Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 19 bagian 3
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
Kim-mo Taisu tersentak kaget seperti terpukul dadanya. Ia menurunkan Gin Lin dan terhuyung-huyung mundur dengan wajah pucat. "Kau... kau... sudah menjadi isteri orang lain...?"
Gin Lin tersenyum dengan air mata masih bercucuran, lalu menggandeng tangan anak itu. "Eng Eng, dia ini ayahmu, Nak. Kwee-koko, setelah kau pergi, aku... aku melahirkan anak ini. Hanya karena dialah maka aku merobah tekadku untuk mati di Neraka Bumi, aku membawanya keluar mencarimu. Dia ini anakmu, Kwee-koko."
Terdengar rintihan isak di tenggorokkan Kim-mo Taisu. Ia berlutut, memegang kedua tangan anaknya, memandang wajah yang mungil itu, kemudian ia memondongnya sambil tertawa. Tangan kirinya juga menyambar dan memondong tubuh isterinya. Berganti-ganti ia memandang dan menciumi isteri dan anaknya dengan kebahagiaan hati yang sukar dilukiskan. Ia merasa seakan-akan menerima anugerah yang paling besar dan belum pernah selama hidupnya ia mengalami kebahagiaan seperti saat ini.
"Isteriku....! Anakku...! Ah, Kwee seng... Kwee Seng... agaknya Thian masih menaruh kasihan kepadamu...!" katanya, suaranya menggetar penuh keharuan.
"Ayah... sudah lama sekali aku mencari-carimu. Ibu seringkali menangis, katanya kau tidak mau menjadi Ayah Eng Eng. Sekarang Ayah sudah di sini, mengapa ibu masih menangis? Apa ayah betul-betul tidak suka kepada Eng Eng?" Ucapan yang keluar dari bibir mungil itu seperti pisau mengiris jantung Kim-mo Taisu. Terasa olehnya betapa ia telah melakukan dosa besar terhadap Gin Lin yang selain telah menolong nyawanya di Neraka Bumi ternyata masih menaruh cinta kasih yang amat besar kepadanya. Sungguh ia telah berdosa. Andaikata Gin Lin benar-benar seorang nenek sekalipun, ia tidak semestinya meninggalkan seorang yang begitu mencintanya.
"Eng Eng. Alangkah manis namamu. Ayah amat cinta dan sayang kepadamu, anakku!" Ia menciumi pipi anaknya.
"Tapi Ayah mengapa menangis? Ibu juga? Mengapa susah?" "Ayah tidak susah. Lihat, sekarang aku tertawa, dan Ibumu juga!" Anak itu memandang ayah dan ibunya, benar saja mereka tersenyum dengan air mata membasahi pipi. "Suhu...!"
Kwee Seng memandang dan ternyata Bu Song sudah muncul di situ. "Teecu menghaturkan selamat bahwa Suhu telah dapat berkumpul dengan Subo (Ibu Guru) dan ... dan adik puteri Suhu." Kata Bu Song dengan pandang mata sejujurnya dan muka ikut bergembira.
Kim-mo Taisu menurunkan tubuh isterinya perlahan. Sambil memondong Eng Eng ia menghadapi muridnya berkata, "Bu Song, kenapa kau pergi meninggalkan aku tanpa pamit?" Mendengar suara ayahnya seperti marah dan melihat Bu Song menundukkan kepala, Eng Eng segera menjawab ayahnya. "Ayah, jangan marah kepadanya. Dialah yang membawa Ibu dan aku ke sini menemui Ayah. Bu Song tidak nakal, dia baik, Ayah!"
"Ehh...??" Kim-mo Taisu memandang isterinya yang tersenyum dan mengangguk, bahkan isterinya lalu memberi penjelasan.
