa depan. ”Awalnya tidak menyangka bisa di-invite dan dikurasi KJRI Sydney dan FOMA event. Pastinya sangat senang dan excited,” kata Lavin kepada wartawan.
Menariknya, menurut beberapa pengamat fashion yang memberikan reviu mereka melalui blog, lulusan Universitas ESMOD Jakarta tersebut bukan sekadar berinovasi, tetapi juga mempertahankan akar budaya sebagai bagian dia mendeskripsikan masa depan. Di FOMA 2019, Lavin membawa desain yang terinspirasi Jakarta.
Riset dan proses desain dilakukan mendalam dengan harapan orang Jakarta akan teringat pada ibu kota Indonesia itu. Misalnya sarung, plastik hitam, polusi, keamanan di kota, si pitung, ondel-ondel, tetapi itu semua digabungkan dengan riset tren dunia sehingga look tetap ready to wear dan modern.
“Jumlah yg akan ditampilkan ada 10 total look. Warna-warna yang diangkat adalah mandarin orange, biru laut, hijau, hitam, dan silver. Jenis bahan ada polyester dan katun. Siluetnya perpaduan antara maskulin dan sentuhan feminin. Koleksi ini berupa koleksi terbaru Sav Lavin AW19,” tambah Lavin.
Bakat Lavin sudah terlihat lama saat pada 2013 menerima penghargaan sebagai "penghargaan juri khusus" dari Yongki Komaladi selama peragaan busana kelulusannya. Dia meraih tempat pertama di Kompetisi Desain Mode Indonesia 2014. Setelah menyelesaikan studi beasiswa di Koefia, Roma, Italia, dia magang di Iris Van Herpen Atelier di Amsterdam, Belanda. Baru-baru ini, debutnya koleksi SS18 pada Oktober 2017 ditampilkan di Los Angeles Fashion Week.
Adapun Novita masuk ke industri mode dengan meninggalkan pekerjaannya di bank. Novita mengirimkan foto-foto "tas batik desainer" pertamanya di halaman Facebooknya yang mengakibatkan pesanan mengalir dari teman-teman dan kenalannya. Menanggapi permintaan tak terduga ini, ia memulai perusahaannya pada 2009.
Novita mendirikan Batik Chic karena kecintaan pada tradisi dan kebutuhan untuk melestarikan budaya seperti yang diwakili moto perusahaan Keep the Heritage Alive. Dia ingin meningkatkan kesadaran dan menumbuhkan popularitas batik dan kain tradisional Indonesia lainnya. Sejak awal dia berkomitmen untuk membuat barang-barang batik modis untuk segala usia, sementara pada saat yang sama mempromosikan kain batik vintage atau desain yang perlahan menghilang.
Maruf
Koran SINDO-Sydney
(nfl)