Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 18 Bagian 10
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
"Wuttt... syuuuutttt! Tringgg...!!" Kim-mo Taisu yang melihat datangnya golok berkelebat, tidak mengelak malah menggerakkan tangannya, dengan jari tengah tangan kanan ia menyentil golok lawan yang sedang terbang mengarah lehernya itu. Hebatlah tenaga sentilan dari Kim-mo Taisu ini, karena hampir saja golok itu terlepas dari pegangan Si Muka Bopeng, bahkan raja gunung itu terhuyung-huyung hampir roboh!
Marahlah Si Raja Laut melihat kawannya mendapat malu. Senjatanya ekor ikan pee yang menyeramkan itu melecut di udara, mengeluarkan bunyi "swing-swing-swing...!" dan berkelebatan diputar-putar di atas kepalanya lalu menyambar bertubi-tubi ke arah Kim-mo Taisu. Pendekar sakti ini tidak berani bertindak sembrono. Ia belum tahu bagaimana sifat senjata lawan yang aneh ini, maka beberapa kali mengelak. Gerakannya perlahan dan lambat saja, akan tetapi tak pernah senjata ekor ikan pee itu dapat menyentuh kulitnya.
Setelah mempergunakan hidungnya mencium-cium dikala senjata itu lewat, Kim-mo Taisu yakin bahwa senjata ini hanya mengerikan tampaknya, akan tetapi tidak mengandung racun berbahaya, maka sambil mengelak daripada tusukan golok Si Raja Gunung yang sudah mengeroyoknya, Kim-mo Taisu menyambar ekor ikan pee itu dan menjepit ujungnya dengan dua jari tangan kiri! Ia menggunakan tenaga membetot sehingga ekor ikan pee itu menegang, kemudian pada saat Si Raja Gunung Hwa-bin-liong dengan girang menyerangnya dari belakang, tiba-tiba ia mengerahkan tenaga betotan dan... melayanglah cambuk ekor ikan pee itu kearah penyerang di belakangnya. Hwa-bin-liong berteriak kesakitan, Kim-mo Taisu cepat membalik, sekali merenggut ia berhasil menyambar golok lawan yang terluka itu dan di lain saat golok itu sudah terbang dan menancap pada paha raja laut yang masih terlongong karena senjatanya tadi kena dirampas lawan. Ia terguling dalam saat hampir berbareng dengan raja gunung, masing-masing terluka oleh senjata kawan sendiri. Luka yang tidak membahayakan keselamatan nyawa, namun cukup hebat untuk membuat mereka tak mampu bertempur lagi dan harus beristirahat untuk beberapa pekan!
Tanpa mempedulikan lagi mereka berdua yang kini merangkak-rangkak menjauhkan diri dari itu, Kim-mo Taisu menghampiri Pouw-kai-ong, memandang tajam dan berkata, "Sudah kukatakan bahwa aku tidak mempunyai urusan dengan segala rampok dan bajak. Mengapa kau mendatangkan penjahat-penjahat macam begitu untuk menggangu pertemuan kita? Segala macam penjahat kecil yang tidak ada artinya, memuakkan saja!"
Pouw Kee Lui tersenyum menyeringai. "Kim-mo Taisu, jangan buru-buru merasa tekebur dan bangga. Masih ada beberapa orang sahabat yang ingin sekali bertemu denganmu." Setelah berkata demikian, Pouw Kee Lui lalu membalikkan tubuh, menjura dan memberi hormat sambil berkata, "Cu-wi Locianpwe, harap sudi memperlihatkan diri!"
