Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 11 Bagian 3
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
Kam Si Ek menjadi pucat mukanya ketika ia menjatuhkan diri di atas kursi dalam kamar mandi memegang surat itu dengan tangan gemetar. Ia tahu bahwa ia telah salah pilih dalam perjodohan, bahwa watak isterinya itu sama sekali berbeda dengan wataknya, berbeda watak berbeda paham, namun sebagai seorang laki-laki ia menerima penderitaan daripada kesalahan ini dengan hati tabah.
Betapapun juga, ia mencinta isterinya itu dan sekarang, melihat kenyataan pahit bahwa isterinya meninggalkannya, hatinya menjadi kosong dan perasaannya perih. Terbayang percekcokan mereka malam tadi ketika Lu Sian untuk kesekian kalinya membujuknya untuk meletakkan jabatan dan meletakkan jabatan dan melakukan perantauan.
"Si Ek!" demikian isterinya berkata marah, isterinya itu sejak menikah menyebut namanya begitu saja. "Kau sendiri bilang bahwa Kerajaan Tang Muda ini tidaklah sama dengan Kerajaan Tang yang telah roboh, bahwa kerajaan ini menjadi sarang koruptor dan medan perebutan kekuasaan. Apalagi rajanya mengandalkan bimbingan seorang kejam dan jahat seperti Kong Lo Sengjin, mengapa kau masih mau diperkuda oleh pemerintah macam itu?"
"Lu Sian, isteriku, jangan kau salah mengerti. Aku sama sekali bukan menghambakan diriku kepada orang-orang tertentu, melainkan kepada negara dan bangsaku. Itulah sebabnya mengapa aku bisa mengatakan bahwa Kerajaan Tang Muda ini tetap bukan pemerintahan yang baik, dan sesungguhnya aku sama sekali tidak ikut-ikut dengan kelaliman mereka, aku bertugas menjaga keamanan di perbatasan barat untuk menghalau musuh dari luar yang hendak mengganggu wilayah kita, bertugas mengamankan keadaan daerah ini dari gangguan orang-orang jahat."
"Apa bedanya?" Lu Sian panas dan mukanya merah menambah kecantikannya, "Kaukurung dirimu dengan tugas, dan kaukurung diriku pula dengan kekukuhanmu, Si Ek, kenapa kau tidak mau menerima permintaanku? Ah, kiranya cintamu terhadapku sudah mulai luntur!" Lu Sian bersungut-sungut, akan tetapi tidak seperti kebiasaan kaum wanita kalau bertengkar, dia tidak menangis.
"Lu Sian, mengapa kau selalu berpemandangan sempit terhadap hubungan suami isteri? Ketahuilah, isteriku. Cinta kasih antar suami isteri haruslah lebih masak, tidak seperti cinta kasih muda-mudi yang belum terikat oleh pernikahan. Cinta muda-mudi masih mentah, hanya terdorong rasa saling suka dan mabuk oleh daya tarik masing-masing. Akan tetapi, cinta kasih suami istri lebih mendalam, lebih matang dan libat-melibat dengan kewajiban, saling berkorban dan mengurangi pementingan diri sendiri. Sekarang ini, aku menjalankan kewajibanku sebagai suami dan ayah, juga sebagai seorang patriot, kau tingal di sisiku melaksanakan kewajiban sebagai isteri dan ibu, apalagi kekurangannya? Kalau kau ajak aku dan anak kita pergi merantau, bukankah itu berarti kita sama-sama melarikan diri dari pada kewajiban? Bagaimana pula dengan pendidikan Bu Song? Kau tahu sendiri, anak kita itu maju sekali dalam ilmu surat."
Lu Sian menggebrak meja dengan tangannya sehingga ujung meja tebal itu menjadi somplak! "Cukup! Bosan aku mendengar kuliahmu! Kalau aku tahu bahwa cintamu terhadapku hanya unutk membuat aku hanya untuk membuat aku terikat kewajiban-kewajiban, tak sudi aku!" Sambil berkata demikian Lu Sian lari memasuki kamar dan membanting pintu keras-keras.
Kam Si Ek berdiri tercengang dan terpaku memandang meja, berulang kali menarik napas panjang, kemudian ia pun memasuki kamar lain karena tidak mau membuat isterinya makin marah. Ia tahu bahwa kalau sedang marah begitu, isterinya sama sekali tidak suka didekatinya. Di dalam kamar, Kam Si Ek duduk termenung sampai akhirnya ia tertidur dengan duduk, mukanya disembunyikan di atas kedua lengan.
