Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 11 Bagian 11
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu
"Jangan khawatir, Moi-moi. Kalau memang Ibumu dan Suhengmu mendarat tentu kita akan dapat mencari mereka. Tempat yang paling tepat untuk mencari seseorang adalah kota raja.
Memang belum tentu mereka berada di sana, akan tetapi setidaknya, di kota raja merupakan sumber segala keterangan sehingga kita dapat mendengar-dengar kalau-kalau ada berita dari dunia kang-ouw tentang mereka."
Swat Hong menyetujui pendapat ini Memang dia pun bermaksud mengungjungi kota raja, karena bukankah nenek moyangnya dahulunya juga seorang anggauta keluarga raja? Mereka melanjutkan perjalanan dari luar kota Leng-sia-bun.
***
Makin lama melakukan perjalanan bersama Kwee Lun, setelah lewat sebulan kurang lebih, makin sukalah Swat Hong kepada pemuda itu. Dia makin mengenal Kwee Lun, sebagai seorang yang benar-benar jantan, keras hati, teguh dan tidak mempunyai sedikit pun pikiran menyeleweng, suka bergurau, kasar akan tetapi kekasaran yang bukan bersifat kurang ajar melainkan karena terbawa oleh kejujurannya yang wajar dan tak pernah mau menyembunyikan sesuatu. Pendeknya, pemuda itu benar-benar seorang laki-laki yang gagah perkasa lahir batinnya.
Di lain pihak, Kwee Lun juga merasa makin kagum kepada Swat Hong setelah dia mengenal sifat-sifat temannya ini yang amat cerdik, periang, jenaka namun keras hati dan kadang-kadang tampak keagungan sikapnya sebagai seorang puteri kerajaan! Namun dara itu sama sekali tidak angkuh hati sombong, sungguhpun kini dia harus mengakui bahwa ilmu kepandaiannya sedikitnya kalah dua tingkat dibandingkan, dengan dara Pulau Es ini!
Oleh karena inilah maka ada keseganan di dalam hatinya sehingga biarpun dia yang selalu memimpin perjalanan dan menjadi petunjuk jalan, namun dalam segala hal, sampai dalam memilih makanan dan penginapan yang selalu dibayar oleh Kwee Lun, pemuda ini selalu minta pendapat dari keputusan Swat Hong!
Pada suatu hari tibalah kedua orang ini di kaki Pegunungan Tai-hang-san yang amat luas dan memanjang dari selatan ke utara. Tujuan mereka adalah Tiang-an ibw kota kerajaan Tang. Di dusun ini mereka berhenti untuk makan di sebuah warung nasi sederhana. Mereka memesan nasi, mi, dan arak, Kwee Lun minta air hangat untuk Swat Hong agar nona ini dapat mencuci muka setelah melakukan perjalanan yang panas berdebu.
Ketika Swat Hong sedang bercuci muka dengan air hangat, menggosok mukanya dengan air bersih sampai kedua pipinya kemerahan, dia mendengar percakapan menarik dari arah dapur warung itu.
"Bukan main ramainya!" terdengar suara seorang laki-laki, agaknya pekerja di dapur itu. "Lebih ramai daripada kalau melihat dua orang jago silat berkelahi! Bayangkan saja! Harimau mengaum sampai bumi tergetar, lalu menubruk dan mencakar ke arah biruang itu.
Akan tetapi si Biruang juga tidak kalah lihainya, dia menggereng dan aku yakin engkau sendiri tentu akan terkencing-kencing mendengar gerengan itu! Dia dapat menangkis dengan kaki depannya dan balas menggigit. Mereka saling cakar, saling gigit, mula-mula saling menangkis lalu bergumul! Bukan main!"
"Ahhh, sudahlah. Siapa percaya omonganmu? Paling-paling kau melihat orang mengadu jangkerik dan kau kalah bertaruh lagi! Lebih baik lekas masak air, tehnya hampir habis."
Swat Hong cepat menghampiri Kwee Lun dan berbisik, "Agaknya di sini ada jejak Suhengku!"
"Ehhh...?" Kwee Lun bertanya heran.
"Ada orang di dapur tadi bercerita tentang pertandingan antara harimau dan biruang, dan kalau tidak salah perasaan hatiku, itu adalah biruang kepunyaan Suheng."
"Eh? Suhengmu memelihara biruang?" Kwee Lun bertanya makin heran lagi.
"Belum kuceritakan kepadamu, Twako. Ketika aku berpisah dari Suheng, dia sedang mengobati seekor biruang terluka. Tentu biruang itu menjadi jinak dan menjadi binatang peliharaannya."
"Aduh! Suhengmu tentu hebat sekali, berani mengobati seekor biruang!"
"Sudahlah, Twako. Kalau kelak dapat bertemu, engkau dapat berkenalan dengan Suheng sendiri, Sekarang harap kau suka tanyakan kepada pekerja di dapur tentang biruang yang diceritakannya tadi."
"Mengapa tidak panggil saja dia ke sini? Hei, Bung pelayan!" Pelayan itu segera menghampiri. "Tolong kaupanggilkan sahabat yang tadi berbicara tentang biruang, dia bekerja di dapur. Cepat!"
Pelayan itu terheran-heran, akan tetapi dia masuk juga ke dalam dan tak lama kemudian, dia kembali ke situ bersama seorang laki-laki muda yang kelihatan takut-takut. Laki-laki ini kurus kecil dan memakai pakaian koki, agaknya dialah tukang atau pembantu tukang masak di warung itu.
