Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 18 Bagian 8
loading...
A
A
A
Kho Ping Hooo, Suling Emas
"Sudahlah, A-kwi, yang tidak tahu tak perlu dipaksa. Dimana Nyonya Muda?" "Pagi tadi Nyonya Muda bersama Nona Kecil keluar berkuda, mungkin seperti biasa berburu kelinci." "Hemmm, kau keluar cari mereka, suruh pulang ada urusan penting." "Baiklah, Ong-ya."
Kakek lumpuh itu menggerakkan tongkatnya dan... sekali berkelebat bayangannya lenyap ke dalam rumah. Bu Song melongo dan bulu kuduknya meremang. Kakek itu seolah-olah pandai terbang atau pandai menghilang saja. Ah, kalau begitu tentulah kepala rampok, biarpun tua dan lumpuh namun agaknya pandai sekali ilmunya. Ia merasa menyesal sekali. Bekerja di keluarga perampok! Celaka, kalau ia tahu, biar diupah lebih banyak lagi ia tidak akan sudi. Akan tetapi, nasi sudah masuk ke dalam perut, dan ia harus bekerja melunasi hutangnya.
"Nah, di puncak bukit itu terdapat sumber air. Lihat pohon besar itu? Di bawah pohon itulah letaknya, lekas kau pergi ke sana mengisi kedua tahang ini, bawa ke sini dan terus saja ke dapur, A-liong dan Sam-hwa akan memberi tahu ke mana kau harus menuangkan air. Kerja yang baik, aku mau pergi!" Setelah berkata demikian, kakek yang bernama A-kwi itu meloncat dan sebentar kemudian nampak bayangannya sudah jauh sekali seakan-akan ia lari setengah terbang.
Bu Song menghela napas panjang. Hebat, pikirnya. Orang-orang ini berkepandaian tinggi dan tanpa ia sengaja, ia agaknya telah terjatuh ke dalam tangan segerombolan perampok dan harus bekerja untuk mereka. Ia akan melakukan pekerjaannya cepat-cepat, memenuhi tempat air dan, kemudian segera meninggalkan tempat ini. Dengan penuh semangat Bu Song lalu mendaki bukit menuju ke sumber air. Perjalanannya sukar, namun ia telah terlatih menghadapi kesukaran. Air jernih mengucur keluar dari sebuah guha kecil, membentuk kolam air yang tak pernah kering. Segera Bu Song mengisi dua tahang air itu dan ketika ia memikulnya, benar saja, kayu pikulan itu dapat menahan dua tahang air, bahkan kayu ini mentul-mentul sehingga enak dipakai memikul. Hati-hati ia lalu meninggalkan tempat itu, menuruni puncak menuju ke rumah di bawah yang tampak dari tempat itu.
Dahinya penuh peluh ketika ia tiba di dapur rumah. A-liong menyambutnya sambil tertawa-tawa. "Latihan ini menguntungkan, tidak rugi kau, apalagi ditambah setengah bagian nasi ransum kami, ha-ha-ha! Nah, tuangkan air ke dalam kolam itu."
Kaget sekali hati Bu Song melihat kolam air yang amat besar, terbuat dari pada batu. Untuk memenuhi kolam ini, sedikitnya ia harus mengambil air sepuluh kali! Celaka benar, ia tertipu. Akan tetapi apa boleh buat, nasi sudah memasuki perut, ia harus memenuhi janjinya. Hatinya mendongkol bukan main atas kekejaman orang-orang tua ini menipu dia, akan tetapi mulutnya tidak berkata apa-apa. Setelah kedua tahang air berpindah tempat, ia lalu mendaki lagi.
Menjelang senja, sudah sembilan kali ia mengambil air. Pundaknya serasa hendak copot, kedua kakinya seperti hendak lumpuh, tubuhnya sakit dan kelelahan yang dideritanya hebat sekali. Akan tetapi sekali lagi, kolam itu akan penuh. Ia sudah bekerja setengah hari untuk menebus hutang perutnya tadi!
"Ha-ha-ha, anak baik. Kejujuran dan kekerasan hatimu menciptakan keuletan yang luar biasa. Kau hampir lulus, tinggal satu kali lagi. Sebentar akan kuceritakan kepada Nyonya Muda, tentu ia tertarik dan menaruh kasihan kepadamu."
Dengan wajah muram Bu Song hanya menjawab pendek. "Aku tidak membutuhkan kasihan orang!" Lalu ia membawa pikulan kosong mendaki bukit lagi, memaksa tubuhnya untuk berjalan gagah, akan tetapi karena memang sudah amat lelah, mana bisa ia berjalan dengan langkah tegap? Ia terhuyung-huyung dan kedua kakinya tersaruk-saruk. Hebatnya, A-liong malah menertawainya, membuat ia makin jenkel dan desakan hatinya untuk beristirahat ia tekan kuat-kuat.
Untuk ke sepuluh dan penghabisan kalinya ia tiba di bawah pohon besar, mengisi kedua tahang itu penuh air. Biarpun masih kecil, Bu Song maklum bahwa sekali ia beristirahat menurutkan dorongan hatinya, ia takkan mampu menyelesaikan pekerjaannya. Maka ia memaksa diri dan memikul lagi pikulannya yang kini ia rasakan bukan main beratnya, seakan-akan bukan dua tahang air yang dipikulnya, melainkan dua puluh! (Bersambung)
"Sudahlah, A-kwi, yang tidak tahu tak perlu dipaksa. Dimana Nyonya Muda?" "Pagi tadi Nyonya Muda bersama Nona Kecil keluar berkuda, mungkin seperti biasa berburu kelinci." "Hemmm, kau keluar cari mereka, suruh pulang ada urusan penting." "Baiklah, Ong-ya."