Dan pada pagi harinya, baru ia tahu bahwa isterinya telah pergi meninggalkannya, meninggalkan putera mereka, dan ia yang sudah mengenal baik watak isterinya, tahu pula bahwa percuma saja kalau ia mengejar, percuma pula kalau ia menanti. Isterinya tidak akan mau kembali, karena watak isterinya itu, sekali mengeluarkan kata-kata, akan dipegangnya sampai mati!
Baru tujuh tahun mereka menikah. Ia baru berusia dua puluh sembilan tahun. Lu Sian baru berusia dua puluh lima! Mereka berdua masih muda dan harus sudah berpisah. Kam Si Ek merasa betapa berat derita hidup yang dialaminya. Apalagi kalau Bu Song, puteranya yang baru berusia enam tahun itu bertanya tentang ibunya, serasa dicabik-cabik hatinya. Puteranya itu cerdik sekali dan agaknya puteranya yang berusia enam tahun itu sudah dapat menduga apa yang terjadi antara ayah dan bundanya.
"Apakah ibu nakal dan ayah mengusirnya? Apakah kesalahan ibu?" berkali-kali Bu Song bertanya, dan selalu Kam Si Ek menjawab bahwa ibunya sedang pergi ke selatan, menengok kakeknya yang sedang menjadi ketua Beng-kauw di Nan-cao. Bu Song tidak menangis, hanya menyatakan heran dan tidak percaya mengapa ibunya pergi begitu saja tanpa pamit kepadanya, pergi tidak mengajak ayahnya ataupun dia.
Ketika anak itu mendesak-desaknya, Kam Si Ek yang sedang pusing dan duka itu, membentaknya dengan keras dan sejak itu Bu Song tidak mau bertanya lagi tentang ibunya, akan tetapi diam-diam anak ini hatinya penuh pertanyaan dan menduga-duga siapa yang bersalah antara ayah dan ibunya. Ia sudah terlalu sering mendengar ayah dan ibunya bercekcok, ia tahu bahwa mereka bertengkar akan tetapi tidak tahu apa urusannya dan tidak tahu pula siapakah sebetulnya yang salah diantara mereka. (Bersambung)
Kam Si Ek menjadi pucat mukanya ketika ia menjatuhkan diri di atas kursi dalam kamar mandi memegang surat itu dengan tangan gemetar. Ia tahu bahwa ia telah salah pilih dalam perjodohan, bahwa watak isterinya itu sama sekali berbeda dengan wataknya, berbeda watak berbeda paham, namun sebagai seorang laki-laki ia menerima penderitaan daripada kesalahan ini dengan hati tabah.
Betapapun juga, ia mencinta isterinya itu dan sekarang, melihat kenyataan pahit bahwa isterinya meninggalkannya, hatinya menjadi kosong dan perasaannya perih. Terbayang percekcokan mereka malam tadi ketika Lu Sian untuk kesekian kalinya membujuknya untuk meletakkan jabatan dan meletakkan jabatan dan melakukan perantauan.
"Si Ek!" demikian isterinya berkata marah, isterinya itu sejak menikah menyebut namanya begitu saja. "Kau sendiri bilang bahwa Kerajaan Tang Muda ini tidaklah sama dengan Kerajaan Tang yang telah roboh, bahwa kerajaan ini menjadi sarang koruptor dan medan perebutan kekuasaan. Apalagi rajanya mengandalkan bimbingan seorang kejam dan jahat seperti Kong Lo Sengjin, mengapa kau masih mau diperkuda oleh pemerintah macam itu?"
"Lu Sian, isteriku, jangan kau salah mengerti. Aku sama sekali bukan menghambakan diriku kepada orang-orang tertentu, melainkan kepada negara dan bangsaku. Itulah sebabnya mengapa aku bisa mengatakan bahwa Kerajaan Tang Muda ini tetap bukan pemerintahan yang baik, dan sesungguhnya aku sama sekali tidak ikut-ikut dengan kelaliman mereka, aku bertugas menjaga keamanan di perbatasan barat untuk menghalau musuh dari luar yang hendak mengganggu wilayah kita, bertugas mengamankan keadaan daerah ini dari gangguan orang-orang jahat."
