Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 9 Bagian 1

Senin, 31 Juli 2017 - 06:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Suling...
Suling Emas, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Suling Emas

KAKEK itu bermalam di sebuah gubuk rusak di pinggir sawah, dilayani oleh kedua orang pemikulnya. Betapa herannya hati Lu Sian ketika kakek itu mengeluarkan sekantung uang emas, memberikan kepada kedua pemikulnya sambil berpesan agar besok kedua orang itu mencarikan sebuah kereta dan kuda yang baik untuknya.

"Aku hendak melakukan perjalanan jauh ke selatan, kalian mana kuat memikul aku terus?" demikian katanya dengan suara perlahan akan tetapi berpengaruh sedangkan kalimatnya teratur baik seperti ucapan seorang pembesar atau bangsawan. Dua orang pemikul itu tidak banyak cakap, akan tetapi meraka itu memperlihatkan sikap menghormat sekali, menyanggupi dan menyebut paduka kepada kakek itu, kadang-kadang menyebut Ong-ya atau Taijin.

Malam itu bulan bersinar penuh, Lu Sian masih mengintai di sekitar tempat itu ketika ia malihat berkelebatnya bayangan yang gerakannya cepat bukan main. Tahu-tahu bayangan itu sudah tiba di depan gubuk dimana Si Kakek Lumpuh berada, dan terdengar suara erang laki-laki yang parau tetapi nyaring.

"Hee, Couw Pa Ong! Kau terkenal dengan julukan Sin-jiu (Tangan Sakti), apakah tangan saktimu itu hanya untuk membunuhi rakyat tidak berdosa? Sin-jiu Couw Pa Ong, kalau ada kepandaian, keluarlah!"

Terdengar suara tertawa mengejek dari dalam gubuk. Couw Pa Ong Si Raja Muda sudah lenyap bersama lenyapnya Kerajaan Tang yang besar! Akan tetapi aku Si Tua Bangka Kong Lo Sengjin akan membunuh setiap orang yang tidak setia kepada Dinasti Tang. Orang usilan, kau siapa?"

Orang di luar itu tertawa juga, "Ha-ha-ha, Couw Pa Ong! Setelah kau kalah dan remuk kedua kakimu, kau merasa malu dengan kekelahanmu sehingga kau mengganti nama? Ha-ha-ha, sungguh lucu! Biarpun mengganti nama seribu kali, siapa tidak akan mengenal Sin-jiu Couw Pa Ong yang besar namanya akan tetapi kini sudah bangkrut dan lumpuh? Pinceng Houw Hwat Hwesio dari Siauw-lim-si, tidak akan mendiamkan saja melihat kau bertindak sewenang-wenang!"

Dari dalam gubuk terdengar suara meludah. "Cuhhh! Segala macam pendeta! Kau selalu hanya membantu yang

menang, untuk yang kuat memberi sumbangan, untuk orang-orang kaya dan orang-orang segolongan. He, pendeta tengik! Selama kau menjadi pendeta pernahkah kau berdoa untuk si miskin jembel kelaparan? Pernahkah kau berdoa untuk si jahat agar kembali ke jalan yang benar? Pernah kau membantu untuk pelaksanaan doa-doamu dengan perbuatan nyata? Apa jasamu untuk negara dan bangsa? Apakah orang-orang menjadi baik setelah kau setiap hari bersembahyang?"

"Cukup! Kau bekas raja muda memang terkenal jahat, tidak mengenal Thian!" Si Hwesio marah, memutar toya (tongkat panjang) dan mendekati pintu gubuk.

"Ha-ha-ha-ha! Apakah tandanya orang mengenal Tuhan? Hanya karena gerak bibir dan goyang lidah cukup menjadi tanda mengenal Tuhan? Dengar, pendeta tengik, orang bisa saja mengenal Tuhan tanpa mempedulikan perilaku kebajikan, akan tetapi tak mungkin orang mengabdi kebajikan tanpa mengenal Tuhan! Perbuatan nyata yang menjadi ukuran, bukan gerak bibir dan goyang lidah!"

"Apa perbuatanmu baik? Ihhh, manusia yang sudah gelap hatinya! Kalau pinceng (aku) tidak turun tangan menghukummu mewakili Thian, kau tentu akan makin merajalela!" Setelah berkata demikian, hwesio itu berkelebat memasuki pintu gubuk.

Liu Lu Sian memandang penuh perhatian. Gerakan hwesio cukup hebat dan ia pikir tentu kakek lumpuh itu akan menghadapi lawan tangguh. Akan tetapi setelah hwesio itu menerobos masuk, ia hanya mendengar suara ketawa Si Kakek Lumpuh, dibarengi suara "krakkk!" dan disusul melayangnya tubuh hwesio itu keluar gubuk bersama toyanya yang sudah patah-patah menjadi tiga potong! Akan tetapi hwesio itu bukan terlempar melainkan melompat keluar. Agaknya ia gentar dan juga marah.

"Couw Pa Ong orang buronan (pelarian)! Pinceng datang memang bukan untuk melawanmu seorang diri, akan tetapi hendak menyampaikan tantangan! Kalau memang gagah, datanglah di tepi sungai, kami Wei-ho Si-eng (Empat Orang Gagah Sungai Wei-ho) menantimu malam ini juga!"

"Ha-ha-ha! Aku Kong Lo Sengjin mana kenal segala cacing tanah yang bernama Wei-ho Si-eng segala? Akan tetapi jangan kira karena kedua kakiku lumpuh, kalian empat ekor cacing tanah dapat menghinaku. Kalian tentulah empat orang pengkhianat dan penjilat Kerajaan Liang, harus kubunuh. Kautunggulah, sekarang juga aku datang memenuhi tantanganmu!" (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0429 seconds (0.1#10.140)