Cerdas Menakar Konsumsi Gula dan Garam

Minggu, 21 Desember 2014 - 13:01 WIB
Cerdas Menakar Konsumsi Gula dan Garam
Cerdas Menakar Konsumsi Gula dan Garam
A A A
Gula dan garam kerap dituding sebagai biang keladi munculnya penyakit degeneratif seperti diabetes melitus dan hipertensi. Padahal, tudingan itu tidak sepenuhnya benar. Dua zat tersebut justru sangat diperlukan oleh tubuh.

Cerdas menakar konsumsi gula dan garam adalah solusi untuk tetap bisa menjalani hidup yang sehat. Sejatinya, bahan makanan tak akan memicu kemunculan satu jenis penyakit. Menurut pakar nutrisi Emilia Achmadi, pola konsumsi yang berlebihan terhadap makananlah yang dapat menimbulkan penyakit-penyakit kronis di kemudian hari.

Diabetes dan hipertensi adalah contoh dari penyakit degeneratif yang bisa dipicu oleh pola konsumsi yang tak benar terhadap gula dan garam. Alhasil, banyak orang lantas memilih meniadakan asupan atas dua zat tersebut. Emilia mengatakan, mengonsumsi gula dan garam secara berlebihan dalam jangka waktu yang panjang memang berbahaya bagi kesehatan, tetapi bukan berarti zat-zat tersebut harus dihilangkan dari pola makan kita sehari-hari.

Informasi yang kurang tepat bisa membuat orang menghindari satu jenis atau satu kelompok makanan, padahal itu tidak perlu. “Anggapan gula dan garam harus dihilangkan dari pola makan sehari-hari itu tidak benar. Penyakit degeneratif penyebabnya bukan makanan, melainkan konsumsi yang tidak pada tempatnya alias berlebihan,” kata Emilia dalam acara gathering Jakarta Food Editor’s Club yang digagas PT Unilever Indonesia di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menurut Emilia, tubuh manusia membutuhkan gula dan garam yang cukup. Gula merupakan senyawa turunan dari karbohidrat. Tubuh kita membutuhkan karbohidrat sebanyak 45%-60% dari total asupan kalori per hari, termasuk pati (serealia) dan gula. Gula yang diubah dari karbohidrat merupakan sumber energi yang penting untuk aktivitas otak dan organ tubuh lain.

“Kalau tubuh kekurangan energi, otak jadi lambat berpikir,” ujar Emilia. Adapun garam atau sering disebut natrium/sodium berfungsi untuk menjaga keseimbangan cairan di dalam sel darah, serta menyampaikan informasi di dalam sistem saraf dan otot. Garam juga diperlukan untuk penyerapan beberapa zat gizi tertentu dari usus kecil.

Di Indonesia, makanan dan minuman yang memiliki kandungan gula serta garam yang tinggi masih sering dikonsumsi masyarakat. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2011, konsumsi gula masyarakat mencapai 1,416 kilogram per kapita per minggu. Sementara, konsumsi garam sebesar 311 gram per kapita per minggu.

Padahal yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), batas konsumsi gula dalam sehari adalah 3-6 sendok makan atau 25- 50 gram per hari. Adapun batas konsumsi garam dalam sehari sebanyak 5 gram atau 2.000 miligram natrium (setara dengan satu sendok teh).

“Selama ini kita makan yang dituruti adalah selera sehingga seolah-olah kita dikontrol oleh makanan. Padahal, seharusnya kitalah yang mengontrol makanan. Ingat, standar di Indonesia itu, konsumsi gula 50 gram per hari. Sementara, garam 5 gram atau 2.000 miligram hingga 2.400 miligram natrium per hari,” sebut Emilia.

Satu tips bagi Anda untuk mengontrol asupan garam, yakni jangan menyimpan garam ekstra di meja makan. “Kebiasaan di kita kan makanan belum dicicipi, sudah langsung ditambahi garam. Kita kadang tidak sadar dengan makanan yang kita konsumsi. Gula dan garam bukan hanya berasal dari gula dan garam itu sendiri, juga dari makanan lain sehingga tanpa sadar konsumsi kita terhadap dua zat tersebut melebihi yang dibutuhkan oleh tubuh,” beber Emilia.

Tips lain untuk membatasi asupan gula dan garam adalah dengan memperhatikan label gizi yang tertera di makanan kemasan. Dalam Pedoman Gizi Seimbang yang dikeluarkan Kemenkes disebutkan, masyarakat sebaiknya membaca label pada kemasan makanan.

Sebab, semua keterangan rinci di label makanan kemasan akan sangat membantu konsumen untuk mengetahui bahanbahan yang terkandung di dalam makanan tersebut. Label pangan yang dimaksud adalah yang telah dilengkapi dengan % AKG (angka kecukupan gizi) sehingga lebih mudah dipahami masyarakat atau konsumen.

Menurut data tahun 2012 yang diungkap Kasubdit Standarisasi Pangan Khusus Badan POM RI Yusra Egayanti, sebanyak 25% uang yang dibelanjakan untuk makanan digunakan untuk membeli makanan olahan atau kemasan. Dalam kemasan makanan tersebut, biasanya tertera label gizi. Nah, label inilah yang harus dibaca secara teliti oleh konsumen.

Titi s apridawaty
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3572 seconds (0.1#10.140)