"Apa bedanya?" Lu Sian panas dan mukanya merah menambah kecantikannya, "Kaukurung dirimu dengan tugas, dan kaukurung diriku pula dengan kekukuhanmu, Si Ek, kenapa kau tidak mau menerima permintaanku? Ah, kiranya cintamu terhadapku sudah mulai luntur!" Lu Sian bersungut-sungut, akan tetapi tidak seperti kebiasaan kaum wanita kalau bertengkar, dia tidak menangis.
"Lu Sian, mengapa kau selalu berpemandangan sempit terhadap hubungan suami isteri? Ketahuilah, isteriku. Cinta kasih antar suami isteri haruslah lebih masak, tidak seperti cinta kasih muda-mudi yang belum terikat oleh pernikahan. Cinta muda-mudi masih mentah, hanya terdorong rasa saling suka dan mabuk oleh daya tarik masing-masing. Akan tetapi, cinta kasih suami istri lebih mendalam, lebih matang dan libat-melibat dengan kewajiban, saling berkorban dan mengurangi pementingan diri sendiri. Sekarang ini, aku menjalankan kewajibanku sebagai suami dan ayah, juga sebagai seorang patriot, kau tingal di sisiku melaksanakan kewajiban sebagai isteri dan ibu, apalagi kekurangannya? Kalau kau ajak aku dan anak kita pergi merantau, bukankah itu berarti kita sama-sama melarikan diri dari pada kewajiban? Bagaimana pula dengan pendidikan Bu Song? Kau tahu sendiri, anak kita itu maju sekali dalam ilmu surat."
Lu Sian menggebrak meja dengan tangannya sehingga ujung meja tebal itu menjadi somplak! "Cukup! Bosan aku mendengar kuliahmu! Kalau aku tahu bahwa cintamu terhadapku hanya unutk membuat aku hanya untuk membuat aku terikat kewajiban-kewajiban, tak sudi aku!" Sambil berkata demikian Lu Sian lari memasuki kamar dan membanting pintu keras-keras.
Kam Si Ek berdiri tercengang dan terpaku memandang meja, berulang kali menarik napas panjang, kemudian ia pun memasuki kamar lain karena tidak mau membuat isterinya makin marah. Ia tahu bahwa kalau sedang marah begitu, isterinya sama sekali tidak suka didekatinya. Di dalam kamar, Kam Si Ek duduk termenung sampai akhirnya ia tertidur dengan duduk, mukanya disembunyikan di atas kedua lengan.
Dan pada pagi harinya, baru ia tahu bahwa isterinya telah pergi meninggalkannya, meninggalkan putera mereka, dan ia yang sudah mengenal baik watak isterinya, tahu pula bahwa percuma saja kalau ia mengejar, percuma pula kalau ia menanti. Isterinya tidak akan mau kembali, karena watak isterinya itu, sekali mengeluarkan kata-kata, akan dipegangnya sampai mati!
Baru tujuh tahun mereka menikah. Ia baru berusia dua puluh sembilan tahun. Lu Sian baru berusia dua puluh lima! Mereka berdua masih muda dan harus sudah berpisah. Kam Si Ek merasa betapa berat derita hidup yang dialaminya. Apalagi kalau Bu Song, puteranya yang baru berusia enam tahun itu bertanya tentang ibunya, serasa dicabik-cabik hatinya. Puteranya itu cerdik sekali dan agaknya puteranya yang berusia enam tahun itu sudah dapat menduga apa yang terjadi antara ayah dan bundanya.
"Apakah ibu nakal dan ayah mengusirnya? Apakah kesalahan ibu?" berkali-kali Bu Song bertanya, dan selalu Kam Si Ek menjawab bahwa ibunya sedang pergi ke selatan, menengok kakeknya yang sedang menjadi ketua Beng-kauw di Nan-cao. Bu Song tidak menangis, hanya menyatakan heran dan tidak percaya mengapa ibunya pergi begitu saja tanpa pamit kepadanya, pergi tidak mengajak ayahnya ataupun dia.
Ketika anak itu mendesak-desaknya, Kam Si Ek yang sedang pusing dan duka itu, membentaknya dengan keras dan sejak itu Bu Song tidak mau bertanya lagi tentang ibunya, akan tetapi diam-diam anak ini hatinya penuh pertanyaan dan menduga-duga siapa yang bersalah antara ayah dan ibunya. Ia sudah terlalu sering mendengar ayah dan ibunya bercekcok, ia tahu bahwa mereka bertengkar akan tetapi tidak tahu apa urusannya dan tidak tahu pula siapakah sebetulnya yang salah diantara mereka. (Bersambung)
(dwi)