"Muridmu ini bekerja pada kami, mengambil air dari puncak. Ketika mengangsu air untuk kali terakhir, ia melihat kau berhadapan dengan musuh jahat, maka setibanya di rumah kami ia bertemu denganku dan mengatakan bahwa gurunya Kim-mo Taisu, menghadapi bahaya maka ia harus cepat-cepat pergi dari rumah kami, tidak mau kutahan lagi. Aku memang ada dugaan bahwa Kim-mo Taisu adalah engkau, maka aku lalu mengajak Eng Eng dan bersama Bu Song pergi menyusulmu ke sini. Kiranya benar-benar kau berhadapan dengan musuh yang tangguh. Baiknya ada Pamanku Couw Pa Ong yang membantumu."
"Couw Pa Ong.....? Dia itu...... Pamanmu.....?"
"Mari kita pulang dulu, nanti kita bicara sampai jelas."
"Pulang?" terharu hati Kim-mo Taisu, karena sesungguhnya, entah sudah berapa lamanya ia tidak mengenal arti kata "pulang" lagi. Sambil menggandeng tangan isterinya dan memondong Eng Eng, Kim-mo Taisu mengangguk dan menjawab, "Marilah!"
"Bu Song, kau ikut dengan kami." Kata Khu Gin Lin dengan suara halus, akan tetapi Bu Song masih berdiri dengan kepala menunduk.
"Bu Song, hayo ikut, nanti kita main-main di rumah!" Eng Eng juga berkata, akan tetapi tetap saja Bu Song tidak bergerak dan tidak pula mengangkat muka. Anak itu sedang dilanda kedukaan hebat. Ia memang ikut bergirang menyaksikan kebahagiaan suhunya yang telah berkumpul kembali dengan isteri dan anaknya, akan tetapi sekaligus peristiwa ini pun mengingatkan ia akan keadaannya sendiri yang jauh ayah jauh ibu, seorang anak yang tidak dapat mengecap kebahagiaan seperti Eng Eng karena ayah bundanya cerai berai. Pula, agaknya suhunya marah kepadanya, dan kalau suhunya sendiri diam saja, bagaimana ia bisa ikut mereka?
Melihat Bu Song diam saja tidak menjawab, Eng Eng lalu melorot turun dari pondongan ayahnya, lari menghampiri Bu Song dan menarik tangannya. "Hayo, kau ikut! Eh, kau... kau menangis? Kenapa??"
Mendengar ini, kagetlah Kim-mo Taisu. Ia sudah mengenal betul perangai Bu Song, seorang anak yang amat keras hatinya, yang tidak pernah sudi menangis, tabah dan berani luar biasa. Kalau sekarang menangis, benar-benar aneh! Tadinya, perjumpaannya dengan anak isterinya membuat Kim-mo Taisu sejenak melupakan Bu Song, apalagi karena muridnya itu telah meninggalkannya tanpa pamit. Ia menganggap muridnya sudah tidak suka lagi ikut dengannya, maka ia pun tadi tidak mengacuhkannya lagi. Akan tetapi sekarang mendengar bahwa muridnya menangis, ia segera membalikkan tubuh menghampiri Bu Song.
"Bu Song, kaulihat aku!" Bu Song mengangkat mukanya. Anak ini menggigit bibir menahan air mata dan memandang suhunya dengan mata tajam.
"Ketika aku bicara dengan Beng-kauwcu, kenapa kau lalu pergi meninggalkan aku tanpa pamit? Apakah kau sudah bosan ikut gurumu?"
Bu Song menggeleng kepalanya. "Teecu tidak bosan, akan tetapi teecu tidak mau bertemu dengan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan."
"Hehh.......?? Kau tahu nama Beng-kauwcu? Mengapa kau tidak mau bertemu dengannya?" Kim-mo Taisu benar-benar tertarik dan merasa heran. "Karena... karena... dia adalah Kong-kong (kakek) teecu....."
"Apa kau bilang??" Kim-mo Taisu melangkah maju mendekati muridnya lalu berjongkok agar dapat memandang wajah muridnya, baik-baik. "Dia itu Kakekmu? Bu Song, katakanlah siapa nama ayahmu?"
"Ayah teecu Kam Si Ek, akan tetapi teecu tidak mau pulang...., juga teecu tidak mau ikut Kong-kong, teecu hendak mencari ibu....."
