Keluarga Terurus meski Ibu Bekerja
A
A
A
Ibu masa kini memilih bekerja seperti sudah bukan lagi sebuah pilihan. Biaya hidup yang semakin tinggi membuat seorang istri berkeinginan kuat untuk turut andil dalam mencari nafkah.
Tidak ada yang salah dalam situasi seperti ini. Impian memberikan yang terbaik untuk buah hati menjadi prioritas. Makanan yang bergizi, susu yang mahal, mainan yang aman dan edukatif, hingga sekolah terbaik dengan biaya selangit. Menurut psikolog Roslina Verauli, ada dua alasan seorang ibu ingin bekerja.
Pertama, aktualisasi diri ingin mempunyai karier sendiri karena wanita masa kini cenderung memiliki pendidikan yang tinggi. Kedua, tentu saja kebutuhan untuk mencukupi keperluan rumah tangga. Jika salah satu atau mungkin kedua faktor tersebut menjadi alasan kuat, banyak ibu bekerja yang sudah mempersiapkan segalanya sebaik mungkin sehingga urusan keluarga di rumah tidak terbengkalai dan pekerjaan di kantor pun bisa diselesaikan dengan baik.
Seperti dialami Oki Nurhasanah, 30, ibu dua anak yang memutuskan kembali bekerja setelah hamil anak kedua dan kini si bungsu sudah berusia 15 bulan. Setelah melalui proses pemikiran yang matang dan diskusi dengan suami, sekarang dia mantap untuk bekerja lagi.
“Persiapan fisik dan mental harus dilakukan. Persiapan fisik misalnya, bangun pagi untuk berangkat ke kantor dan pulang sore, bahkan malam hari. Sementara persiapan mentalnya, harus meninggalkan anak dan mental untuk bekerja, bertemu dengan orang baru karena dua tahun jadi ibu rumah tangga saja. Siapkan diri sendiri untuk tahu risiko yang akan dihadapi dan yakin bisa menjalani seperti dulu,” cerita wanita yang bekerja di salah satu BUMD itu.
Oki tahu benar risiko yang harus dihadapi saat meninggalkan anak pertamanya, Najmi Sahda Putri, yang sudah masuk TK dan sedang senangsenangnya belajar. Dalam pikirannya dulu, bagaimana mengajarkan Ami -panggilan sang anak- untuk mengulang pelajaran yang sudah diajarkan di sekolah. Berkat arahan suami dan ibundanya, Oki mendapat solusi dan kini bisa dengan yakin memutuskan untuk kembali bekerja.
“Beruntung rumah saya dekat dengan ibu dan beliau yang mengasuh kedua anak saya. Ibu juga menyarankan untuk mengambil pembantu tambahan yang bisa membantunya mengurus dua anak, sekaligus menjadi teman Ami belajar,” ujar Oki. Pengasuh khusus kedua anaknya itu memang dipilih yang sekaligus bisa mengajarkan pelajaran dasar seperti membaca, menghitung, menggambar, hingga mengaji.
Peran orang-orang di sekeliling memang sangat dibutuhkan untuk menjadi pengganti orang tua. “Beruntungnya kita hidup di Indonesia yang punya sistem support . Jadi, sesama orang terdekat sangat mendukung dan membantu satu sama lain. Pola kita itu pola in-group kekerabatan yang kuat.
Coba di Eropa atau Amerika yang sangat individualis, jarang ada orang tua yang mau mengasuh cucunya atau kerabat lain karena mereka hidup masing-masing,” ujar Roslina. Awal seorang ibu bekerja tentu berasal dari izin suami. Roslina mengutarakan, sebuah keluarga dikatakan sejahtera bahagia jika ada dukungan dari pasangan. Begitu juga saat ibu berkeinginan untuk kerja, izin suami merupakan hal utama.
Itu yang dirasakan Arzeti Bilbina Setiawan, mantan peragawati dan model yang kini aktif sebagai pemain sinetron, presenter, pengajar modeling, sekaligus politikus. “Setelah suami beri izin, saya merasa semua menjadi lebih mudah untuk mengatur keduanya agar berjalan seimbang,” tutur ibu Bagas Wicaksono Rahadi Setiawan, 8, Dimas Aryo Baskoro Rahadi Setiawan, 7, dan Gendis Setiawan, 6, itu.
Meski sudah jarang terlihat di layar kaca, namun Arzeti tetap aktif menjadi pengajar di tempat kursus modeling yang dia dirikan bersama sahabatnya, Jamal Hasan. Arzeti juga kerap menghadiri berbagai undangan sebagai pembicara atau juri modeling. Bukan hanya itu, wanita asal Lampung ini juga memiliki usaha di bidang tekstil. Semua kegiatan di luar rumah itu tidak lantas membuat Arzeti melupakan rutinitas sehari-hari bersama ketiga anaknya.
