Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 5 Bagian 2

Selasa, 27 Juni 2017 - 06:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Suling...
Suling Emas, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Suling Emas

Lu Sian bergerak sedikit dalam tidurnya, bibirnya tersenyum, tangannya menyibakkan rambut yang menutup pipi dan kening, lalu tubuhnya bergerak terlentang, terdengar bisikannya, "Kwee-koko..."

Berdebar keras jantung Kwee Seng. Gadis ini mengigau dan menyebut-nyebut namanya dalam tidur! bukankah itu berarti bahwa Lu Sian juga menaruh hati kepadanya? Ia memandang lagi. Mulut yang manis itu masih tersenyum. Tiada bosannya memandang wajah ini, bagaikan orang memandang setangkai bunga mawar segar. Terpesona Kwee Seng memandangi rambut hitam panjang yang kini awut-awutan itu, mengingatkan ia akan syair tentang keindahan rambut yang pernah dibacanya :

Halus licin laksana sutera

Hitam mulus melebihi tinta

gemuk panjang berikal mayang

mengikat kalbu menimbulkan sayang

harum semerbak laksana bunga

melambai meraih cinta asmara

sinom berikal di tengkuk dan dahi

pembangkit gairah dendam berahi!

Setelah kenyang pandang matanya menikmati keindahan rambut di kepala lalu pandang mata itu menurun, berhenti di alis dan mata yang terlindung bulu mata panjang melengkung, sejenak terpesona oleh bukit hidung.

Kecil mungil mancung dan patut

halus laksana lilin di raut

cuping tipis bergerak mesra

mengandung seribu rahasia

Makin berdebar jantung Kwee seng, hampir tak terahankan lagi, serasa hendak meledak. Melihat rambut itu, bulu mata, hidung yang agak berkembang-kempis cupingnya, mulut manis yang tersenyum-senyum dalam tidur, pipi yang putih kemerahan, teringatlah ia akan Ang-siauw-hwa. Bukan gadis pelacur itu yang terbayang, melainkan pengalaman mesra penuh asyik yang pada saat itu mendorong semua gairah birahi memenuhi hati dan pikirannya bagaikan awan mendung hitam menggelapkan kesadarannya.

Dengan tubuh gemetar menggil, Kwee Seng lalu membungkuk ke arah wajah ayu itu dan mencium bibir dan pipi Lu Sian sepenuh kasih hatinya. Suara ketawa gadis itu mengejutkannya, membuyarkan sebagian awan mendung yang menutupi kesadarannya. Terkejutlah Kwee Seng, mukanya pucat dan ia cepat-cepat menjauhkan diri, jantungnya berdebar keras dan barulah lega hatinya ketika ia melihat bahwa Lu Sian masih tidur. Suara ketawa tadi pun agaknya hanya dalam keadaan mimpi. Akan tetapi ciumannya tadi membuat ia makin dalam terjatuh ke jurang asmara!

Lewat senja, setelah matahari mulai bersembunyi, Lu Sian menggeliat dan membuka matanya. "Ahhh, alangkah sedapnya tidur di sini. Ehkwee-koko, kau masih duduk di situ sejak tadi? Tidak mengaso?" Gadis itu kini bangkit duduk dan membereskan rambutnya. Duduk seperti itu, kedua kaki di tekuk ke belakang, tubuh tegak dada membusung, kedua lengan dikembangkan karena sepuluh buah jari tangannya sibuk menyanggul rambut di belakang kepala, benar-benar merupakan pemandangan indah. Hemm, kalau saja aku pandai melukis, alangkah indahnya gadis ini dilukis dalam keadaan begini, pikir Kwee Seng, demikian terpesona sehingga ia seakan-akan tidak mendengar akan kata-kata Lu Sian.

"Hih! Kwee-koko, apakah kau sudah berubah menjadi arca? Apa sih yang kau lihat?" tegur Lu Sian, senyumnya lebar dan sepasang matanya berkedip-kedip mengandung ejekan.

"Eh......... oh....... kau bilang apa tadi, Moi-moi...?" Kwee seng tergagap.

Kini Lu Sian tertawa, "Kukira kau tidak mengaso kiranya kau agaknya malah tidur. Kwee-koko, aku ingin sekali mandi. Kalau saja ada anak sungai di sini..."

"Kudengar suara air gemericik di sebelah kiri sana, Sian-moi. Mungkin ada anak sungai atau air terjun di sana."

"Bagus, mari kita ke sana, Koko. Seperti seorang anak kecil, Lu Sian menyambar tangan Kwee Seng dan menariknya berlari-lari ke arah kiri. Benar saja dugaan Kwee Seng, di situ terdapat sebatang sungai kecil yang amat jernih airnya, pula tidak dalam, hanya semeter kurang lebih. Batu-batu licin di dasar tampak beraneka warna menambah keindahan dan kesejukan air.

"Wah, dingin dan segar, Koko!" teriak Lu Sian kegirangan ketika memasukkan tangannya ke dalam air di pinggir sungai. "Koko, aku hendak mandi! Kau jangan melihat ke sini sebelum aku masuk ke dalam air. Awas, kalau kau menengok, kumaki kau kurang sopan dan kusambit kau dengan batu!"

Kwee Seng tertawa, terseret oleh kenakalan dan kegembiraan gadis itu. (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0412 seconds (0.1#10.140)