Jantung Kim-mo Taisu bedebar-debar keras, lalu ia memeluk Bu Song. "Ah, mengapa ada peristiwa begini kebetulan? Bu Song... jadi kau anak Lu Sian dan Kam Si Ek...??"
Bu Song meronta dari pelukan suhunya, memandang dengan mata tebelalak. "Suhu mengenal Ayah dan Ibu?"
"Anak baik, tentu saja aku mengenal mereka!" "Kalau begitu maaf, teecu tidak dapat ikut Suhu lagi." Anak ini lalu membalikkan tubuhnya dan lari. Akan tetapi dengan tiga kali lompatan saja Kim-mo Taisu sudah menangkap tangannya.
"Kenapa?" "Teecu tidak mau Suhu kembalikkan ke rumah Ayah atau Kong-kong. Teecu hendak mencari ibu."
Kim-mo Taisu mengangguk-angguk. "Baiklah, Bu Song. Aku tidak akan mengantarmu kepada Ayah dan Kakekmu, kau ikut saja dengan kami dan kelak kubantu kau mencari Ibumu." Kembali ia menghela napas karena teringat akan cerita Pat-jiu Sin-ong Liu Gan bahwa Liu Lu Sian telah meninggalkan suami dan putera, malah telah melakukan hal-hal yang luar biasa di dunia kang-ouw, telah mencuri kitab-kitab dari Beng-kauw sendiri. Sungguh aneh, mengapa secara kebetulan sekali putera Liu Lu Sian menjadi muridnya? Pantas saja begitu berjumpa dengan anak ini, timbul rasa sayang di hatinya. Kiranya anak ini darah daging Lu Sian! Diam-diam ia menjadi girang sekali dan berjanji kepada diri sendiri untuk mengimbangi Bu Song seperti puteranya sendiri.
Maka turunlah mereka berempat dari puncak dengan wajah bahagia. Kim-mo Taisu tak pernah dilepaskan tangannya oleh isterinya, yang kadang-kadang mengucurkan air mata sambil tersenyum-senyum memandangi wajah suaminya yang dirindukannya selama bertahun-tahun. Mereka bergandeng tangan sambil bercakap-cakap menceritakan pengalaman masing-masing selama berpisah. Eng Eng yang sifatnya lincah itu pun menggandeng tangan Bu Song diajak balapan lari atau diajak memetik bunga mengejar kupu-kupu di sepanjang jalan, sambil tertawa-tawa.
Secara singkat Kim-mo Taisu menceritakan pengalamannya sejak keluar dari Neraka Bumi, pengalaman yang penuh kesengsaraan dan kepahitan sehingga membuat isterinya makin sayang kepadanya. Khu Gin Lin ikut mengucurkan air mata mendengar betapa suaminya menyesali diri sendiri sampai menjadi seperti seorang jembel gila.
Kemudian tiba gilirannya untuk bercerita. Seperti telah diceritakan oleh mendiang Ang-siauw-hwa atau Khu Kim Lin mendiang saudara kembarnya kepada Kwee Seng, dia dan Kim Lin adalah anak kembar dari seorang pangeran bernama Khu Si Cai, seorang Pangeran Kerajaan Tang. Khu Si Cai ini, adalah adik ipar Raja Muda Couw Pa Ong yang terkenal. Ketika terjadi perang yang mengakibatkan tumbangnya Kerajaan Tang, keluarga Kaisar dan para bangsawan menjadi korban.
Tak terkecuali keluarga Pangeran Khu yang ikut terbasmi. Sepasang bocah kembar yang baru berusia lima tahun itu dapat diselamatkan oleh seorang pelayan, dibawa lari keluar pada saat istana pangeran itu diserbu musuh dan dibakar. Dalam pelarian ini mereka bertemu keributan perang sehingga akhirnya Khu Gin Lin terlepas dari gandengan tangan pelayannya membuat ia terpisah dari saudara kembarnya.
