Tumbuhkan Jiwa Pemenang pada Diri Buah Hati
A
A
A
Ketika anak memasuki usia sekolah, “wajah dunia” seperti kian jelas baginya. Kompetisi ada di mana-mana. Kalau Anda sebagai orang tua tak pandai membaca potensi anak, dia akan rentan mengalami stres hingga berpengaruh pada kondisi fisik dan mentalnya.
Tiap orang tua pasti menginginkan anaknya tumbuh menjadi manusia “sempurna”. Selain sehat fisik dan mental, si anak juga diharapkan cerdas, gigih, mandiri, percaya diri, disiplin, kreatif, luwes, dan sebagainya. Intinya, anak harus menjadi sosok incredible. Menjadikan anak incredible tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kita tahu, anak terlahir dengan kekhasan masing-masing, yang mungkin diturunkan oleh orang tua secara genetik.
Hanya, pengaruh lingkungan dan makanan pun ikut berperan dalam membentuk karakter anak. Makanan dan lingkungan pula yang bakal menjadikannya sehat, baik secara fisik maupun mental. Konsultan parenting Hanny Muchtar Darta mengatakan, saat memasuki masa usia 5-12 tahun, anak pada umumnya akan memiliki segudang aktivitas, baik di rumah, sekolah, maupun luar sekolah.
Anak lantas mulai melihat kompetisi dan ingin ikut menunjukkan kemampuannya. Ini yang menjadi tantangan. Nah yang paling kecil lingkupnya, antara lain kompetisi di dalam kelas yang sangat berpotensi membuat anak stres.
“Kondisinya sekarang, orang tua banyak yang menganggap anak yang hebat adalah yang bisa menjadi juara 1-3 di kelas. Kalau tidak bisa mencapai itu, orang tua akan marah. Anak dianggap tidak mampu belajar optimal,” kata Hanny.
Tekanan dari orang tua juga akan membuat anak stres. Dalam kondisi otak kanan yang stres, anak biasanya akan bertindak tanpa berpikir, merasa tidak dapat mengelola segala sesuatu dengan baik, tidak ekspresif, lupa pada hal-hal kecil, dan terlihat emosi.
Sementara, efek dari otak kiri yang stres antara lain anak tetap mau mencoba dengan baik, tapi merasa tak senang, tidak mampu memahami secara baik, sulit menyelesaikan tugas, dan ingin menang sendiri. Sebaliknya, dalam keadaan otak yang senang atau dinamis, anak akan menjadi ekspresif, mampu membuat rencana, membuat pilihan, bekerja mandiri, bersaing secara sehat, terbuka untuk berkomunikasi, merasa nyaman, mampu menerima, memperhatikan, bisa bekerja sama, terbuka untuk belajar, mampu mengingat, merespons, dan disiplin.
“Pendekatan pola asuh yang harus diterapkan adalah membentuk persepsi bahwa semua anak dilahirkan incredible , dan setiap kemajuan, sekecil apa pun, yang dicapai anak merupakan keberhasilan positif yang harus dihargai. Jadi, penekanannya bukan pada hasil menjadi juara, melainkan pentingnya melakukan usaha terbaik untuk mencapai hasil terbaik. Dengan kata lain, yang terpenting bukan menjadi juara, namun bagaimana meningkatkan jiwa pemenang pada diri anak karena ini merupakan kunci baginya untuk meraih bintang,” papar Hanny.
Dialog merupakan salah satu kunci keberhasilan orang tua mendidik anak. Jangan fokuskan keinginan Anda terhadap anak dan berikan jalan keluar atas satu persoalan dengan melibatkan anak. Nah yang terpenting juga, hindari komunikasi negatif atau put down words karena itu bisa berpengaruh terhadap kesehatan mentalnya, seperti anak akan merasa terhina, direndahkan, merasa tidak penting, tidak mampu, tidak dihargai, ataupun merasa tidak disayang oleh ayah-ibunya.
