Naik Turun Lereng Merapi, Bidan Ajeng Tak Kenal Lelah Sosialikasikan Kontrasepsi

Kamis, 05 Desember 2019 - 03:35 WIB
Naik Turun Lereng Merapi,...
Naik Turun Lereng Merapi, Bidan Ajeng Tak Kenal Lelah Sosialikasikan Kontrasepsi
A A A
JAKARTA - Bidan Ajeng harus menempuh jarak ribuan kilometer dan berjalan kaki jauh untuk memberikan penyuluhan kesehatan. Meski melelahkan dan tidak mudah, namun hal ini tidak menghalangi niat Ajeng memperjuangkan kesehatan ibu dan anak melalui edukasi Keluarga Berencana (KB) bagi masyarakat di lereng Merapi, Yogyakarta.

Pemilik nama asli Ajeng Sulistyaningrum itu sadar betul pentingnya kontrasepsi, baik untuk keluarga dan kesehatan wanita sendiri. Menurutnya, penggunaan kontrasepsi jangka panjang seperti implan dan ayudi dapat membantu menciptakan program berencana yang sehat, menjaga jarak kehamilan hingga reproduksi wanita. Apalagi saat ini penyakit HIV AIDS tidak hanya di perkotaan tapi juga ditemukan di desa.

Oleh karena itu, Ajeng tak kenal lelah melayani masyarakat desa di sekitar Merapi yang terisolir, karena ingin melihat anak-anak lereng Merapi tumbuh sehat dan mengurangi angka kematian ibu dan anak di wilayahnya. Ajeng rela berjalan kaki di sepanjang Pedukuhan Girpasang, Tegal Mulyo, Klaten untuk melayani pasiennya. Padahal, jarak yang ditempuh merupakan daerah bebatuan dan anak tangga yang panjang.

Ditemui SINDOnews beberapa waktu lalu di Hotel Gaia, Yogyakarta, wanita 47 tahun itu terlihat semangat saat menceritakan perjalannya dari awal memberikan penyuluhan kesehatan bagi warga lereng Merapi. Ajeng mengatakan, dirinya sudah menjadi bidan sejak 1991. Itu berawal saat dirinya ditawari untuk bekerja di sebuah yayasan meski belum wisuda. Saat itu, kata Ajeng, kondisi lereng Merapi belum seperti sekarang. Tidak memiliki listrik, minim kendaraan bermotor dan tidak ada air.

"1991 ditawari untuk Yayasan Sugiyopranoto milik Katolik, karena profesional, kita enggak bedakan agama apa. 1991 masuk Klaten dan belum diwisuda tapi sudah lulus. Kemudian di Klaten itu ada suatu klinik, Sriasih kemudian ada cabang di Kemalang, Desa Tegal Mulyo. Mulai dari situ saya melayani masyarakat. Dulu 91 belum ada listrik, motor juga beberapa. Ternyata melayani masyarakat menjadi tantangan tersendiri bagi saya," tutur Ajeng.

"Saya dari Kendal, Gunung Ungaran, ada airnya. Di Merapi enggak ada airnya. Bagaimana rasanya hidup tanpa air, berdebu. Di situ saya mencintai profesi saya. Saya harus bisa memberikan terbaik. 91, orang berobat enggak mampu. Sekarang mampu bayar jutaan. Dulu dibayar murah enggak apa-apa. Di yayasan, saya harus nyetor ke klinik berupa uang. Enggak mungkin berupa hasil tani, dan mau enggak mau pakai uang kita dulu," lanjutnya.

Memberikan edukasi bagi masyarakat di lereng Merapi diakui Ajeng tidaklah mudah. Berbagai tantangan dan respons pun ditemuinya, seperti mendapatkan penolakan dari kelompok tertentu hingga menemukan fakta bahwa angka pernikahan usia dini di lereng Merapi terbilang tinggi. Namun, apa yang ditemui Ajeng di lapangan justru membuatnya semakin terpacu untuk membantu kehidupan dan kesehatan masyarakat di desa tersebut agar lebih baik lagi.

"Di lereng Merapi belum kenal KB. Tahun 2000, mereka baru menyadari manfaat untuk reproduksi wanita, jaga jarak kehamilan, kalau banyak anak bukan banyak rezeki. Di lereng Merapi itu sekolah aja jauh. Untuk sekarang kesadaran KB bagus. Sudah tahu. Di Kecamatan Kemalang banyak banget yang jaga reporoduksi apalagi mencegah pernikahan anak-anak di bawah 20 tahun. Sekarang masih ada, makannya kita harus pendekatan ke masyarakat. Nikah boleh tapi hamil jangan dulu," paparnya.

"Maaf, ada 1 golongan enggak bisa nerima tentang KB. Saya berusaha mendekat ke mereka tanya, 'Kalau enggak KB, pakai apa biar enggak hamil?' Dia jawab alami, membuang sperma di luar. Itu menurut saya ada beberapa kesalahan. Pertama enggak dapet ridho, dosa dan puncak dari hubungan suami-istri orgasme, tapi kalau diputus itu nanggung dan enggak enak. Keluarnya enggak puas, enggak plong. Itu sama kayak onani dan enggak bisa keluar sampai tuntas. Kebanyakan menolak itu perempuan. Alasannya agama. Dia masih punya persepsi (KB) itu dosa. Karena membunuh, menahan apa yang dikasih Tuhan," terang Ajeng.

Kerja keras Ajeng untuk menyadarkan dan mengedukasi masyarakat akan pentingnya penggunaan kontrasepi akhirnya membuahkan hasil. Hal tersebut terlihat pada 2000, banyak warga di desa tersebut yang sudah menggunakan alat kontrasepsi serta menurunnya angka keliharan anak. Total, diungkapkan Ajeng, dibutuhkan waktu kurang lebih selama 15 tahun untuk mengedukasi masyarakat di lereng Merapi. Tentunya itu bukanlah waktu yang sebentar.

"Di atas 2000 baru berhasil (anak sedikit dan pakai kontrasepsi). Di bawah 2000 pendidikannya belum ke situ. Saya dapat kepercayaan dari BKKBN juga dari Andalan jadi bidan sahabat andalan. Dari BKKBN klinik desa tapi enggak semua bidan bisa masuk ke sana. Dikasih edukasi fungsi KB, buat sel telur dan sperma jadi enggak matang. Kalau matang bertemu itu jadi anak. Lebih dari 15 tahun untuk menyadarkan," ungkapnya.

"Di bawah tahun 2000, (kontrasepsi) suntik KB sama metode vasektomi. Dulu di lereng Merapi itu banyak bapak-bapak lakukan operasi katanya kasihan sama perempuan yang melahirkan. Dulu pakai ayudi tabu, karena harus buka-buka dulu. Kalau sekarang sudah ada ayudi sama implan, enggak lakuin vasektomi lagi," paparnya.

Lebih lanjut, untuk mempermudahnya membantu masyarakat, Ajeng tiap tahunnya mendapat jatah sebanyak 200 aseptor dari BKKBN. Ajeng pun tak lupa berpesan kepada para wanita untuk tidak perlu takut menggunakan alat kontrasepsi, lantara alat ini memberikan banyak manfaat baik untuk keluarga dan terutama kesehatan reproduksi wanita.

"Kalau menurut saya jangan takut pakai alat KB. Enggak membunuh, cuma program perencanaan sehat. Jaga jarak kelahiran, dan reproduksi wanita. Dan sekarang penyakit HIV enggak cuma di perkotaan tapi juga desa, yang penting masyarakat harus tau kesehatan diri sendiri," tutupnya.
(nug)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9115 seconds (0.1#10.140)