Dari balik pohon dan batu besar bermunculan beberapa orang dan dapat dibayangan betapa heran dan kagetnya hati Kim-mo Taisu melihat mereka. Di antaranya banyak yang ia kenal sebagai tokoh-tokoh sakti yang pernah menjadi lawannya, yaitu Ban-pi Lo-cia pendeta gundul raksasa, musuh lamanya yang memang ia cari untuk membalaskan kematian bekas kekasihnya, Ang-siauw-hwa Si Ratu Pelacur! Orang ke dua yang dikenalnya bukan lain adalah Ma Thai Kun, sute (adik seperguruan) Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang pernah bermusuhan dengannya karena cemburu dan iri hati karena paman guru ini mencintai murid keponakannya sendiri, yaitu Liu Lu Sian. Ia maklum bahwa Ma Thai Kun membencinya seperti ia membenci Ban-pi Lo-cia dengan dasar yang sama, ialah, merenggut wanita terkasih.
Selain dua orang yang merupakan tandingan berat ini, muncul pula tokoh-tokoh dunia pengemis yaitu Kim-tung Sin-yang dan Koi-tung Tiang-lo dari Sin-yang. Di dekat Ban-pi Lo-cia berdiri seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, sikapnya tenang dan serius, sikapnya gagah. Dia ini adalah Lauw Kiat, murid terkasih Ban-pi Lo-cia. Lauw Kiat ini seorang petualang dari selatan yang merantau ke utara, bertemu dan dikalahkan Ban-pi Lo-cia lalu menjadi muridnya, ilmu kepandaiannya cukup hebat, hanya setingkat lebih rendah dari pada tingkat suhengnya, yaitu Bayisan.
"Ha-ha, Kim-mo Taisu. Kurasa kau sudah mengenal mereka ini, bukan? Ataukah perlu aku memperkenalkan mereka kepadamu?"
Kim-mo Taisu tidak menjawab, akan tetapi Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha! Tak usah diperkenalkan, aku dan dia adalah kenalan lama. Kau adalah pemuda sastrawan yang tampan bernama Kwee Seng yang berjuluk Kim-mo-eng dan yang sekarang sudah bangkrut menjadi pengemis jembel gila lalu berjuluk Kim-mo Taisu. Ha-ha-ha. Kenalan lama!" (Bersambung)
"Wuttt... syuuuutttt! Tringgg...!!" Kim-mo Taisu yang melihat datangnya golok berkelebat, tidak mengelak malah menggerakkan tangannya, dengan jari tengah tangan kanan ia menyentil golok lawan yang sedang terbang mengarah lehernya itu. Hebatlah tenaga sentilan dari Kim-mo Taisu ini, karena hampir saja golok itu terlepas dari pegangan Si Muka Bopeng, bahkan raja gunung itu terhuyung-huyung hampir roboh!
Marahlah Si Raja Laut melihat kawannya mendapat malu. Senjatanya ekor ikan pee yang menyeramkan itu melecut di udara, mengeluarkan bunyi "swing-swing-swing...!" dan berkelebatan diputar-putar di atas kepalanya lalu menyambar bertubi-tubi ke arah Kim-mo Taisu. Pendekar sakti ini tidak berani bertindak sembrono. Ia belum tahu bagaimana sifat senjata lawan yang aneh ini, maka beberapa kali mengelak. Gerakannya perlahan dan lambat saja, akan tetapi tak pernah senjata ekor ikan pee itu dapat menyentuh kulitnya.
Setelah mempergunakan hidungnya mencium-cium dikala senjata itu lewat, Kim-mo Taisu yakin bahwa senjata ini hanya mengerikan tampaknya, akan tetapi tidak mengandung racun berbahaya, maka sambil mengelak daripada tusukan golok Si Raja Gunung yang sudah mengeroyoknya, Kim-mo Taisu menyambar ekor ikan pee itu dan menjepit ujungnya dengan dua jari tangan kiri! Ia menggunakan tenaga membetot sehingga ekor ikan pee itu menegang, kemudian pada saat Si Raja Gunung Hwa-bin-liong dengan girang menyerangnya dari belakang, tiba-tiba ia mengerahkan tenaga betotan dan... melayanglah cambuk ekor ikan pee itu kearah penyerang di belakangnya. Hwa-bin-liong berteriak kesakitan, Kim-mo Taisu cepat membalik, sekali merenggut ia berhasil menyambar golok lawan yang terluka itu dan di lain saat golok itu sudah terbang dan menancap pada paha raja laut yang masih terlongong karena senjatanya tadi kena dirampas lawan. Ia terguling dalam saat hampir berbareng dengan raja gunung, masing-masing terluka oleh senjata kawan sendiri. Luka yang tidak membahayakan keselamatan nyawa, namun cukup hebat untuk membuat mereka tak mampu bertempur lagi dan harus beristirahat untuk beberapa pekan!
