Mengajarkan si Kecil Jadi Ilmuwan

Jum'at, 30 Januari 2015 - 10:41 WIB
Mengajarkan si Kecil Jadi Ilmuwan
Mengajarkan si Kecil Jadi Ilmuwan
A A A
Mempelajari pola belajar berbasis sains, teknologi, engineering, dan matematika (STEM) sejak kecil ternyata tidak rumit. Anda bisa mengajarkan dengan peralatan sederhana dan murah di sekitar rumah.

STEM merupakan sebuah metode pembelajaran yang menggunakan pendekatan antarilmu dan pengaplikasiannya dibarengi dengan pembelajaran aktif berbasis masalah. Dengan pendidikan berbasis STEM, siswa akan memiliki cara berpikir yang kritis dan membentuk logika berpikir, serta terbiasa memecahkan masalah dengan sistematis.

Hal itu dimungkinkan karena pendidikan berbasis STEM berfokus pada aspek kolaborasi, komunikasi, riset, mencari solusi (problem solving ), berpikir kritis, dan kreativitas. Meskipun STEM difokuskan pada ilmu eksakta, tidak mengesampingkan unsur sosialnya. Contohnya dalam kasus proses belajar dalam bentuk team work , maka siswa akan berhubungan satu sama lain untuk memecahkan sebuah masalah.

Meski demikian, pola belajar STEM harus disesuaikan sesuai dengan tingkat tumbuh kembang anak. Harus dibedakan pembelajaran berbasis STEM untuk anak usia dini, usia sekolah dasar, dan menengah. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Eriva Syamsiatin, dosen mata kuliah sains dan matematika dari Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta.

Eriva mengatakan, mempelajari STEM bisa dimulai sejak usia dini dan dengan cara yang mudah. Eriva memaparkan, mengajarkan STEM juga bukan berarti melulu mengajarkan teknologi, melainkan mengajak anak untuk menggali kemampuannya dalam berpikir ilmiah, yakni mereka belajar mengobservasi, membedakan, mengklasifikasi, mengurutkan, membuat pola, dan belajar mengungkapkan temuannya.

“Mengajarkan STEM bukan tentang mengajarkan teknologi, tapi membangkitkan kemampuan berpikir saintifik. Jadi, anak diajak mengumpulkan data, melaporkan kembali. Dengan begini, anak belajar konsep apa pun akan lebih mudah,” ujar Eriva. Nah yang terpenting, anak di usia dini tidak boleh dibebani dengan target belajar, menghafal rumus, angka, ataupun alfabet.

“Dalam mendidik anak usia dini 3-5 tahun, yang terpenting kita perlu membangun dulu konsep berpikirnya,” ujar perempuan kelahiran Jakarta tahun 1979 itu. Untuk mempelajari itu semua pun tidak perlu dengan sarana yang canggih maupun alat-alat berharga jutaan rupiah. Bahkan, dengan sarana seadanya dan peralatan seharga kurang dari Rp50.000, si kecil sudah bisa “menjadi” ilmuwan cilik.

Adapun salah satu cara belajar STEM dengan mengajaknya ke alam luar. Yang dimaksud belajar di alam pun tidak perlu puncak, sawah, atau hutan belantara. Namun, mengajaknya ke halaman depan atau halaman belakang sekolah atau rumah pun sudah cukup untuk mengajarkannya belajar dari alam.

Eriva memaparkan, mengajarkan pola belajar berbasis STEM pun tidak perlu alat-alat mahal seperti yang selama ini dikira banyak orang. Sebagai contoh, Eriva pernah mengajak mahasiswanya ke halaman belakang kampus dengan hanya membawa tali plastik, kaca pembesar seharga Rp30.000-an, dan juga papan tulis kecil.

Di halaman belakang itu, dengan menggunakan tali plastik alias tali rafia, mahasiswanya lantas diminta membentuk persegi. Selanjutnya, menggunakan mata telanjang atau bantuan kaca pembesar, para mahasiswanya diminta untuk mengamati semua objek yang masuk ke dalam lingkup persegi tali plastik.

“Saya minta catat dan gambarkan semuanya, benda apa saja yang ditemukan, bagaimana bentuknya, teksturnya, aroma, semuanya,” ujarnya. Usai pengamatan, Eriva pun meminta mahasiswanya untuk mengungkapkan berbagai temuannya dengan bahasa sederhana. Ketika ditanya respons mereka dengan metode pembelajaran tersebut, seluruh mahasiswanya mengaku senang dan antusias.

“Pola belajar itu pula yang saya minta mereka terapkan ke anak didiknya sehingga mereka bisa belajar sains dengan mudah, murah, dan menyenangkan,” tuturnya. Pola belajar mudah dan murah pernah juga diterapkan saat dirinya mengajar sejumlah tenaga pengajar pendidikan anak usia dini di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Lantaran keterbatasan ekonomi, anak-anak di sana merasa akan kesulitan jika diminta membeli krayon atau pensil warna untuk pelajaran menggambar.

Karena itu, dia meminta guru PAUD mencari alternatif pewarna alami seperti bunga rosella untuk dijadikan pewarna merah, atau kunyit untuk warna oranye. “Intinya, jangan jadikan keterbatasan sebagai alasan tidak bisa belajar. Bahkan, dengan peralatan atau benda seadanya di sekitar kita, kalau kita kreatif, belajar dengan apa saja sangat mungkin,” sebutnya.

Menurut Eriva, satu poin penting yang harus diperhatikan, yakni guru bukan merupakan satu-satunya “sumber” pembelajaran. Namun, anak-anak bisa belajar langsung dari lingkungan sekitarnya. “Jadi, anak diharapkan lebih peka ke lingkungan, memperhatikan, dan akhirnya diharapkan bisa berbuat sesuatu untuk lingkungannya,” kata Eriva. Dengan pola belajar seperti itu, guru dituntut untuk lebih kreatif dan peka dalam keseluruhan proses belajar mengajar.

Anak bisa diajarkan berbagai unsur STEM melalui pengenalan sayur-mayur, mengelompokkannya, belajar ukuran, belajar mengenai sequence atau urutan memasak dari sayur bertekstur keras ke sayur bertekstur lunak. “Orang tua bisa mengajarkan itu di rumah. Karena memang pada usia dini 3- 5 tahun, mereka hanya perlu mengenal proses belajar science thinking , belum perlu memahami science concept ,” ujarnya.

Sali pawiatan
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7174 seconds (0.1#10.140)