Romantisme Puncak Gunung Bawakaraeng

Jum'at, 10 April 2015 - 08:55 WIB
Romantisme Puncak Gunung...
Romantisme Puncak Gunung Bawakaraeng
A A A
GUNUNG Bawakaraeng adalah gunung yang cukup terkenal di Sulawesi Selatan. Tempat ini menjadi salah satu lokasi favorit bagi pencinta wisata ekstrem karena jalur hiking yang cukup sulit dan jurang yang curam.

Gunung Bawakaraeng memiliki dua kata, yakni bawayang berarti ‘mulut’ dan karaengyang berarti ‘Tuhan’. Kelestarian alam gunung tersebut memang masih terjaga meski di dua pos sempat mengalami kebakaran hutan beberapa tahun silam dan juga terjadi longsor. Memiliki ketinggian sekitar 2.830 meter di atas permukaan laut (dpl), membuatnya menjadi salah satu tempat yang bisa menjangkau hampir sebagian wilayah di selatan Sulsel, yakni Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Jeneponto, Bantaeng, dan Sinjai.

Bagi para pencinta wisata ekstrem, lokasi ini menjadi salah satu lokasi yang wajib didatangi karena cukup memacu adrenalin untuk mendaki gunung ataupun menuruni lembah yang di beberapa sisinya terdapat jurang yang curam. Tempat favorit yang menjadi tujuan wisata terdapat di pos 10 (puncak), yang memakan waktu tempuh bervariasi, tergantung dari kekuatan pendaki. Namun, ratarata bisa memakan waktu antara 7 hingga 10 jam yang ditempuh dengan berjalan kaki untuk bisa sampai puncak.

Meski demikian, selama perjalanan, kita tidak akan merasa bosan karena suasana hutan yang begitu sejuk dan asri membentang sepanjang perjalanan, serta beberapa macam burung yang siap menyambut dengan kicauannya di tanah Bawakaraeng. Di samping hutan lebat nan hijau, banyak sungai yang dilewati dengan kondisi air yang segar dan cukup dingin. Airnya bisa menjadi penawar lelah, bahkan air tersebut bisa langsung diminum karena bersumber dari mata air pegunungan.

Untuk bisa ke puncak dan menikmati sunrisemaupun sunset, ada beberapa jalur, baik melalui Kabupaten Sinjai, Bantaeng, maupun Gowa. Namun, jalur yang paling terkenal melalui Gowa, setelah melewati Kota Bunga, Malino, Dusun Lembanna. Saat memasuki Dusun Lembanna, kita sudah disambut suasana alam yang segar dengan iklim yang cukup dingin.

Bagi pemilik kendaraan, bisa diparkir di rumah warga yang ada di Dusun Lembanna dengan membayar sekitar Rp5.000- Rp10.000. Setelah memarkir kendaraan, kita bisa mendaki menuju pos 1 dan seterusnya. Selama perjalanan, pengunjung juga bisa sambil beristirahat. Itu karena lebih banyak pendakian yang harus dilewati sehingga harus mengatur napas dengan baik.

Beberapa hutan lumut juga akan dijumpai lantaran kondisi gunung yang lembap dan sejuk sehingga lumut tumbuh di hampir semua badan pohon. Biasanya untuk ke lokasi ini disarankan untuk menginap dengan membangun tenda di salah satu pos yang memiliki sumber mata air. Dengan begitu, perlengkapan kemping juga harus disiapkan, termasuk pakaian musim dingin dan peralatan masak.

“Saya memang sering ke sini, untuk melakukan pendakian atau membuka jalur pendakian. Gunung dan hutan memang menjadi sumber kehidupan sehingga sangat baik jika kita dekat dan mengenal dengan baik alam sekitarnya,” tutur seorang mahasiswa pencinta alam (Mapala) UMI Herman Kambuna. Menurut dia, memang tidak semua orang yang datang ke lokasi tersebut adalah pendaki. Bahkan, kebanyakan yang merupakan warga biasa serta anak-anak yang ingin menikmati sunriseatau sunsetdengan cara yang berbeda di puncak tertinggi kedua di Sulsel tersebut.

“Kami juga biasa menemani orang yang belum mengetahui jalur agar tidak kesasar,” ujar Herman. Selain puncak, beberapa pos yang cukup menarik juga terdapat di pos 7. Lokasi ini cukup terbuka dan hanya ada beberapa pohon, namun kita sudah bisa menikmati awan yang berada sejajar dengan kita. Tidak salah jika di pos itu disebut negeri di atas awan. Kebanyakan pengunjung juga tidak menyia-nyiakan mengabadikan momen tersebut untuk berfoto dengan latar awan yang jernih.

Beberapa batu besar yang terdapat di pos tersebut menjadi tempat duduk untuk berfoto ataupun menikmati awan dengan udara yang sejuk meski matahari bersinar terang. Bagi yang ingin melanjutkan perjalanan ke pos selanjutnya, akan menemukan sumber mata air yang mengalir di atas batu.

Semakin airnya terasa dingin, maka semakin terasa segar. Biasanya Bawakaraeng ramai saat akhir pekan atau pada peringatan 17 Agustus. “Bahkan, anak-anak kecil juga turut dibawa serta,” ujar Herman.

Rahmi djafar
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1938 seconds (0.1#10.140)