“Hasil penelitian yang dilakukan oleh Task Force for Responsibilities di Amerika Serikat mengungkap, rata-rata anak mendengar 342 kata-kata negatif setiap hari. Sementara, kata positif yang terdengar hanya 32 kata,” sebut Hanny. Hasil penelitian yang sama juga mengungkap, hanya dua dari sepuluh anak yang tahan terhadap pendekatan negatif tersebut tanpa memberikan dampak psikologis.
Adapun delapan dari sepuluh anak tidak mampu bertahan sehingga sulit untuk bangkit. Seharusnya, Hanny menyebutkan, tiap orang tua memiliki persepsi bahwa semua anak dilahirkan dengan membawa keunikan atau kelebihan masing-masing. Di sinilah letak peran orang tua, untuk memberikan dorongan agar anak selalu berusaha dengan baik dan mengharapkan hasil terbaik.
“Prestasi anak merupakan prestasi orang tua juga,” imbuh Hanny. Bukan hanya pola asuh, asupan makanan pun bisa memengaruhi kondisi anak. Anak yang sehat karena mengonsumsi makanan bernutrisi, tentu akan memiliki daya tahan fisik serta kemampuan menyerap pelajaran secara lebih optimal. Di Indonesia, persoalan gizi buruk memang masih mengintai.
Menurut data, masih ada sekitar 17,9% balita yang menderita gizi kurang atau gizi buruk. Kasus yang cukup banyak ditemui, antara lain, anak kekurangan zat besi dan yodium. Kekurangan zat besi bisa menyebabkan anemia. Akibatnya, sel darah tidak bisa mentransfer oksigen ke otak sehingga oksigen pada otak anak akan berkurang. Kalau sudah begitu, imbasnya adalah daya konsentrasi anak di sekolah jadi ikut berkurang.
Pada kasus ibu hamil, kekurangan zat besi bisa berakibat kurang baik untuk perkembangan otak bayi. Satu hal lagi yang masih menjadi masalah, yakni kurangnya asupan yodium yang umumnya diidentikkan dengan garam (garam beryodium). Kekurangan yodium juga bisa menghambat perkembangan otak.
Bahkan yang lebih fatal, kekurangan yodium dapat menyebabkan IQ turun sebanyak 10 poin. Makanan yang mengandung yodium, antara lain ikan laut dan hasil olahannya, kerang, udang, cumi, rumput laut termasuk agar-agar, susu, dan daging.
Titi s apridawaty
Tiap orang tua pasti menginginkan anaknya tumbuh menjadi manusia “sempurna”. Selain sehat fisik dan mental, si anak juga diharapkan cerdas, gigih, mandiri, percaya diri, disiplin, kreatif, luwes, dan sebagainya. Intinya, anak harus menjadi sosok incredible. Menjadikan anak incredible tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kita tahu, anak terlahir dengan kekhasan masing-masing, yang mungkin diturunkan oleh orang tua secara genetik.
Hanya, pengaruh lingkungan dan makanan pun ikut berperan dalam membentuk karakter anak. Makanan dan lingkungan pula yang bakal menjadikannya sehat, baik secara fisik maupun mental. Konsultan parenting Hanny Muchtar Darta mengatakan, saat memasuki masa usia 5-12 tahun, anak pada umumnya akan memiliki segudang aktivitas, baik di rumah, sekolah, maupun luar sekolah.
Anak lantas mulai melihat kompetisi dan ingin ikut menunjukkan kemampuannya. Ini yang menjadi tantangan. Nah yang paling kecil lingkupnya, antara lain kompetisi di dalam kelas yang sangat berpotensi membuat anak stres.
“Kondisinya sekarang, orang tua banyak yang menganggap anak yang hebat adalah yang bisa menjadi juara 1-3 di kelas. Kalau tidak bisa mencapai itu, orang tua akan marah. Anak dianggap tidak mampu belajar optimal,” kata Hanny.
Tekanan dari orang tua juga akan membuat anak stres. Dalam kondisi otak kanan yang stres, anak biasanya akan bertindak tanpa berpikir, merasa tidak dapat mengelola segala sesuatu dengan baik, tidak ekspresif, lupa pada hal-hal kecil, dan terlihat emosi.
