Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 15 Bagian 4
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
"Tujuh batang jarum merah!" Katanya dengan suara menggetar melihat betapa kulit di sekitar jarum-jarum itu mulai berwarna merah kebiruan, tanda keracunan hebat.
"Lekas cabut dan berikan jarum-jarumnya kepadaku!" karena ingin sekali menolong sedangkan dia sendiri memang tidak mengerti tentang senjata beracun, Tan hui memenuhi permintaan ini dengan cepat. Ketika tujuh batang jarum-jarum merah itu tercabut dan disimpan oleh Lu Sian yang memeriksa sebentar, tampak bekas tusukan jarum-jarum itu merupakan tujuh bintik-bintik merah. Lu Sian merogoh saku mengeluarkan dua batang jarum perak, memberikan jarum-jarum itu kepada Tan Hui.
"Tan-koko, kaucari lilin dan nyalakan lilin itu. Kemudian kaubakarlah ujung kedua jarum itu sebentar. Cepat, Koko. Racun ini sekali memasuki jantungku, nyawaku takkan bertahan sampai dua hari lagi!"
Mendengar ini bukan main kagetnya hati Tan Hui. Ia cepat mencari dan akhirnya datang kembali ke dalam kamar membawa lilin yang dinyalakan. Kemudian, sesuai dengan petunjuk Lu Sian, ia membakar ujung kedua jarum.
"Sekarang kautusuklah tepat di kedua jalan darah kian-ceng-hiat dengan jarum-jarum itu, Koko, diamkan sebentar lalu kautusukkan pada jalan darah hong-hu-hiat."
Jari-jari tangan Tan Hui gemetar ketika tangannya memegangi dua jarum perak, keningnya berkerut. Bermacam perasaan menggelora di dalam dadanya. Perasaan gelisah kalau-kalau Lu Sian takkan sembuh dan juga perasaan tidak karuan yang ditimbulkan oleh penglihatan di depannya! Lu Sian begitu bebas! Wanita ini seakan-akan menganggapnya bukan orang lain. Tidak sungkan-sungkan dan tidak malu-malu membuka robekan baju itu lebih besar lagi ketika ia menyuruh Tan Hui menusuk jalan darah di bawah pangkal lengan.
Biarpun dia merasa mulai lega hatinya karena kini di sekitar bintik-bintik merah itu tidak kelihatan biru lagi, namun setiap kali menusukkan jarum dan ujung jarinya menyentuh kulit punggung atau kulit lambung, Tan Hui menggigil dan terpaksa meramkan kedua matanya.
"Koko, kau kenapakah.......?" pertanyaan dengan suara halus merdu ini membuat Tan Hui sadar. Ia membuka matanya dan merahlah kedua pipinya ketika ia melihat betapa Lu Sian kini sudah duduk di depannya dan memandangnya dengan sepasang mata menyatakan kemakluman hati akan keadaannya!
"Aku... aku... ah, aku, telah berdosa besar terhadapmu, Moi-moi. Betapa aku berani berlancang tangan, menghadapimu, dalam keadaan begini."
Lu Sian meraih dan memegang lengan Tan Hui. "Aiih, mengapa kau bilang begitu? Koko, kau telah mengobatiku, mengapa lancang? Tentang keadaan kita seperti ini, apa salahnya? Bersamamu aku tidak merasa malu. Tan Hui Koko, bukankah...... bukankah kau suka pula kepadaku seperti aku kagum dan suka kepadamu?"
Tan Hui menelan ludah. Bukan main wanita ini. Cantik jelita sukar dicari keduanya, berilmu tinggi pula. Laki-laki mana di dunia ini yang takkan tergila-gila? Apakah dia suka kepada Lu Sian? Pertanyaan gila! "Moi-moi, tentu saja aku suka kepadamu, aku kagum kepadamu. Akan tetapi ketahuilah, Sian-moi, aku hanya seorang duda yang sama sekali tidak cukup berharga untukmu dan...." Tiba-tiba Lu Sian menutupkan jari-jari tangannya yang kecil dan berkulit halus itu di depan mulut Tan hui, mencegahnya bicara lebih lanjut.
