Bir Pletok Potret Emansipasi Warga Betawi

Kamis, 09 Januari 2020 - 08:59 WIB
Bir Pletok Potret Emansipasi Warga Betawi
Bir Pletok Potret Emansipasi Warga Betawi
A A A
Siapa yang tidak tahu minuman bir pletok? Minuman khas Betawi ini menjadi minuman yang banyak dicari, bahkan mulai disukai kaum milenial. Dari namanya saja agak unik, yakni paduan dari bir yang merupakan minuman beralkohol dan pletok, semacam suara atau bunyi-bunyian.

Namun bir pletok ini bukanlah minuman beralkohol atau bisa memabukkan. Minuman yang biasanya berwarna sangat cerah ini bahkan kaya akan rempah. Masyarakat Betawi dahulu kerap mengonsumsi minuman ini pada malam hari lantaran bisa menghangatkan tubuh.

Tidak diketahui pasti kapan bir pletok ini mulai dikenal penduduk Betawi. Namun banyak kalangan meyakini bir pletok adalah potret perlawanan atau pembebasan atas hegemoni kuliner penjajah dari negara-negara Eropa.

Dari data sejumlah literasi, pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia, banyak masyarakat Betawi yang tergoda untuk mencoba meminum bir seperti yang umumnya dilakukan bangsa Barat. Namun bir ala orang Barat ini berefek kurang baik karena membuat orang menjadi mabuk dan jelas melanggar ajaran agama.

Karena orang-orang Betawi dikenal sebagai muslim yang taat, beberapa orang Betawi mencoba meracik bir yang dapat menghangatkan badan, tetapi tidak menyebabkan efek samping mabuk. Akhirnya terciptalah bir pletok yang rasanya nikmat, berkhasiat menghangatkan badan, dan memiliki khasiat-khasiat lain yang bisa menyehatkan tubuh. Pletok adalah bunyi khas tutup bir ini saat dibuka.

Itu setidaknya diyakini Ernawati, salah satu warga keturunan Betawi yang sekarang tinggal di Depok, Jawa Barat. Sehari-hari Ernawati menjual bir ini. Dia mendapatkan pengetahuan mengenai bir pletok dari kerabatnya terdahulu. Dari cerita yang dia tahu, bir pletok ini memang dikonsumsi warga pribumi kala itu untuk menghangatkan badan.

“Dulu Belanda suka minum wiski dan minuman beralkohol. Nah pribumi kala itu juga tertarik dengan minuman itu. Jadi dibuatkan bir racikan ini yang sekarang dinamakan bir pletok,” katanya. Kandungan dari bir pletok ini 100% alami lantaran hanya rempah-rempah yang ada di dalamnya. “Jadi karena ini dari rempah-rempah, bisa dijamin tidak memabukkan dan bebas dari alkohol,” ucapnya.

Erna menuturkan, rempah-rempah yang dipakai untuk membuat minuman ini banyak terdapat di pasar sehingga siapa pun bisa dengan mudah membuatnya. Menurut Erna, bir pletok adalah minuman penyegar yang dibuat dari campuran beberapa rempah, yaitu jahe, daun pandan wangi, dan serai.

Minuman tradisional ini dikenal di kalangan etnik Betawi. Agar warnanya lebih menarik, orang Betawi biasanya menggunakan tambahan kayu secang yang akan memberikan warna merah bila diseduh dengan air panas. “Namanya saja bir, tapi ini sama sekali tidak mengandung alkohol. Minuman ini berkhasiat untuk memperlancar peredaran darah,” ceritanya.

Sebelum bir pletok happening, minuman ini hanya dikonsumsi kalangan tertentu saja semisal warga Betawi dalam kesempatan tertentu. Namun sejak beberapa tahun belakangan, minuman ini banyak dicari kaum milenial. “Memang masih banyak yang bingung karena namanya kan bir. Setelah diceritakan baru mereka mau mencoba. Sekarang sih banyak dibuat dalam skala rumah tangga saja, belum industri besar,” ungkapnya.

Bir pletok makin dikenal sejak akhir 1990-an. Berbagai kreasi pun dilakukan agar minuman ini menjadi hits di kalangan milenial. “Saya sampai buat tageline yang memang kekinian, yaitu Tradisional Milenial,” katanya.