Kakek lumpuh itu menggerakkan tongkatnya dan... sekali berkelebat bayangannya lenyap ke dalam rumah. Bu Song melongo dan bulu kuduknya meremang. Kakek itu seolah-olah pandai terbang atau pandai menghilang saja. Ah, kalau begitu tentulah kepala rampok, biarpun tua dan lumpuh namun agaknya pandai sekali ilmunya. Ia merasa menyesal sekali. Bekerja di keluarga perampok! Celaka, kalau ia tahu, biar diupah lebih banyak lagi ia tidak akan sudi. Akan tetapi, nasi sudah masuk ke dalam perut, dan ia harus bekerja melunasi hutangnya.
"Nah, di puncak bukit itu terdapat sumber air. Lihat pohon besar itu? Di bawah pohon itulah letaknya, lekas kau pergi ke sana mengisi kedua tahang ini, bawa ke sini dan terus saja ke dapur, A-liong dan Sam-hwa akan memberi tahu ke mana kau harus menuangkan air. Kerja yang baik, aku mau pergi!" Setelah berkata demikian, kakek yang bernama A-kwi itu meloncat dan sebentar kemudian nampak bayangannya sudah jauh sekali seakan-akan ia lari setengah terbang.
Bu Song menghela napas panjang. Hebat, pikirnya. Orang-orang ini berkepandaian tinggi dan tanpa ia sengaja, ia agaknya telah terjatuh ke dalam tangan segerombolan perampok dan harus bekerja untuk mereka. Ia akan melakukan pekerjaannya cepat-cepat, memenuhi tempat air dan, kemudian segera meninggalkan tempat ini. Dengan penuh semangat Bu Song lalu mendaki bukit menuju ke sumber air. Perjalanannya sukar, namun ia telah terlatih menghadapi kesukaran. Air jernih mengucur keluar dari sebuah guha kecil, membentuk kolam air yang tak pernah kering. Segera Bu Song mengisi dua tahang air itu dan ketika ia memikulnya, benar saja, kayu pikulan itu dapat menahan dua tahang air, bahkan kayu ini mentul-mentul sehingga enak dipakai memikul. Hati-hati ia lalu meninggalkan tempat itu, menuruni puncak menuju ke rumah di bawah yang tampak dari tempat itu.
Dahinya penuh peluh ketika ia tiba di dapur rumah. A-liong menyambutnya sambil tertawa-tawa. "Latihan ini menguntungkan, tidak rugi kau, apalagi ditambah setengah bagian nasi ransum kami, ha-ha-ha! Nah, tuangkan air ke dalam kolam itu."
Kaget sekali hati Bu Song melihat kolam air yang amat besar, terbuat dari pada batu. Untuk memenuhi kolam ini, sedikitnya ia harus mengambil air sepuluh kali! Celaka benar, ia tertipu. Akan tetapi apa boleh buat, nasi sudah memasuki perut, ia harus memenuhi janjinya. Hatinya mendongkol bukan main atas kekejaman orang-orang tua ini menipu dia, akan tetapi mulutnya tidak berkata apa-apa. Setelah kedua tahang air berpindah tempat, ia lalu mendaki lagi.
Menjelang senja, sudah sembilan kali ia mengambil air. Pundaknya serasa hendak copot, kedua kakinya seperti hendak lumpuh, tubuhnya sakit dan kelelahan yang dideritanya hebat sekali. Akan tetapi sekali lagi, kolam itu akan penuh. Ia sudah bekerja setengah hari untuk menebus hutang perutnya tadi!
"Ha-ha-ha, anak baik. Kejujuran dan kekerasan hatimu menciptakan keuletan yang luar biasa. Kau hampir lulus, tinggal satu kali lagi. Sebentar akan kuceritakan kepada Nyonya Muda, tentu ia tertarik dan menaruh kasihan kepadamu."
Dengan wajah muram Bu Song hanya menjawab pendek. "Aku tidak membutuhkan kasihan orang!" Lalu ia membawa pikulan kosong mendaki bukit lagi, memaksa tubuhnya untuk berjalan gagah, akan tetapi karena memang sudah amat lelah, mana bisa ia berjalan dengan langkah tegap? Ia terhuyung-huyung dan kedua kakinya tersaruk-saruk. Hebatnya, A-liong malah menertawainya, membuat ia makin jenkel dan desakan hatinya untuk beristirahat ia tekan kuat-kuat.
Untuk ke sepuluh dan penghabisan kalinya ia tiba di bawah pohon besar, mengisi kedua tahang itu penuh air. Biarpun masih kecil, Bu Song maklum bahwa sekali ia beristirahat menurutkan dorongan hatinya, ia takkan mampu menyelesaikan pekerjaannya. Maka ia memaksa diri dan memikul lagi pikulannya yang kini ia rasakan bukan main beratnya, seakan-akan bukan dua tahang air yang dipikulnya, melainkan dua puluh! (Bersambung)
(dwi)