Mengangkat Tenun Asal Daerah Tertinggal
A
A
A
JAKARTA - Gelaran fashion yang mengangkat karya tenun dari sejumlah daerah tertinggal di Nusantara, yaitu Eco Fashion Week Indonesia (EFWI), kembali digelar untuk yang kedua kali. Event yang diprakarsai Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) bekerja sama dengan Sarinah ini berlangsung 5-7 Desember 2019, yang mengambil tempat di kawasan Sarinah Department Store.
EFWI pertama yang berlangsung tahun lalu, menurut Direktur Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal Kemendes PDTT Samsul Widodo, bisa dikatakan ajang "uji coba" yang dilakukan oleh pihaknya untuk menampilkan tenun asal daerah tertinggal agar lebih terangkat dan dikenal oleh masyarakat luas. Kala itu acara berlangsung di Gedung Stovia, Jakarta, dan hanya menampilkan tenun dari Kabupaten Alor dan Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tahun ini, perhelatan EFWI digelar di Gedung Sarinah, dengan menampilkan tenun, selain dari dua daerah tersebut, juga dari Nias Selatan, Donggala, Lombok Tengah, dan Timor Tengah Selatan.
"Kenapa Donggala dan Lombok masuk? Karena kita tahu dua daerah tersebut tahun lalu sempat dilanda gempa besar. Perekonomian di sana tentu harus dipulihkan kembali," kata Samsul sebelum pembukaan EFWI, Kamis (5/12).
EFWI 2019 menampilkan busana-busana karya desainer Merdi Sihombing yang sebelum menggagas perhelatan ini sempat tinggal di NTT selama satu minggu penuh demi mengetahui lebih dekat kegiatan serta kehidupan para penenun di sana. Kehidupan dan pengalaman Merdi selama tinggal di kawasan yang tak ada sinyal HP dan sulit air itu juga telah dituangkan ke dalam buku yang kemarin baru diluncurkan bertajuk Pewarnaan Alam, Jendela Menuju Mode Berkelanjutan.
Sementara itu, Menteri Desa PDTT Abdul Halim Iskandar mengungkapkan, kegiatan EFWI yang mengangkat produk tenun dari daerah tertinggal sangat baik untuk dilaksanakan karena merupakan perwujudan dari pembangunan yang bertumpu pada peradaban. "Kami akan dukung terus semua kegiatan yang bisa mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia. Semua hal yang berkaitan dengan seni Indonesia, mari bersama-sama kita angkat agar dapat diketahui oleh pihak yang lebih luas. Diharapkan, ke depannya kegiatan ini juga tidak hanya dilaksanakan di Jakarta, tetapi juga di kota-kota lain," kata Halim.
EFWI sendiri merupakan ajang pameran produk-produk tenun yang dihasilkan oleh warga yang tinggal di daerah tertinggal. Gelaran ini mengedepankan konsep keberlanjutan melalui teknik pewarnaan alami yang diterapkan pada kain-kain tenun yang diproduksi. Warna-warna itu benar-benar berasal dari alam seperti kulit kayu dan dedaunan demi menghilangkan potensi pencermaran lingkungan.
Saat pembukaan EFWI, Merdi Sihombing sempat menampilkan sejumlah busana rancangannya, yang semua menggunakan kain tenun yang dihasilkan oleh para penenun daerah.
EFWI pertama yang berlangsung tahun lalu, menurut Direktur Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal Kemendes PDTT Samsul Widodo, bisa dikatakan ajang "uji coba" yang dilakukan oleh pihaknya untuk menampilkan tenun asal daerah tertinggal agar lebih terangkat dan dikenal oleh masyarakat luas. Kala itu acara berlangsung di Gedung Stovia, Jakarta, dan hanya menampilkan tenun dari Kabupaten Alor dan Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tahun ini, perhelatan EFWI digelar di Gedung Sarinah, dengan menampilkan tenun, selain dari dua daerah tersebut, juga dari Nias Selatan, Donggala, Lombok Tengah, dan Timor Tengah Selatan.
"Kenapa Donggala dan Lombok masuk? Karena kita tahu dua daerah tersebut tahun lalu sempat dilanda gempa besar. Perekonomian di sana tentu harus dipulihkan kembali," kata Samsul sebelum pembukaan EFWI, Kamis (5/12).
EFWI 2019 menampilkan busana-busana karya desainer Merdi Sihombing yang sebelum menggagas perhelatan ini sempat tinggal di NTT selama satu minggu penuh demi mengetahui lebih dekat kegiatan serta kehidupan para penenun di sana. Kehidupan dan pengalaman Merdi selama tinggal di kawasan yang tak ada sinyal HP dan sulit air itu juga telah dituangkan ke dalam buku yang kemarin baru diluncurkan bertajuk Pewarnaan Alam, Jendela Menuju Mode Berkelanjutan.
Sementara itu, Menteri Desa PDTT Abdul Halim Iskandar mengungkapkan, kegiatan EFWI yang mengangkat produk tenun dari daerah tertinggal sangat baik untuk dilaksanakan karena merupakan perwujudan dari pembangunan yang bertumpu pada peradaban. "Kami akan dukung terus semua kegiatan yang bisa mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia. Semua hal yang berkaitan dengan seni Indonesia, mari bersama-sama kita angkat agar dapat diketahui oleh pihak yang lebih luas. Diharapkan, ke depannya kegiatan ini juga tidak hanya dilaksanakan di Jakarta, tetapi juga di kota-kota lain," kata Halim.
EFWI sendiri merupakan ajang pameran produk-produk tenun yang dihasilkan oleh warga yang tinggal di daerah tertinggal. Gelaran ini mengedepankan konsep keberlanjutan melalui teknik pewarnaan alami yang diterapkan pada kain-kain tenun yang diproduksi. Warna-warna itu benar-benar berasal dari alam seperti kulit kayu dan dedaunan demi menghilangkan potensi pencermaran lingkungan.
Saat pembukaan EFWI, Merdi Sihombing sempat menampilkan sejumlah busana rancangannya, yang semua menggunakan kain tenun yang dihasilkan oleh para penenun daerah.
(tsa)