Modernitas Sarat Detail
A
A
A
EMPAT desainer muda berbakat Indonesia, Albert Yanuar lewat label Algarry, Klenting di label Kle, Rinda Salmun dan Safira melalui label Sav Lavin, memunculkan karya terbaik mereka dalam satu panggung di gelaran Indonesia Fashion Week (IFW) 2015 . Seperti apa?
Albert Yanuar memperlihatkan koleksi bertajuk “Chinoize”. Busana yang ditampilkan ini merupakan busana prefall 2015. Rancangannya terinspirasi porselen China. Chinoize ditandai dengan penggunaan citra fantastis dari imajiner Cina. Dalam lingkup yang lebih luas, koleksinya mengacu pada campuran elemen gaya Barat. Sementara untuk dekorasi dan bentuknya, memadukan dua elemen Timur dan Barat dengan penggunaan bahan menjadi titik berat meniru porselen China.
Berdasarkan tema, koleksi ini menonjolkan penggunaan pola rumit. Sebuah ekstensif menggunakan motif yang dikombinasikan dengan siluet simpel. Menurut Albert, hal itu akan lebih menarik bagi banyak wanita. Terlebih, sebagian besar motif dilukis dengan tangan dan dicetak secara digital sehingga koleksi ini terlihat autentik. Pada porselen China lainnya, beberapa motif dilukis dengan tangan dibuat menyerupai ikon batik dari Cirebon.
Selain itu, beberapa gaun dihiasi dengan renda dan bordir untuk menonjolkan keanggunan koleksi tersebut. Untuk mempercantik busana, Albert memberi dominasi warna royal blue yang digabungkan dengan putih. Semua siluet sederhana ini menggunakan material duchess dan tulle yang sengaja dipilih agar terlihat halus.
“Porselen China sebagai inspirasi memang bukan hal baru, tapi yang membuat berbeda yaitu motifnya. Di sini saya melakukan hand painting lalu membuatnya jadi digital printing agar terlihat hi tech ,” kata Albert. Berbeda dengan koleksi Klenting. Menurut sang desainer, konsep kali ini lebih mengacu ke arah spiritual. Inspirasinya muncul saat seseorang sedang berdoa dan masuk dalam transisi.
“Saya visualisasikan dalam gambar mandala tentang alam semesta dan gunung yang menggambarkan tentang kemegahan dalam baju-baju yang sporty ,” bebernya. Potongan busana yang ditampilkan kebanyakan hadir dalam bentuk jaket dan rok girly yang ingin mencerminkan perempuan bebas bergerak.
Untuk membuat detail pada busana yang cenderung bergaya modern simpel ini, Klenting bekerja sama dengan desainer grafis Monika Hapsari. Jadi, gambar yang telah dilukis kemudian dibuat digital printing . Desainer muda yang tak kalah memberikan karya menarik adalah Rinda Salmun.
Meski baru pertama kali ikut IFW, dia menyuguhkan banyak detail dan elemen pada pola rancangannya. Inspirasinya datang dari pegunungan Jaya Wijaya dengan mengeksplorasi Cartens Piramid melalui gambar digital printing , neo print yang dikemas secara sporty dan lebih young serta menampilkan sisi fun dari siluetnya.
Rinda mencoba bermain warna dalam busana yang dikenalkannya itu, seperti hitam, putih monokrom, cokelat, merah bata, biru, dan berbagai kombinasi. “Di sini saya mengusung eksperimental dalam berpakaian dari gaya berpakaian seorang wanita, seperti label Rinda Salmun yang selalu mencoba bereksperimen,” kata Rinda.
Sementara Safira lewat label Sav Lavin mengangkat tema “The Trip”. Rancangan itu terinspirasi ketika dia berada di Yogyakarta dan Wiro Sableng, tokoh dalam cerita fiksi superhero Indonesia. Dimulai ketika Safira berada di museum UllenSentalu, Yogyakarta. Dia lalu mengetahui kata “batik” yang berasal dari kalimat rambatantitik.
Pengetahuan barunya itu membuat dia menyadari bahwa desain berasal dari sumber yang berbeda dan selalu menciptakan potongan baru. Sav Lavin pada desainnya pun ikut memilih simbol batik Gurdo yang berarti kekuasaan dan berkah.
Sementara siluet yang dihadirkan terinspirasi dari retro-futurisme dan menggunakan metode reinterpretasi dari inspirasi budaya tradisional. Materialnya berupa neoprene , kain 3D, kulit sintetis, PVC, cotton-spandex , rajutan jala dan satin dengan tekstur dove .
