Kampanyekan Kepemimpinan Global, Loung Disukai Warga ASU
A
A
A
Loung Ung kembali ke almamaternya di Essex High School untuk berbicara di hadapan siswa sebagai bagian dari Program Kepemimpinan Global Essex High School (Essex High School’s Global Leadership Program) tahun lalu. Hampir 80 siswa telah membaca buku pertamanya, ‘First They Killed My Father’, mereka juga menonton film yang diadaptasi dari buku ini pada 2017 dengan judul yang sama dan meneliti periode kelam dalam sejarah Kamboja.
“Saya tidak bisa membicarakannya. ‘Keracunan’ yang terjadi pada saya begitu kuat sehingga setiap kali saya mencoba untuk berbicara, saya akan sangat emosional sehingga saya hanya akan menangis, dan saya pikir air mata tidak akan pernah berhenti mengalir. Itulah bagaimana dan mengapa saya mulai menulis. Saya tidak bisa mengucapkan kata-kata,” terangnya, dikutip Vermont Edition.
Di forum ini Loung mendiskusikan bagaimana dia menyalurkan rasa bersalahnya karena berhasil selamat dari amukan mematikan Khmer Merah ke dalam tulisan dan aktivisme, dan berbicara tentang apa yang dia harap dia ketahui ketika masih seorang pelajar di Essex High School.
“Kami memiliki kekuatan, dan salah satu kekuatan terpenting yang kami miliki adalah kekuatan untuk memilih. Kadang-kadang kami melihat apa yang terjadi di seluruh dunia dan kami merasa tidak berdaya. Saya sangat berbesar hati dengan apa yang terjadi dengan siswa sekolah, dan gerakan siswa sekolah menengah di seluruh negeri. Saya berharap saya tahu saya memiliki kekuatan itu ketika saya seusia mereka,” ungkapnya.
Dia juga berharap setiap siswa tetap percaya diri menuju kesuksesan. Jangan pedulikan orang yang tidak suka dengan kesuksesan yang kita raih. Selain di sekolah, Loung juga berkesempatan berbicara di hadapan banyak mahasiwa di College of Arts and Sciences, Amerika Serikat (AS) tahun lalu. Dia menceritakan kisahnya tentang selamat dari genosida Kamboja. Dia membuat banyak mahasiwa menangis.
Termasuk membicarakan film yang diangkat dari bukunya. “Mampu melakukan kisah semacam ini dalam bahasa ibu kita sendiri jauh lebih menyenangkan. Rasanya seperti itu terhubung dengan kemanusiaan kita dan jiwa kita dan cerita kita, dan itu bukan hanya sesuatu yang kita taruh di sana untuk para penonton, tetapi untuk diri kita sendiri. Kamboja adalah budaya menyanyi dan musik. Selama perang, Kamboja adalah negara yang sunyi,” terangnya.
Apa yang dilakukan Loung ini dianggap sangat penting di mata mahasiswa. “Sangat penting bagi kami untuk mendengar pesannya karena sebagai minoritas, itu masih bisa terlihat seperti kita tidak memiliki suara. Loung Ung memperjelas bahwa cerita, ide, dan perasaan kita semuanya valid dan pantas untuk diketahui," ungkap Valerie Nam, mahasiswa di Sargent College of Health and Rehabilitation Sciences dan Sekretaris Arizona State University (ASU), melalui email ke The Daily Free Press.
Inilah sebabnya mengapa ASU sangat berterima kasih kepada Loung Ung dan bangga atas keberhasilan filmnya. "Kami berharap orang-orang Asia atau Asia-Amerika lainnya terinspirasi untuk melakukan hal yang sama dengan pengalaman mereka sendiri karena kami akhirnya akan menyoroti sejarah kami juga; sesuatu yang kita tidak pernah bisa lupakan dan berharap seluruh dunia juga tidak akan melupaka”.
“Saya tidak bisa membicarakannya. ‘Keracunan’ yang terjadi pada saya begitu kuat sehingga setiap kali saya mencoba untuk berbicara, saya akan sangat emosional sehingga saya hanya akan menangis, dan saya pikir air mata tidak akan pernah berhenti mengalir. Itulah bagaimana dan mengapa saya mulai menulis. Saya tidak bisa mengucapkan kata-kata,” terangnya, dikutip Vermont Edition.
Di forum ini Loung mendiskusikan bagaimana dia menyalurkan rasa bersalahnya karena berhasil selamat dari amukan mematikan Khmer Merah ke dalam tulisan dan aktivisme, dan berbicara tentang apa yang dia harap dia ketahui ketika masih seorang pelajar di Essex High School.
“Kami memiliki kekuatan, dan salah satu kekuatan terpenting yang kami miliki adalah kekuatan untuk memilih. Kadang-kadang kami melihat apa yang terjadi di seluruh dunia dan kami merasa tidak berdaya. Saya sangat berbesar hati dengan apa yang terjadi dengan siswa sekolah, dan gerakan siswa sekolah menengah di seluruh negeri. Saya berharap saya tahu saya memiliki kekuatan itu ketika saya seusia mereka,” ungkapnya.
Dia juga berharap setiap siswa tetap percaya diri menuju kesuksesan. Jangan pedulikan orang yang tidak suka dengan kesuksesan yang kita raih. Selain di sekolah, Loung juga berkesempatan berbicara di hadapan banyak mahasiwa di College of Arts and Sciences, Amerika Serikat (AS) tahun lalu. Dia menceritakan kisahnya tentang selamat dari genosida Kamboja. Dia membuat banyak mahasiwa menangis.
Termasuk membicarakan film yang diangkat dari bukunya. “Mampu melakukan kisah semacam ini dalam bahasa ibu kita sendiri jauh lebih menyenangkan. Rasanya seperti itu terhubung dengan kemanusiaan kita dan jiwa kita dan cerita kita, dan itu bukan hanya sesuatu yang kita taruh di sana untuk para penonton, tetapi untuk diri kita sendiri. Kamboja adalah budaya menyanyi dan musik. Selama perang, Kamboja adalah negara yang sunyi,” terangnya.
Apa yang dilakukan Loung ini dianggap sangat penting di mata mahasiswa. “Sangat penting bagi kami untuk mendengar pesannya karena sebagai minoritas, itu masih bisa terlihat seperti kita tidak memiliki suara. Loung Ung memperjelas bahwa cerita, ide, dan perasaan kita semuanya valid dan pantas untuk diketahui," ungkap Valerie Nam, mahasiswa di Sargent College of Health and Rehabilitation Sciences dan Sekretaris Arizona State University (ASU), melalui email ke The Daily Free Press.
Inilah sebabnya mengapa ASU sangat berterima kasih kepada Loung Ung dan bangga atas keberhasilan filmnya. "Kami berharap orang-orang Asia atau Asia-Amerika lainnya terinspirasi untuk melakukan hal yang sama dengan pengalaman mereka sendiri karena kami akhirnya akan menyoroti sejarah kami juga; sesuatu yang kita tidak pernah bisa lupakan dan berharap seluruh dunia juga tidak akan melupaka”.
(don)