Betapapun hebatnya seseorang, sudah tentu sekali ada kelemahannya. Dan bagi pria, biasanya takkan kuat menghadapi rayuan wanita, betapa kuat pun si pria itu. Bujuk rayu seorang wanita cantik lebih dahsyat daripada gerak kilat ratusan anak panah atau ribuan mata pedang! Tan Hui adalah seorang pendekar yang memiliki nama besar. Nama julukan Hui-kiam-eng bukanlah nama kosong belaka. Ia merupakan seorang pendekar penegak keadilan dan kebenaran, penentang kejahatan, ditakuti lawan disegani kawan.
Namun ia seorang laki-laki juga, malah ditinggalkan isterinya, seorang laki-laki yang haus akan cinta kasih, yang haus akan kehadiran wanita di dekatnya. Kalau saja ia tidak kematian isterinya, belum tentu ada wanita betapapun cantiknya akan dapat berhasil menggodanya. Akan tetapi kini keadaannya lain. Ia kehilangan isterinya, sedang haus akan cinta.
Celakanya, ia berjumpa dengan seorang wanita seperti Lu Sian, seorang wanita yang hebat, cantik jelita, apalagi yang sudah menolong puterinya dengan pengorbanan. Wanita muda yang bajunya robek terbuka bagian punggung sampai hampir membuka dadanya, yang memegang tangannya, yang memandangnya dengan sinar mata mesra dan bibir tersenyum menantang. Herankah kita kalau kemudian Tan Hui terjungkal pertahanan batinnya dan tergila-gila membiarkan diri menjadi hamba nafsu asmara? Begitu tergila-gila pendekar ini sampai ia lupa bahwa perbuatannya ini adalah sebuah pelanggaran besar bagi seorang satria, bagi seorang pendekar! (Bersambung)
"Tujuh batang jarum merah!" Katanya dengan suara menggetar melihat betapa kulit di sekitar jarum-jarum itu mulai berwarna merah kebiruan, tanda keracunan hebat.
"Lekas cabut dan berikan jarum-jarumnya kepadaku!" karena ingin sekali menolong sedangkan dia sendiri memang tidak mengerti tentang senjata beracun, Tan hui memenuhi permintaan ini dengan cepat. Ketika tujuh batang jarum-jarum merah itu tercabut dan disimpan oleh Lu Sian yang memeriksa sebentar, tampak bekas tusukan jarum-jarum itu merupakan tujuh bintik-bintik merah. Lu Sian merogoh saku mengeluarkan dua batang jarum perak, memberikan jarum-jarum itu kepada Tan Hui.
"Tan-koko, kaucari lilin dan nyalakan lilin itu. Kemudian kaubakarlah ujung kedua jarum itu sebentar. Cepat, Koko. Racun ini sekali memasuki jantungku, nyawaku takkan bertahan sampai dua hari lagi!"
Mendengar ini bukan main kagetnya hati Tan Hui. Ia cepat mencari dan akhirnya datang kembali ke dalam kamar membawa lilin yang dinyalakan. Kemudian, sesuai dengan petunjuk Lu Sian, ia membakar ujung kedua jarum.
"Sekarang kautusuklah tepat di kedua jalan darah kian-ceng-hiat dengan jarum-jarum itu, Koko, diamkan sebentar lalu kautusukkan pada jalan darah hong-hu-hiat."
Jari-jari tangan Tan Hui gemetar ketika tangannya memegangi dua jarum perak, keningnya berkerut. Bermacam perasaan menggelora di dalam dadanya. Perasaan gelisah kalau-kalau Lu Sian takkan sembuh dan juga perasaan tidak karuan yang ditimbulkan oleh penglihatan di depannya! Lu Sian begitu bebas! Wanita ini seakan-akan menganggapnya bukan orang lain. Tidak sungkan-sungkan dan tidak malu-malu membuka robekan baju itu lebih besar lagi ketika ia menyuruh Tan Hui menusuk jalan darah di bawah pangkal lengan.