Tanpa mempedulikan lagi mereka berdua yang kini merangkak-rangkak menjauhkan diri dari itu, Kim-mo Taisu menghampiri Pouw-kai-ong, memandang tajam dan berkata, "Sudah kukatakan bahwa aku tidak mempunyai urusan dengan segala rampok dan bajak. Mengapa kau mendatangkan penjahat-penjahat macam begitu untuk menggangu pertemuan kita? Segala macam penjahat kecil yang tidak ada artinya, memuakkan saja!"
Pouw Kee Lui tersenyum menyeringai. "Kim-mo Taisu, jangan buru-buru merasa tekebur dan bangga. Masih ada beberapa orang sahabat yang ingin sekali bertemu denganmu." Setelah berkata demikian, Pouw Kee Lui lalu membalikkan tubuh, menjura dan memberi hormat sambil berkata, "Cu-wi Locianpwe, harap sudi memperlihatkan diri!"
Dari balik pohon dan batu besar bermunculan beberapa orang dan dapat dibayangan betapa heran dan kagetnya hati Kim-mo Taisu melihat mereka. Di antaranya banyak yang ia kenal sebagai tokoh-tokoh sakti yang pernah menjadi lawannya, yaitu Ban-pi Lo-cia pendeta gundul raksasa, musuh lamanya yang memang ia cari untuk membalaskan kematian bekas kekasihnya, Ang-siauw-hwa Si Ratu Pelacur! Orang ke dua yang dikenalnya bukan lain adalah Ma Thai Kun, sute (adik seperguruan) Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang pernah bermusuhan dengannya karena cemburu dan iri hati karena paman guru ini mencintai murid keponakannya sendiri, yaitu Liu Lu Sian. Ia maklum bahwa Ma Thai Kun membencinya seperti ia membenci Ban-pi Lo-cia dengan dasar yang sama, ialah, merenggut wanita terkasih.
Selain dua orang yang merupakan tandingan berat ini, muncul pula tokoh-tokoh dunia pengemis yaitu Kim-tung Sin-yang dan Koi-tung Tiang-lo dari Sin-yang. Di dekat Ban-pi Lo-cia berdiri seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, sikapnya tenang dan serius, sikapnya gagah. Dia ini adalah Lauw Kiat, murid terkasih Ban-pi Lo-cia. Lauw Kiat ini seorang petualang dari selatan yang merantau ke utara, bertemu dan dikalahkan Ban-pi Lo-cia lalu menjadi muridnya, ilmu kepandaiannya cukup hebat, hanya setingkat lebih rendah dari pada tingkat suhengnya, yaitu Bayisan.
"Ha-ha, Kim-mo Taisu. Kurasa kau sudah mengenal mereka ini, bukan? Ataukah perlu aku memperkenalkan mereka kepadamu?"
Kim-mo Taisu tidak menjawab, akan tetapi Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha! Tak usah diperkenalkan, aku dan dia adalah kenalan lama. Kau adalah pemuda sastrawan yang tampan bernama Kwee Seng yang berjuluk Kim-mo-eng dan yang sekarang sudah bangkrut menjadi pengemis jembel gila lalu berjuluk Kim-mo Taisu. Ha-ha-ha. Kenalan lama!" (Bersambung)
(dwi)