Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 12 Bagian 2

Selasa, 29 Agustus 2017 - 18:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Suling...
Suling Emas, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Suling Emas

Cara seperti ini memang amat populer di antara orang-orang Khitan dan boleh dibilang setiap prajurit mempelajarinya, walaupun tidak banyak berhasil baik karena cara ini hanya dapat menyelamatkan diri dalam keadaan darurat saja. Dalam keadaan darurat saja.

Dalam keadaan perang sungguh-sungguh, cara ini malah kurang tepat karena biarpun tubuh sendiri tidak terkena anak panah, kalau kudanya yang terkena dan roboh, bukankah penunggangnya akan tergencet dan memudahkan musuh untuk membunuhnya? Betapapun juga, cara lain tidak ada dan kini menyaksikan dua orang muda itu memasuki barisan panah, tentu saja para penonton, termasuk raja sendiri dan juga puteri mahkota, memandang penuh perhatian dan ketegangan.

Ketika kudanya telah memasuki barisan anak panah, begitu terdengar menjepret dan anak panah menyambar-nyambar, sekali menggentakkan tubuhnya, Salinga telah meloncat dan berdiri di atas punggung kudanya, berdiri sambil menekuk lutut membuat tubuhnya sependek mungkin, hampir berjongkok.

Dengan begini, anak panah menyambar ke arahnya ke seluruh bagian tubuh dari kepala sampai ke kaki! Karena para pemanah itu memang diperintahkan untuk memanah Si Penunggang Kuda dan sama sekali tidak boleh memanah kudanya. Begitu puluhan batang anak panah itu sudah menyambar dekat, tiba-tiba Salinga berseru keras dan tubuhnya mencelat ke atas dalam keadaan masih seperti berjongkok. Kudanya lari ke depan, akan tetapi karena Salinga juga mencelat ke depan, ketika ia turun lagi, tepat kakinya tiba di atas pelana kudanya. Kembali anak panah menyambar, akan tetapi kembali tubuh Salinga mencelat ke atas dan demikianlah secara bertubi-tubi anak panah itu dapat dielakkan sambil meloncat ke atas dengan gerakan yang tangkas sekali!

Sorak-sorai menyambut cara menghindarkan anak-anak panah ini, cara yang dianggap lebih tangkas dan lebih berani daripada cara bersembunyi di perut kuda, akan tetapi sudah tentu saja merupakan cara yang lebih sukar, yang hanya dapat dipelajari orang-orang pandai. Tiba-tiba sorak-sorai lebih menggegap-gempita ketika Bayisan dengan tenangnya memasuki barisan anak panah bersama kudanya yang ia jalankan seenaknya saja. Anak panah menyambar bagaikan hujan ke arahnya, namun panglima muda ini sama sekali tidak membuat gerakan mengelak.

Semua orang termasuk raja kaget karena bagaimana orang itu begitu enak-enakan sedangkan puluhan anak panah menyambar dengan cepat ke arahnya? Akan tetapi tiba-tiba Bayisan menggunakan cambuk di tangan kanan yang diputar-putar cepat sekali, menangkis semua anak panah yang runtuh ke kanan kiri begitu terkena sambaran cambuk yang diputar. Tangan kirinya juga ikut membantu, begitu lengan baju yang kiri menyampok, anak panah menyeleweng atau terpental kembali Kwee Seng diam-diam memuji. Kiranya Bayisan sudah banyak maju dan kalau dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu.

"Ah, bau...! Tengik dan kecut! Jembel busuk tak pernah mandi!" Terdengar makian perlahan di sebelah atas Kwee Seng. Mendengar makian ini, Kwee Seng mengerutkan kening. Kurang ajar, pikirnya. Kiranya yang dimaki bau tengik dan kecut adalah dia! Dengan hati mendongkol Kwee Seng berdongak, memandang kakek itu yang juga memandang kepadanya sambil menutup lubang hidung dengan telunjuk dan ibu jari yang menjepit hidung.

"Heh-heh, kakek cebol. Bau tengik dan kecut itu datangnya dari jenggot dan kumismu. Coba kau cukur bersih cambang baukmu, tentu lenyap bau tak enak itu, heh-heh-heh!"

Mendengar ini, kakek itu melepaskan dekapan pada hidungnya, lalu tangannya menyambar jenggot dan kumisnya yang panjang, dibawa dekat-dekat ke ujung hidung lalu ia mendengus-dengus dan mencium-cium. Mendadak ia berbangkis dua kali.

"Haching! Haching! Apek... apek! Wah, jembel busuk, kau berani mempermainkan aku, hah? Burung setan, kau wakili aku pancal hidungnya sampai keluar kecap dan tampar kedua pipinya sampai bengkak-bengkak!" Kakek itu berkata perlahan.

Kwee Seng memang sudah siap sedia menghadapi segala kemungkinan, karena orang takkan dapat menduga apa yang akan dilakukan seorang kakek aneh seperti itu, akan tetapi ia kaget juga ketika tiba-tiba sesosok sinar abu-abu menyambar ke arah mukanya, kiranya burung hantu itu telah menyerang dengan gerakan terbang yang sama sekali tidak menimbulkan bunyi, tahu-tahu burung itu telah menggunakan paruhnya untuk mematuk hidungnya, disusul tamparan dengan kedua sayap burung itu ke arah kedua pipinya! Serangan yang hebat sekali, lebih hebat daripada sambaran anak-anak panah yang betapa laju pun. (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0451 seconds (0.1#10.140)