Arzeti selalu mengantar anaknya ke sekolah sebelum berangkat ke tempat beraktivitas. Arzeti mengakui, saat-saat kebersamaannya dengan anak pada pagi hari sangat dia nikmati. Menyiapkan perlengkapan sekolah dan perjalanan dari rumah ke sekolah bagi istri Aditya Setiawan ini merupakan quality time -nya bersama anak-anak.
Tentu saja, Arzeti tidak luput dari protes anak-anaknya. Namun, dia sudah siap dengan segala penjelasan melalui obrolan dari hati ke hati kepada mereka secara bergiliran. “Mereka pernah bertanya mengapa saya tidak seperti mama-mama lain yang menunggu di sekolah sampai pulang. Saya jawab, Ibi (panggilan anak-anak Arzeti kepadanya) bisa saja di sekolah setiap hari. Namun, nanti Ibi tidak ada yang dikerjakan dan dibanggakan. Kan Ibi juga ingin menjadi kebanggaan Dimas, seperti Ibi bangga sama Dimas,” ujar Arzeti, saat anak keduanya bertanya.
Memberi alasan tepat bagi anak yang mulai protes terhadap kesibukan ibunya menjadi tantangan tersendiri bagi ibu pekerja. Psikolog Vera Itibiliana Hadiwidjojo menjelaskan, para orang tua wajib memiliki alasan yang mantap sehingga ketika ditanya sudah siap dengan alasan yang sama, meski ditanya berulangulang. Jangan ragu untuk memberi jawaban yang sesungguhnya seperti, “Mama harus bantu papa cari uang.”
Bukan hanya di perkataan, namun beri contoh yang konkret. Misalnya, ajak anak Anda jalan-jalan, lalu makan di restoran atau membelikan anak mainan. Kemudian jelaskan bahwa jalan-jalan, makan, dan membeli mainan ini membutuhkan uang lebih, maka dari itu mama harus bekerja.
Menurut psikolog yang juga bekerja di Sekolah Islam Al-Fauzien Jakarta itu, para orang tua juga bisa mengajak anak ke tempat kerja mereka. “Kenalkan kantor kita, apa saja pekerjaan kita, jarak dari rumah ke kantor berapa lama, naik kendaraan umum atau mobil pribadi, macet atau tidak, sehingga anak semakin paham mengapa ibunya suka pulang terlalu malam, misalnya,” kata Vera.
Ananda nararya
Tidak ada yang salah dalam situasi seperti ini. Impian memberikan yang terbaik untuk buah hati menjadi prioritas. Makanan yang bergizi, susu yang mahal, mainan yang aman dan edukatif, hingga sekolah terbaik dengan biaya selangit. Menurut psikolog Roslina Verauli, ada dua alasan seorang ibu ingin bekerja.
Pertama, aktualisasi diri ingin mempunyai karier sendiri karena wanita masa kini cenderung memiliki pendidikan yang tinggi. Kedua, tentu saja kebutuhan untuk mencukupi keperluan rumah tangga. Jika salah satu atau mungkin kedua faktor tersebut menjadi alasan kuat, banyak ibu bekerja yang sudah mempersiapkan segalanya sebaik mungkin sehingga urusan keluarga di rumah tidak terbengkalai dan pekerjaan di kantor pun bisa diselesaikan dengan baik.
Seperti dialami Oki Nurhasanah, 30, ibu dua anak yang memutuskan kembali bekerja setelah hamil anak kedua dan kini si bungsu sudah berusia 15 bulan. Setelah melalui proses pemikiran yang matang dan diskusi dengan suami, sekarang dia mantap untuk bekerja lagi.
“Persiapan fisik dan mental harus dilakukan. Persiapan fisik misalnya, bangun pagi untuk berangkat ke kantor dan pulang sore, bahkan malam hari. Sementara persiapan mentalnya, harus meninggalkan anak dan mental untuk bekerja, bertemu dengan orang baru karena dua tahun jadi ibu rumah tangga saja. Siapkan diri sendiri untuk tahu risiko yang akan dihadapi dan yakin bisa menjalani seperti dulu,” cerita wanita yang bekerja di salah satu BUMD itu.
Oki tahu benar risiko yang harus dihadapi saat meninggalkan anak pertamanya, Najmi Sahda Putri, yang sudah masuk TK dan sedang senangsenangnya belajar. Dalam pikirannya dulu, bagaimana mengajarkan Ami -panggilan sang anak- untuk mengulang pelajaran yang sudah diajarkan di sekolah. Berkat arahan suami dan ibundanya, Oki mendapat solusi dan kini bisa dengan yakin memutuskan untuk kembali bekerja.