Biarpun dia merasa mulai lega hatinya karena kini di sekitar bintik-bintik merah itu tidak kelihatan biru lagi, namun setiap kali menusukkan jarum dan ujung jarinya menyentuh kulit punggung atau kulit lambung, Tan Hui menggigil dan terpaksa meramkan kedua matanya.
"Koko, kau kenapakah.......?" pertanyaan dengan suara halus merdu ini membuat Tan Hui sadar. Ia membuka matanya dan merahlah kedua pipinya ketika ia melihat betapa Lu Sian kini sudah duduk di depannya dan memandangnya dengan sepasang mata menyatakan kemakluman hati akan keadaannya!
"Aku... aku... ah, aku, telah berdosa besar terhadapmu, Moi-moi. Betapa aku berani berlancang tangan, menghadapimu, dalam keadaan begini."
Lu Sian meraih dan memegang lengan Tan Hui. "Aiih, mengapa kau bilang begitu? Koko, kau telah mengobatiku, mengapa lancang? Tentang keadaan kita seperti ini, apa salahnya? Bersamamu aku tidak merasa malu. Tan Hui Koko, bukankah...... bukankah kau suka pula kepadaku seperti aku kagum dan suka kepadamu?"
Tan Hui menelan ludah. Bukan main wanita ini. Cantik jelita sukar dicari keduanya, berilmu tinggi pula. Laki-laki mana di dunia ini yang takkan tergila-gila? Apakah dia suka kepada Lu Sian? Pertanyaan gila! "Moi-moi, tentu saja aku suka kepadamu, aku kagum kepadamu. Akan tetapi ketahuilah, Sian-moi, aku hanya seorang duda yang sama sekali tidak cukup berharga untukmu dan...." Tiba-tiba Lu Sian menutupkan jari-jari tangannya yang kecil dan berkulit halus itu di depan mulut Tan hui, mencegahnya bicara lebih lanjut.
Betapapun hebatnya seseorang, sudah tentu sekali ada kelemahannya. Dan bagi pria, biasanya takkan kuat menghadapi rayuan wanita, betapa kuat pun si pria itu. Bujuk rayu seorang wanita cantik lebih dahsyat daripada gerak kilat ratusan anak panah atau ribuan mata pedang! Tan Hui adalah seorang pendekar yang memiliki nama besar. Nama julukan Hui-kiam-eng bukanlah nama kosong belaka. Ia merupakan seorang pendekar penegak keadilan dan kebenaran, penentang kejahatan, ditakuti lawan disegani kawan.
Namun ia seorang laki-laki juga, malah ditinggalkan isterinya, seorang laki-laki yang haus akan cinta kasih, yang haus akan kehadiran wanita di dekatnya. Kalau saja ia tidak kematian isterinya, belum tentu ada wanita betapapun cantiknya akan dapat berhasil menggodanya. Akan tetapi kini keadaannya lain. Ia kehilangan isterinya, sedang haus akan cinta.
Celakanya, ia berjumpa dengan seorang wanita seperti Lu Sian, seorang wanita yang hebat, cantik jelita, apalagi yang sudah menolong puterinya dengan pengorbanan. Wanita muda yang bajunya robek terbuka bagian punggung sampai hampir membuka dadanya, yang memegang tangannya, yang memandangnya dengan sinar mata mesra dan bibir tersenyum menantang. Herankah kita kalau kemudian Tan Hui terjungkal pertahanan batinnya dan tergila-gila membiarkan diri menjadi hamba nafsu asmara? Begitu tergila-gila pendekar ini sampai ia lupa bahwa perbuatannya ini adalah sebuah pelanggaran besar bagi seorang satria, bagi seorang pendekar! (Bersambung)
(dwi)