Anak ini menangis sambil lari kesana kemari, jatuh bangun ditabrak orang-orang yang sedang melarikan diri dari perang. Akhirnya ia jatuh pingsan di tengah jalan hampir saja diinjak-injak orang yang sedang panik itu kalau saja tidak ditolong oleh seorang tosu (pendeta To) yang kebetulan lewat. Tosu ini sudah tua sekali, mukanya pucat dan melihat seorang anak perempuan menggeletak di jalan, hampir terinjak-injak, cepat ia menyambarnya dan membawanya pergi cepat-cepat.
"Tosu itu adalah Kwan Cin Cun, seorang tokoh Thian-san-pai yang terkenal sebagai seorang patriot pembela Kerajaan Tang, sahabat baik dari Paman Sin-jiu Couw Pa Ong." Demikian Gin Lin melanjutkan ceritanya. "Dia tidak tahu bahwa aku adalah kepaonakan Couw Pa Ong. Seperti juga Pamanku itu yang terluka hebat, malah menjadi lumpuh kedua kakinya, Suhu Kwan Cin Cu terluka parah di sebelah dalam dadanya, luka yang tak mungkin dapat disembuhkan lagi karena ia telah terkena pukulan beracun yang hebat. Dia membawaku ke Neraka Bumi dan kebetulan sekali saat itu musim kering sehingga lebih mudah memasuki Neraka Bumi. Neraka Bumi sebetulnya adalah tempat bertapa kakek gurunya, yaitu sucouw (kakek guru) dari Thian-san-pai, tempat rahasia yang hanya diketahui oleh Suhu Kwan Cin Cu. Aku dibawa ke tempat itu, lalu ia melatihku membaca kitab dan juga dasar-dasar ilmu silat. Sayang sekali, ketika aku berusia dua belas tahun, Kwan Suhu meninggal dunia karena lukanya yang memang hebat sekali."
"Hemm, seorang sakti seperti dia, mengapa menyembunyikan diri dan tidak mau keluar lagi?" Kim-mo Taisu mencela.
"Dia sudah putus harapan. Katanya kepadaku, daripada keluar dari Neraka Bumi melihat negeri dijajah orang, lebih baik ia bersembunyi dan bertapa sampai mati. Selama mendidikku, ia menanamkan kesan betapa buruknya dunia, betapa jahatnya manusia, betapa berbahayanya hidup seorang gadis muda. Oleh karena itulah maka aku lalu membuat kedok nenek-nenek dan tak pernah mau keluar dari Neraka Bumi, sampai... sampai... Thian membawamu masuk ke sana dan... dan... lahirnya Eng Eng." Jari-jari tangan Gin Lin mencengkram jari-jari tangan suaminya dan keluarlah getaran-getaran kasih dari jari tangan mereka.
Ketika mereka berempat tiba di rumah kediamannya Couw Pa Ong, ternyata kakek lumpuh itu telah berada di situ, bahkan berdiri menanti di depan pintu. Bu Song memandang dengan kagum dan juga serem kepada kakek sakti itu. Adapun Kim-mo Taisu segera maju dan memberi hormat dengan kikuk, karena sebetulnya, sebagai tokoh kang-ouw, ia enggan memberi hormat berlebihan, akan tetapi mengingat bahwa orang ini paman isterinya, tidak enak pula kalau tidak memberi hormat.
Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong tertawa bergelak, kelihatannya girang sekali. "Sudahlah, tidak perlu banyak sungkan, kita orang sendiri ha-ha-ha! Alangkah girang hatiku mendapat kenyataan bahwa suami kepoakanku adalah Kim-mo Taisu! Sungguh menyenangkan, ini berarti bahwa Dinasti Kerajaan Tang masih belum saatnya lenyap dari permukaan bumi! Kim-mo Taisu, dengan adanya engkau sebagai keluarga kami, maka kekuatan untuk memulihkan kekuasaan Kerajaan Tang menjadi makin besar.
"Maaf, Ong-ya, eh..... Paman, akan tetapi saya sama sekali tidak ada minat untuk memikirkan soal kerajaan, saya tidak akan ikut-ikut...."