“Beruntung rumah saya dekat dengan ibu dan beliau yang mengasuh kedua anak saya. Ibu juga menyarankan untuk mengambil pembantu tambahan yang bisa membantunya mengurus dua anak, sekaligus menjadi teman Ami belajar,” ujar Oki. Pengasuh khusus kedua anaknya itu memang dipilih yang sekaligus bisa mengajarkan pelajaran dasar seperti membaca, menghitung, menggambar, hingga mengaji.
Peran orang-orang di sekeliling memang sangat dibutuhkan untuk menjadi pengganti orang tua. “Beruntungnya kita hidup di Indonesia yang punya sistem support . Jadi, sesama orang terdekat sangat mendukung dan membantu satu sama lain. Pola kita itu pola in-group kekerabatan yang kuat.
Coba di Eropa atau Amerika yang sangat individualis, jarang ada orang tua yang mau mengasuh cucunya atau kerabat lain karena mereka hidup masing-masing,” ujar Roslina. Awal seorang ibu bekerja tentu berasal dari izin suami. Roslina mengutarakan, sebuah keluarga dikatakan sejahtera bahagia jika ada dukungan dari pasangan. Begitu juga saat ibu berkeinginan untuk kerja, izin suami merupakan hal utama.
Itu yang dirasakan Arzeti Bilbina Setiawan, mantan peragawati dan model yang kini aktif sebagai pemain sinetron, presenter, pengajar modeling, sekaligus politikus. “Setelah suami beri izin, saya merasa semua menjadi lebih mudah untuk mengatur keduanya agar berjalan seimbang,” tutur ibu Bagas Wicaksono Rahadi Setiawan, 8, Dimas Aryo Baskoro Rahadi Setiawan, 7, dan Gendis Setiawan, 6, itu.
Meski sudah jarang terlihat di layar kaca, namun Arzeti tetap aktif menjadi pengajar di tempat kursus modeling yang dia dirikan bersama sahabatnya, Jamal Hasan. Arzeti juga kerap menghadiri berbagai undangan sebagai pembicara atau juri modeling. Bukan hanya itu, wanita asal Lampung ini juga memiliki usaha di bidang tekstil. Semua kegiatan di luar rumah itu tidak lantas membuat Arzeti melupakan rutinitas sehari-hari bersama ketiga anaknya.
Arzeti selalu mengantar anaknya ke sekolah sebelum berangkat ke tempat beraktivitas. Arzeti mengakui, saat-saat kebersamaannya dengan anak pada pagi hari sangat dia nikmati. Menyiapkan perlengkapan sekolah dan perjalanan dari rumah ke sekolah bagi istri Aditya Setiawan ini merupakan quality time -nya bersama anak-anak.
Tentu saja, Arzeti tidak luput dari protes anak-anaknya. Namun, dia sudah siap dengan segala penjelasan melalui obrolan dari hati ke hati kepada mereka secara bergiliran. “Mereka pernah bertanya mengapa saya tidak seperti mama-mama lain yang menunggu di sekolah sampai pulang. Saya jawab, Ibi (panggilan anak-anak Arzeti kepadanya) bisa saja di sekolah setiap hari. Namun, nanti Ibi tidak ada yang dikerjakan dan dibanggakan. Kan Ibi juga ingin menjadi kebanggaan Dimas, seperti Ibi bangga sama Dimas,” ujar Arzeti, saat anak keduanya bertanya.
Memberi alasan tepat bagi anak yang mulai protes terhadap kesibukan ibunya menjadi tantangan tersendiri bagi ibu pekerja. Psikolog Vera Itibiliana Hadiwidjojo menjelaskan, para orang tua wajib memiliki alasan yang mantap sehingga ketika ditanya sudah siap dengan alasan yang sama, meski ditanya berulangulang. Jangan ragu untuk memberi jawaban yang sesungguhnya seperti, “Mama harus bantu papa cari uang.”
Bukan hanya di perkataan, namun beri contoh yang konkret. Misalnya, ajak anak Anda jalan-jalan, lalu makan di restoran atau membelikan anak mainan. Kemudian jelaskan bahwa jalan-jalan, makan, dan membeli mainan ini membutuhkan uang lebih, maka dari itu mama harus bekerja.
Menurut psikolog yang juga bekerja di Sekolah Islam Al-Fauzien Jakarta itu, para orang tua juga bisa mengajak anak ke tempat kerja mereka. “Kenalkan kantor kita, apa saja pekerjaan kita, jarak dari rumah ke kantor berapa lama, naik kendaraan umum atau mobil pribadi, macet atau tidak, sehingga anak semakin paham mengapa ibunya suka pulang terlalu malam, misalnya,” kata Vera.
Ananda nararya
(bbg)