Perjalanan Ksatria Mode

Minggu, 09 November 2014 - 11:47 WIB
Perjalanan Ksatria Mode
Perjalanan Ksatria Mode
A A A
Perhelatan mode Jakarta Fashion Week (JFW ) 2015 resmi ditutup pada Jumat (7/11) lalu dengan mempersembahkan karya lima desainer dan label di panggung bertajuk Dewi Fashion Knights, “Journey To The World”.

Tahun ini nama yang muncul dalam Dewi Fashion Knights adalah Auguste Soesatro, NurZahra, Priyo Oktaviano, Sapto Djojokartiko, dan Vinora Ng. Mereka terpilih berdasarkan berbagai penilaian, di antaranya karakter, kualitas crafmantship , inovasi, konsistensi, potensi, dan daya tariknya.

Keriuhan malam penutupan dimulai dengan sebuah filosofi kepemimpinan alam semesta dari Iwan Tirta Private Collection yang mengusung tema “Hasta Brata”. Mahakarya batik kali ini terinspirasi dari filsafat kepemimpinan Jawa Kuno, Hasta Brata dengan mengabadikan motif pisan bali manggar latar truntum. Sebanyak 12 rancangan hadir dengan motif-motif batik klasik inggil khas sang maestro.

Hasta Brata kerap dimaknai sebagai delapan sudut berlian dan merupakan salah satu ajaran filsafat kepemimpinan utama yang mengandung delapan elemen alam. Busananya terdiri atas gaun batik panjang oversize berpotongan kimono yang menyapu lantai, gaun dengan lengan berbentuk jubah cape , dan beberapa kemeja motif batik yang dipakai para model pria.

Kemudian babak selanjutnya, penonton dibuat terhanyut dalam eksotisme belantara Afrika yang menyimpan kekayaan inspirasi, sebuah perjalanan imaji dari Priyo Oktaviano. Menuntaskan perjalanan imaji, Priyo kembali dalam realita, di sana teringat akan satu jenis busana yang tak pernah lekang oleh dinamisnya perputaran mode dunia, yaitu jins.

“Saya terpesonanya pada eksotisme Afrika dan dikoleksi ini saya sekaligus ingin mentransformasikan jins dalam citra high fashion sehingga menjadi paduan unik,” tutur Priyo sebelum pergelaran. Jins yang biasanya lekat dengan kesan busana kasual dan street wear anak muda dikonstruksi ulang dalam garis rancang sporty, feminin, modern, edge, dan membentuk siluet tubuh secara sempurna.

Penuh dengan kecermatan, Priyo memilih material jins, tule, sutra, sifon, hingga linen. Bubuhan detail crafmantship yang dikerjakan dengan ketelitian tinggi seperti tali temali, teknik gurat potong sembarang yang artistik, lipit, drapery, dan stud batu kristal berukuran besar disandingkan bersama aksen motif lurik Jawa sebagai aplikasi patchwork .

Selanjutnya Vinora mempresentasikan couture demi dengan dominasi busana berpalet broken white. Dia mengambil inspirasi artik dan antartik, dua kutub yang berlawanan yang tampaknya identik dari luar. Didasarkan pada gagasan perubahan terhadap alam yang menciptakan sintetis dan perasaan, serta selalu berubah dari sekitarnya, Vinora menciptakan koleksi couture demi yang menggabungkan sesuatu yang berlawanan satu sama lain melalui metode konstruksi tradisional.

Adapun label busana muslim Nur- Zahra membawa kekaguman baru pada ragam corak yang menjadi kekayaan busana masyarakat Indian Navajo. Siluet yang loose sebagaimana baju muslim itu seharusnya digarap apik. Namun, muncul pula beberapa siluet celana panjang, potongan jubah panjang, jaket dan jubah cape panjang membawa daftar baru sentuhan batik dari Nur-Zahra.

Aksesori yang jadi paduannya, hijab yang direkatkan dengan cara lebih modis tanpa mengurangi unsur syar’i membawa busana muslim menjadi satu tampilan menawan terlebih membawa unsur budaya lewat motif batik. Semua juga semakin tampil modis harmonis ketika para model memerankan sebagai wanita Indian Navajo dengan sepatu boots setinggi lutut.

Auguste Soesatro, muncul sebagai desainer ketiga di Dewi Fashion Knights, dengan mengusung tema “Nyonya at the Kremlin”. Seperti sebelumnya, pada pergelaran Auguste kali ini filosofi cerita di balik inspirasi begitu kuat mengalir di koleksinya. Dilatarbelakangi catatan paling awal kedatangan para leluhur di Indonesia pada abad ke-16.

Periode dari ras peranakan, yakni selama pendudukan Belanda di Indonesia, nenek moyang keturunan China menghadiri sekolah-sekolah Belanda dan menjadi akrab dengan 3 kostum yang berbeda, yakni Jawa, China, dan Belanda. “Ketika kesenian batik pesisir dieksplorasi pada pertengahan tahun 1800 yang dipelopori oleh kebanyakan perempuan Indo-Belanda, para wanita peranakan pun mengikuti,” sebut Auguste.

Salah satu hasil dari pertukaran lintas budaya ini adalah batik kualitas terbaik dan desain. Auguste mendedikasikanhasil rancangannya yang kali ini punya sedikit keragaman warna untuk tiga wanita. Nyonya Tan Pang Soen, Nyonya Gan Kay Bian, dan Nyonya Tan Sin Ing sebagai tiga desainer master batik, yang mendedikasikan sentuhan tangan yang sempurna.

Dyah ayu pamela
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0934 seconds (0.1#10.140)