Nikah Mewah Sisakan Utang

Selasa, 23 Juli 2019 - 08:21 WIB
Nikah Mewah Sisakan Utang
Nikah Mewah Sisakan Utang
A A A
Sekilas pernikahan tetap menyisakan beribu kebahagiaan bagi pasangan mempelai yang berbulan madu. Tapi tak bisa ditutupi juga, sebagian di antaranya justru ada yang dilanda stres. Lho? Mereka harus berpikir bagaimana bisa mengembalikan utang untuk biaya pernikahan mereka.

Kondisi ini ibarat gunung es.Ternyata di berbagai negara lain pun semakin banyak pasangan yang terlilit utang demi mendanai perayaan pernikahan mereka. Banyak pasangan yang nekat mengandalkan utang dan kartu kredit untuk membantu membayar tagihan pernikahan.

Di sisi lain, mereka susah menghindari utang karena biaya pernikahan sangat mahal dan akibatnya utang pernikahan menjadi masalah besar. Percaya atau tidak, 14 negara ini memiliki jumlah terbesar pasangan yang terlilit utang demi membiayai pesta pernikahan mereka, salah satunya Amerika Serikat (AS).

Bagaimana dengan Indonesia? Sejauh ini belum ada data akurat mengenainya. Namun, fenomena ini tampaknya juga sudah mengemuka dengan banyaknya pernikahan yang digelar di gedung mewah. Sosiolog menilai kondisi ini terjadi karena pergeseran gaya hidup yang kian hedonis.

Adalah The Knot and WeddingWire yang baru-baru ini merilis Laporan Pernikahan Global 2019 tentang analisis semua biaya dan rata-rata biaya untuk pernikahan di 14 negara. Untuk analisis lebih baik tentang bagaimana biaya pernikahan memengaruhi orang di negara itu, laporan studi itu juga memperhitungkan rata-rata pendapatan tahunan di tiap negara yang disurvei.

Secara berurutan, survei itu merilis persentase pasangan yang terlilit utang pernikahan di 14 negara berbeda, dari persentase terkecil hingga terbesar. Di Portugal, rata-rata biaya pernikahan USD16.700 (Rp233 juta) dan rata-rata pendapatan individu tahunan USD19.930 (Rp278 juta). Jumlah pasangan yang terlilit utang pernikahan ada 7%.

"Pernikahan di Portugal mahal, pasangan harus mengeluarkan rata-rata USD16.700 untuk acara mereka. Meski demikian, tak seperti pasangan di negara-negara Peru dan Brasil, warga Portugis jarang menggunakan kartu kredit atau pinjaman untuk membayar biaya pernikahan mereka," ungkap laporan tersebut, dilansir Business Insider.

Di Prancis, rata-rata biaya pernikahan USD17.600. Pendapatan individu tahunannya USD38.160. Jumlah pasangan yang terlilit utang pernikahan 21%. "Rata-rata jumlah tamu dapat menambah biaya pernikahan. Di negara-negara Eropa seperti Prancis dan Italia, rata-rata jumlah tamu antara 100 dan 130 orang. Pasangan di Prancis melaporkan biaya paling banyak untuk makanan. Itu tidak mengejutkan bagi negara yang sangat berdedikasi untuk menu lezat," ungkap hasil survei itu.

Amerika Serikat (AS) memiliki rata-rata biaya pernikahan USD29.200 (Rp407 juta) dan rata-rata pendapatan individu tahunan USD59.160 (Rp825 juta). Pasangan yang terlilit utang pun mencapai 28%. "Pasangan di AS menghabiskan paling banyak dana untuk pernikahan mereka. Pasangan di AS juga mendapatkan dukungan keuangan lebih sedikit dari keluarga mereka dibandingkan pasangan di Eropa Barat dan Amerika Selatan. Itu artinya lebih banyak pasangan membayar biaya mereka sendiri atau berutang untuk pesta sangat mahal tersebut," papar laporan yang sama.