Sementara, efek dari otak kiri yang stres antara lain anak tetap mau mencoba dengan baik, tapi merasa tak senang, tidak mampu memahami secara baik, sulit menyelesaikan tugas, dan ingin menang sendiri. Sebaliknya, dalam keadaan otak yang senang atau dinamis, anak akan menjadi ekspresif, mampu membuat rencana, membuat pilihan, bekerja mandiri, bersaing secara sehat, terbuka untuk berkomunikasi, merasa nyaman, mampu menerima, memperhatikan, bisa bekerja sama, terbuka untuk belajar, mampu mengingat, merespons, dan disiplin.
“Pendekatan pola asuh yang harus diterapkan adalah membentuk persepsi bahwa semua anak dilahirkan incredible , dan setiap kemajuan, sekecil apa pun, yang dicapai anak merupakan keberhasilan positif yang harus dihargai. Jadi, penekanannya bukan pada hasil menjadi juara, melainkan pentingnya melakukan usaha terbaik untuk mencapai hasil terbaik. Dengan kata lain, yang terpenting bukan menjadi juara, namun bagaimana meningkatkan jiwa pemenang pada diri anak karena ini merupakan kunci baginya untuk meraih bintang,” papar Hanny.
Dialog merupakan salah satu kunci keberhasilan orang tua mendidik anak. Jangan fokuskan keinginan Anda terhadap anak dan berikan jalan keluar atas satu persoalan dengan melibatkan anak. Nah yang terpenting juga, hindari komunikasi negatif atau put down words karena itu bisa berpengaruh terhadap kesehatan mentalnya, seperti anak akan merasa terhina, direndahkan, merasa tidak penting, tidak mampu, tidak dihargai, ataupun merasa tidak disayang oleh ayah-ibunya.
“Hasil penelitian yang dilakukan oleh Task Force for Responsibilities di Amerika Serikat mengungkap, rata-rata anak mendengar 342 kata-kata negatif setiap hari. Sementara, kata positif yang terdengar hanya 32 kata,” sebut Hanny. Hasil penelitian yang sama juga mengungkap, hanya dua dari sepuluh anak yang tahan terhadap pendekatan negatif tersebut tanpa memberikan dampak psikologis.
Adapun delapan dari sepuluh anak tidak mampu bertahan sehingga sulit untuk bangkit. Seharusnya, Hanny menyebutkan, tiap orang tua memiliki persepsi bahwa semua anak dilahirkan dengan membawa keunikan atau kelebihan masing-masing. Di sinilah letak peran orang tua, untuk memberikan dorongan agar anak selalu berusaha dengan baik dan mengharapkan hasil terbaik.
“Prestasi anak merupakan prestasi orang tua juga,” imbuh Hanny. Bukan hanya pola asuh, asupan makanan pun bisa memengaruhi kondisi anak. Anak yang sehat karena mengonsumsi makanan bernutrisi, tentu akan memiliki daya tahan fisik serta kemampuan menyerap pelajaran secara lebih optimal. Di Indonesia, persoalan gizi buruk memang masih mengintai.
Menurut data, masih ada sekitar 17,9% balita yang menderita gizi kurang atau gizi buruk. Kasus yang cukup banyak ditemui, antara lain, anak kekurangan zat besi dan yodium. Kekurangan zat besi bisa menyebabkan anemia. Akibatnya, sel darah tidak bisa mentransfer oksigen ke otak sehingga oksigen pada otak anak akan berkurang. Kalau sudah begitu, imbasnya adalah daya konsentrasi anak di sekolah jadi ikut berkurang.
Pada kasus ibu hamil, kekurangan zat besi bisa berakibat kurang baik untuk perkembangan otak bayi. Satu hal lagi yang masih menjadi masalah, yakni kurangnya asupan yodium yang umumnya diidentikkan dengan garam (garam beryodium). Kekurangan yodium juga bisa menghambat perkembangan otak.
Bahkan yang lebih fatal, kekurangan yodium dapat menyebabkan IQ turun sebanyak 10 poin. Makanan yang mengandung yodium, antara lain ikan laut dan hasil olahannya, kerang, udang, cumi, rumput laut termasuk agar-agar, susu, dan daging.
Titi s apridawaty
(ars)