Efek bordir 3D mewakili feminitas, termasuk teknik laser-cut untuk mengunci detail sebagai signature yang diciptakan untuk koleksi ready to wear ini.
Dyah ayu pamela
Albert Yanuar memperlihatkan koleksi bertajuk “Chinoize”. Busana yang ditampilkan ini merupakan busana prefall 2015. Rancangannya terinspirasi porselen China. Chinoize ditandai dengan penggunaan citra fantastis dari imajiner Cina. Dalam lingkup yang lebih luas, koleksinya mengacu pada campuran elemen gaya Barat. Sementara untuk dekorasi dan bentuknya, memadukan dua elemen Timur dan Barat dengan penggunaan bahan menjadi titik berat meniru porselen China.
Berdasarkan tema, koleksi ini menonjolkan penggunaan pola rumit. Sebuah ekstensif menggunakan motif yang dikombinasikan dengan siluet simpel. Menurut Albert, hal itu akan lebih menarik bagi banyak wanita. Terlebih, sebagian besar motif dilukis dengan tangan dan dicetak secara digital sehingga koleksi ini terlihat autentik. Pada porselen China lainnya, beberapa motif dilukis dengan tangan dibuat menyerupai ikon batik dari Cirebon.
Selain itu, beberapa gaun dihiasi dengan renda dan bordir untuk menonjolkan keanggunan koleksi tersebut. Untuk mempercantik busana, Albert memberi dominasi warna royal blue yang digabungkan dengan putih. Semua siluet sederhana ini menggunakan material duchess dan tulle yang sengaja dipilih agar terlihat halus.
“Porselen China sebagai inspirasi memang bukan hal baru, tapi yang membuat berbeda yaitu motifnya. Di sini saya melakukan hand painting lalu membuatnya jadi digital printing agar terlihat hi tech ,” kata Albert. Berbeda dengan koleksi Klenting. Menurut sang desainer, konsep kali ini lebih mengacu ke arah spiritual. Inspirasinya muncul saat seseorang sedang berdoa dan masuk dalam transisi.
“Saya visualisasikan dalam gambar mandala tentang alam semesta dan gunung yang menggambarkan tentang kemegahan dalam baju-baju yang sporty ,” bebernya. Potongan busana yang ditampilkan kebanyakan hadir dalam bentuk jaket dan rok girly yang ingin mencerminkan perempuan bebas bergerak.
Untuk membuat detail pada busana yang cenderung bergaya modern simpel ini, Klenting bekerja sama dengan desainer grafis Monika Hapsari. Jadi, gambar yang telah dilukis kemudian dibuat digital printing . Desainer muda yang tak kalah memberikan karya menarik adalah Rinda Salmun.
Meski baru pertama kali ikut IFW, dia menyuguhkan banyak detail dan elemen pada pola rancangannya. Inspirasinya datang dari pegunungan Jaya Wijaya dengan mengeksplorasi Cartens Piramid melalui gambar digital printing , neo print yang dikemas secara sporty dan lebih young serta menampilkan sisi fun dari siluetnya.
Rinda mencoba bermain warna dalam busana yang dikenalkannya itu, seperti hitam, putih monokrom, cokelat, merah bata, biru, dan berbagai kombinasi. “Di sini saya mengusung eksperimental dalam berpakaian dari gaya berpakaian seorang wanita, seperti label Rinda Salmun yang selalu mencoba bereksperimen,” kata Rinda.
Sementara Safira lewat label Sav Lavin mengangkat tema “The Trip”. Rancangan itu terinspirasi ketika dia berada di Yogyakarta dan Wiro Sableng, tokoh dalam cerita fiksi superhero Indonesia. Dimulai ketika Safira berada di museum UllenSentalu, Yogyakarta. Dia lalu mengetahui kata “batik” yang berasal dari kalimat rambatantitik.
Pengetahuan barunya itu membuat dia menyadari bahwa desain berasal dari sumber yang berbeda dan selalu menciptakan potongan baru. Sav Lavin pada desainnya pun ikut memilih simbol batik Gurdo yang berarti kekuasaan dan berkah.
Sementara siluet yang dihadirkan terinspirasi dari retro-futurisme dan menggunakan metode reinterpretasi dari inspirasi budaya tradisional. Materialnya berupa neoprene , kain 3D, kulit sintetis, PVC, cotton-spandex , rajutan jala dan satin dengan tekstur dove .
Efek bordir 3D mewakili feminitas, termasuk teknik laser-cut untuk mengunci detail sebagai signature yang diciptakan untuk koleksi ready to wear ini.
Dyah ayu pamela
(ftr)