Pasangan di Inggris membayar biaya pernikahan sebesar USD19.200 dengan rata-rata pendapatan individu tahunan USD40.600. Sebanyak 30% pasangan di sana terlilit utang pernikahan. "Pasangan di Inggris menghabiskan lebih banyak waktu merencanakan pernikahan mereka. Seperti kita tahu, pernikahan di Inggris bisa menjadi sesuatu yang sangat besar. Meski demikian, rata-rata pasangan yang menikah di Inggris masih mengeluarkan uang lebih sedikit dibandingkan pasangan di AS. Namun, mereka lebih banyak berutang untuk membayar pernikahan mereka," ungkap laporan itu.

Di Kanada rata-rata biaya pernikahan mencapai USD21.900 dan pendapatan individu tahunannya USD42.790. Jumlah pasangan yang terlilit utang pernikahan di sini mencapai 31%. "Pasangan di Kanada melaporkan biaya pernikahan yang tinggi, mencapai USD21.900. Mungkin karena setinggi itu, satu dari tiga pasangan berutang untuk pernikahan mereka," ungkap laporan tersebut.

Kondisi sama terjadi di Argentina. Rata-rata biaya pernikahan di Argentina USD3.700 dan pendapatan individu tahunan rata-rata USD13.030. Pasangan yang terlilit utang mencapai 37%. "Pasangan di Argentina menghabiskan rata-rata USD3.700 untuk pernikahan mereka dan mengundang sekitar 125 tamu. Itu artinya rata-rata biaya USD30 per tamu undangan," papar laporan itu.

Untuk Meksiko, biaya pernikahan umumnya USD8.600 dan rata-rata pendapatan individual USD8.610. Jumlah pasangan yang terlilit utang 39%. "Tamu undangan di Meksiko adalah yang terbanyak kedua di dunia, dengan rata-rata tamu 185 undangan. Pernikahan di Meksiko biayanya hampir sama dengan pendapatan individu tahunan," ungkap laporan tersebut.

Peringkat tertinggi untuk pasangan yang berutang untuk biaya pernikahan ada di Peru dan Brasil. Biaya pernikahan di Peru mencapai USD7.700 (Rp107 juta) dan rata-rata pendapatan individu tahunan USD5.960 (Rp83 juta). Jumlah pasangan yang berutang untuk pernikahan mencapai 47%. "Biaya pernikahan di Peru terendah di Amerika Selatan, tapi rata-rata pendapatan tahunan individu juga rendah sehingga sulit bagi pasangan di negara itu menutupi biaya pernikahan mereka," papar laporan itu lagi.

Rata-rata biaya pernikahan di Brasil USD6.600 (Rp92 juta) dan rata-rata pendapatan individu tahunan USD8.610 (Rp120 juta). Jumlah pasangan yang berutang untuk pernikahan tidak kurang dari 47%. "Mayoritas pasangan di Brasil atau 57% menggelar pesta pernikahan di kota asalnya. Brasil juga menjadi negara dengan persentase tertinggi pasangan yang berutang untuk biaya pernikahan, menyamai Peru," ungkap laporan itu.

Perencana keuangan Safir Senduk menyarankan pasangan yang ingin menggelar pesta pernikahan bisa mempersiapkan dananya sejak jauh-jauh hari. Dia menuturkan, pernikahan itu intinya ada dua: akad dan pestanya. "Dan yang bikin mahal itu pestanya. Jadi memang harus direncanakan ya pestanya," ujarnya.

Menurut Safir, penggunaan gedung sebagai tempat acara biasanya dipilih oleh para orang tua yang biasanya menanggung biaya pernikahan anak. Namun, kalau si anak sendiri yang membiayai, menikah di gedung bisa terasa sangat mahal. Jadi, kalau si anak yang membiayai sendiri pernikahannya, maka bisa dipilih restoran.

"Atau sekarang mulai ada pasangan yang menikah di coffee shop yang biasanya memiliki taman outdoor. Jadi, tidak pakai acara makan besar. Dengan demikian, itu bisa menekan biaya, tapi juga tetap berkesan," ungkapnya.

Safir mengatakan, sebaiknya pasangan menikah tidak menggunakan kartu kredit atau pinjaman ke bank seperti kredit tanpa agunan (KTA) agar pesta mereka terlihat mewah. Alasannya sederhana: pernikahan adalah sesuatu yang bisa diduga. "Kita sudah tahu kita akan menikah setahun lagi misalnya dan dalam setahun itu harus disiapkan dananya. "Sama kalau misalnya anak kita lahir tahun 2000, berarti dia akan masuk SD tahun 2006. Lah, kalau pada 2006 kita masih juga tidak punya uang, ya dari tahun 2000 ke 2006 kita ngapain saja?," ujarnya.