Secara warna, bir pletok ini hampir sama dengan bir pada umumnya. Yang membedakan, bir pletok ini tidak ada rasa pahit. Rasa dari bir pletok ini adalah manis dan tentu berbeda dengan rasa bir asli yang mengandung alkohol. “Manis karena memang saat proses pembuatan diberi gula merah dan putih,” jelasnya.

Yang menarik lagi, bir sama sekali bebas bahan pengawet sehingga minuman ini memang tidak bisa disimpan terlalu lama setelah proses produksi. “Kuat satu minggu kalau di kulkas. Kalau di suhu luar ruang hanya kuat 2-3 hari karena memang tidak ada bahan pengawet,” paparnya.

Erna sudah lama menggeluti usaha bir pletok. Dia meneruskan warisan keluarga. Bir pletok bisa dikonsumsi kapan saja baik suasana panas atau dingin. Namun rata-rata orang meminum bir pletok memang untuk mencari efek hangat dari jahe yang ada dalam minuman tersebut. “Cuma kalau mau pakai es juga enak kok. Ini minuman yang bisa dikonsumsi kapan saja,” katanya.

Sejarawan JJ Rizal menuturkan, banyak produk budaya di Indonesia yang anonim atau tidak jelas bagaimana asal usul sebetulnya. Uniknya kuliner tersebut seolah melegenda dan menjadi cerita hingga kini. Selain bir pletok, ada kuliner lain Betawi yang memiliki cerita khas, yakni soto tangkar.

Soto ini dibuat dengan memanfaatkan daging jeroan yang biasanya dibuang orang-orang Barat. Kalaupun ada daging, biasanya hanya sedikit yang menempel di iga. Soal bir pletok, Rizal mengakui tidak diketahui bagaimana asal usul sesungguhnya. Bir pletok menjadi minuman pribumi karena ingin menyerupai bangsa Eropa. "Ya sama seperti mereka minum wine atau bir lah," katanya.

Nama “pletok” diambil dari bunyi suara botol bir ketika dibuka. Bir pletok baru ramai menjadi konsumsi umum ketika budaya Betawi kerap ditampilkan dalam event perayaan. "Secara spesifik kurang tahu siapa dan tahun berapa bir pletok dikonsumsi. Namun ini menjadi ramai setelah kebudayaan Betawi ramai dirayakan sekitar tahun 1990-an," paparnya.

Namun mengenai sejarah soto tangkar, menurut Rizal, ada beberapa informasi berkembang yang kurang tepat. Misalnya informasi yang menyebut bahwa soto ini terbuat dari daging sisa. "Padahal justru dari daging bagus yang dipakai untuk membuat soto ini," tegasnya.
Dia mengakui berbagai jenis makanan itu memang sebagai simbol perlawanan pribumi di masa lampau.

Ketika itu pribumi ingin sama-sama mengonsumsi kudapan seperti yang dilakukan bangsa-bangsa di Tanah Air. Soto tangkar saat ini berisi potongan daging kecil yang tercacak rapi. Daging itu dicampur dengan potongan tomat, kentang, dan daun bawang. Ini seperti ditemukan di Warung Hasanah di Jalan Anggrek Cakra, Sukabumi Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Apa yang disajikan Hasanah tak jauh berbeda dengan soto tangkar lainnya. Kuah santan dan daging sapi dengan sisa tulang menjadi bahan utama pembuatan soto tangkar. Hasanah mengakui saat ini peminat soto tangkar di warungnya tidak seramai dulu. Dahulu dia bisa menghabiskan daging sapi hingga 30 kg. Namun sejak sekitar lima tahun lalu, suplai daging sapi 2 kg saja.

Hasanah sadar, pelanggan soto tangkar tak sebanyak dulu. Karenanya dia mulai berdagang pecel ayam dan lele demi menambah penghasilannya. Bila dibandingkan dengan soto tangkar, jualan pecel ayam jauh lebih menguntungkan. Rizki, 20, salah satu pengunjung warung soto tangkar Hasanah, mengakui bahwa soto Hasanah lebih menarik.

Dibandingkan makan warteg maupun ayam potong, dia lebih memilih makanan berkuah, salah satunya soto tangkar. “Rasanya okelah, di sini banyak soto, tapi soto tangkar di sini jauh lebih enak dan gurih,” ucap Rizki. (YAN YUSUF/RATNA PURNAMA)
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8152 seconds (0.1#10.140)