"Saya... saya tidak tahu apa-apa,..." begitu tiba di dekat meja, orang itu berkata. (Bersambung)
"Jangan khawatir, Moi-moi. Kalau memang Ibumu dan Suhengmu mendarat tentu kita akan dapat mencari mereka. Tempat yang paling tepat untuk mencari seseorang adalah kota raja.
Memang belum tentu mereka berada di sana, akan tetapi setidaknya, di kota raja merupakan sumber segala keterangan sehingga kita dapat mendengar-dengar kalau-kalau ada berita dari dunia kang-ouw tentang mereka."
Swat Hong menyetujui pendapat ini Memang dia pun bermaksud mengungjungi kota raja, karena bukankah nenek moyangnya dahulunya juga seorang anggauta keluarga raja? Mereka melanjutkan perjalanan dari luar kota Leng-sia-bun.
***
Makin lama melakukan perjalanan bersama Kwee Lun, setelah lewat sebulan kurang lebih, makin sukalah Swat Hong kepada pemuda itu. Dia makin mengenal Kwee Lun, sebagai seorang yang benar-benar jantan, keras hati, teguh dan tidak mempunyai sedikit pun pikiran menyeleweng, suka bergurau, kasar akan tetapi kekasaran yang bukan bersifat kurang ajar melainkan karena terbawa oleh kejujurannya yang wajar dan tak pernah mau menyembunyikan sesuatu. Pendeknya, pemuda itu benar-benar seorang laki-laki yang gagah perkasa lahir batinnya.
Di lain pihak, Kwee Lun juga merasa makin kagum kepada Swat Hong setelah dia mengenal sifat-sifat temannya ini yang amat cerdik, periang, jenaka namun keras hati dan kadang-kadang tampak keagungan sikapnya sebagai seorang puteri kerajaan! Namun dara itu sama sekali tidak angkuh hati sombong, sungguhpun kini dia harus mengakui bahwa ilmu kepandaiannya sedikitnya kalah dua tingkat dibandingkan, dengan dara Pulau Es ini!
Oleh karena inilah maka ada keseganan di dalam hatinya sehingga biarpun dia yang selalu memimpin perjalanan dan menjadi petunjuk jalan, namun dalam segala hal, sampai dalam memilih makanan dan penginapan yang selalu dibayar oleh Kwee Lun, pemuda ini selalu minta pendapat dari keputusan Swat Hong!
Pada suatu hari tibalah kedua orang ini di kaki Pegunungan Tai-hang-san yang amat luas dan memanjang dari selatan ke utara. Tujuan mereka adalah Tiang-an ibw kota kerajaan Tang. Di dusun ini mereka berhenti untuk makan di sebuah warung nasi sederhana. Mereka memesan nasi, mi, dan arak, Kwee Lun minta air hangat untuk Swat Hong agar nona ini dapat mencuci muka setelah melakukan perjalanan yang panas berdebu.
Ketika Swat Hong sedang bercuci muka dengan air hangat, menggosok mukanya dengan air bersih sampai kedua pipinya kemerahan, dia mendengar percakapan menarik dari arah dapur warung itu.
"Bukan main ramainya!" terdengar suara seorang laki-laki, agaknya pekerja di dapur itu. "Lebih ramai daripada kalau melihat dua orang jago silat berkelahi! Bayangkan saja! Harimau mengaum sampai bumi tergetar, lalu menubruk dan mencakar ke arah biruang itu.
Akan tetapi si Biruang juga tidak kalah lihainya, dia menggereng dan aku yakin engkau sendiri tentu akan terkencing-kencing mendengar gerengan itu! Dia dapat menangkis dengan kaki depannya dan balas menggigit. Mereka saling cakar, saling gigit, mula-mula saling menangkis lalu bergumul! Bukan main!"
"Ahhh, sudahlah. Siapa percaya omonganmu? Paling-paling kau melihat orang mengadu jangkerik dan kau kalah bertaruh lagi! Lebih baik lekas masak air, tehnya hampir habis."
Swat Hong cepat menghampiri Kwee Lun dan berbisik, "Agaknya di sini ada jejak Suhengku!"
"Ehhh...?" Kwee Lun bertanya heran.
"Ada orang di dapur tadi bercerita tentang pertandingan antara harimau dan biruang, dan kalau tidak salah perasaan hatiku, itu adalah biruang kepunyaan Suheng."
"Eh? Suhengmu memelihara biruang?" Kwee Lun bertanya makin heran lagi.
"Belum kuceritakan kepadamu, Twako. Ketika aku berpisah dari Suheng, dia sedang mengobati seekor biruang terluka. Tentu biruang itu menjadi jinak dan menjadi binatang peliharaannya."
"Aduh! Suhengmu tentu hebat sekali, berani mengobati seekor biruang!"
"Sudahlah, Twako. Kalau kelak dapat bertemu, engkau dapat berkenalan dengan Suheng sendiri, Sekarang harap kau suka tanyakan kepada pekerja di dapur tentang biruang yang diceritakannya tadi."
"Mengapa tidak panggil saja dia ke sini? Hei, Bung pelayan!" Pelayan itu segera menghampiri. "Tolong kaupanggilkan sahabat yang tadi berbicara tentang biruang, dia bekerja di dapur. Cepat!"
Pelayan itu terheran-heran, akan tetapi dia masuk juga ke dalam dan tak lama kemudian, dia kembali ke situ bersama seorang laki-laki muda yang kelihatan takut-takut. Laki-laki ini kurus kecil dan memakai pakaian koki, agaknya dialah tukang atau pembantu tukang masak di warung itu.
"Saya... saya tidak tahu apa-apa,..." begitu tiba di dekat meja, orang itu berkata. (Bersambung)
(dwi)