Senada, Perencana Keuangan Eko Andarto mengatakan alangkah baiknya membayar penikahan dilakukan secara debit dan tidak menggunakan kartu kredit. Pasalnya, penggunaan kartu kredit bisa menambah utang lebih besar. "Kuncinya adalah sesuaikan budget, itu yang penting. Katakanlah paket (pernikahan) disesuaikan dengan kantong. Jadi bukan uang yang menyesuaikan acara, tapi acara yang menyesuaikan uang," jelasnya.

Psikolog klinis Kasandra Putranto mengatakan memang banyak biaya yang dikeluarkan calon pengantin ketika akan menikah. "Termasuk di Indonesia yang masih memiliki kebiasaan untuk menyelenggarakan pernikahan dengan mengundang tamu yang cukup banyak. Karena itu, biaya untuk katering cukup besar," beber Kasandra.

Di Indonesia, belum pernah ada penelitian yang dilakukan untuk mengetahui rata-rata biaya resepsi pernikahan serta berapa persentase pasangan menikah yang terjebak dalam utang untuk membiayai pernikahannya. "Bedanya dengan di luar negeri, di Indonesia yang menyelenggarakan pernikahan adalah keluarga besar, bukan pengantinnya. Budayanya memang seperti itu," katanya. Yang jelas, resepsi pernikahan yang diadakan idealnya harus sesuai dengan kemampuan calon pengantin maupun keluarga besar.

Perubahan Kultur
Menurut sosiolog dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sugeng Bayu Wahyono, fenomena banyaknya masyarakat yang menggelar resepsi pernikahan besar-besaran, walaupun untuk membiayainya harus meminjam, menunjukkan adanya perubahan kultur. Dari ritual kearifan spiritual menjadi gaya hidup asal senang (hedonisme).

”Terutama untuk mendapatkan pengakuan sosial di masyarakat dengan menggelar resepsi pernikahan mewah. Itulah yang terjadi saat ini, ada pergeseran dari kultural ke kapitalistis sehingga menjadi ceruk bagi wedding organizer (WO) yang menangkap peluang itu,” kata Bayu.

Bayu menjelaskan, secara sosial, terutama bagi masyarakat Jawa, ada tiga siklus penting dalam kehidupan kultural spiritual, yaitu kelahiran, dewasa (menikah), dan kematian. Ketiga momen itu sangat penting dan wajib diperingati dengan ritual. Bukan karena status dan agar mendapat pengakuan di masyarakat. “Namun, sekarang (pandangan itu) sudah bergeser. (Pernikahan) tidak lagi ritus-spiritual, tetapi lebih agar mendapatkan status dan pengakuan. Akibatnya, meskipun dengan biaya tidak sedikit, pasangan tetap memaksakan menggelar pesta pernikahan. Di antaranya dengan berutang,” paparnya.

Untuk itu, Bayu berharap masyarakat perlu mengembalikan substansi pernikahan, yaitu sebagai laku ritus-spiritual dan momen sakral.

Hal yang sama diungkapkan pengamat sosial dari Universitas Gadjah Mada, Hempri Suyatna. Fenomena pernikahan yang dilanjutkan dengan resepsi mewah berbiaya besar dan untuk penyelenggaraannya sampai berutang itu merupakan gaya hidup yang memengaruhi pola perilaku masyarakat. "Terutama menyangkut gengsi dan prestise agar tetap bisa eksis dan menunjukkan mampu di mata masyarakat. Ini akhirnya yang mendorong perilaku konsumtif,” urainya.

Sebagai solusi, masyarakat harus mengubah mindset, khususnya mengenai substansi pernikahan. Bahwa resepsinya juga bisa dilakukan dengan sederhana, sesuai dengan kemampuan dan tidak memaksakan. “Itu yang harus dibangun, yang penting kan sakramen atau akad nikahnya,” ungkap dosen Fisipol UGM itu. (Syarifuddin/Priyo Setyawan/Rina Anggraini/Sri Noviarni Kunthi Fahmar Sandy)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5816 seconds (0.1#10.140)