"Ha-ha-ha, coba saja kita sama-sama lihat! Aku Kong Lo Sengjin adalah seorang buronan, dicap sebagai musuh kerajaan yang sekarang berkuasa, juga isterimu dianggap sebagai anggota pemberontak, keluarga bekas Kerajaan Tang. Kalau isterimu dimusuhi, apakah kau sebagai suaminya tidak?"
Kim-mo Taisu mengerutkan keningnya. "Kalau begitu, saya akan ajak isteri, anak dan murid saya untuk menjauhkan diri, mengungsi di tempat sunyi, hidup mengasingkan diri di tempat aman tenteram."
Keng Lo Sengjin membanting-banting tongkatnya ke atas tanah. "Gin Lin! Kaudengar kata-kata suamimu? Apa kau sudah lupa lagi, akan keluarga Ayah Bundamu yang terbasmi?"
"Paman, harap bersabar. Aku akan mengikuti suamiku ke manapun juga ia pergi. Tentang sakit hati keluarga, sampai mati pun keponakanmu ini tidak akan lupa."
"Haaahhh, pergilah.....!" Mulutnya bilang begitu akan tetapi kakek ini sendirilah yang pergi jauh dari rumah itu, dengan gerakan cepat sekali, berloncat-loncatan menggunakan kedua "kaki" nya yang berupa sepasang tongkat. (Bersambung)
Kim-mo Taisu tersentak kaget seperti terpukul dadanya. Ia menurunkan Gin Lin dan terhuyung-huyung mundur dengan wajah pucat. "Kau... kau... sudah menjadi isteri orang lain...?"
Gin Lin tersenyum dengan air mata masih bercucuran, lalu menggandeng tangan anak itu. "Eng Eng, dia ini ayahmu, Nak. Kwee-koko, setelah kau pergi, aku... aku melahirkan anak ini. Hanya karena dialah maka aku merobah tekadku untuk mati di Neraka Bumi, aku membawanya keluar mencarimu. Dia ini anakmu, Kwee-koko."
Terdengar rintihan isak di tenggorokkan Kim-mo Taisu. Ia berlutut, memegang kedua tangan anaknya, memandang wajah yang mungil itu, kemudian ia memondongnya sambil tertawa. Tangan kirinya juga menyambar dan memondong tubuh isterinya. Berganti-ganti ia memandang dan menciumi isteri dan anaknya dengan kebahagiaan hati yang sukar dilukiskan. Ia merasa seakan-akan menerima anugerah yang paling besar dan belum pernah selama hidupnya ia mengalami kebahagiaan seperti saat ini.
"Isteriku....! Anakku...! Ah, Kwee seng... Kwee Seng... agaknya Thian masih menaruh kasihan kepadamu...!" katanya, suaranya menggetar penuh keharuan.
"Ayah... sudah lama sekali aku mencari-carimu. Ibu seringkali menangis, katanya kau tidak mau menjadi Ayah Eng Eng. Sekarang Ayah sudah di sini, mengapa ibu masih menangis? Apa ayah betul-betul tidak suka kepada Eng Eng?" Ucapan yang keluar dari bibir mungil itu seperti pisau mengiris jantung Kim-mo Taisu. Terasa olehnya betapa ia telah melakukan dosa besar terhadap Gin Lin yang selain telah menolong nyawanya di Neraka Bumi ternyata masih menaruh cinta kasih yang amat besar kepadanya. Sungguh ia telah berdosa. Andaikata Gin Lin benar-benar seorang nenek sekalipun, ia tidak semestinya meninggalkan seorang yang begitu mencintanya.
"Eng Eng. Alangkah manis namamu. Ayah amat cinta dan sayang kepadamu, anakku!" Ia menciumi pipi anaknya.
"Tapi Ayah mengapa menangis? Ibu juga? Mengapa susah?" "Ayah tidak susah. Lihat, sekarang aku tertawa, dan Ibumu juga!" Anak itu memandang ayah dan ibunya, benar saja mereka tersenyum dengan air mata membasahi pipi. "Suhu...!"
Kwee Seng memandang dan ternyata Bu Song sudah muncul di situ. "Teecu menghaturkan selamat bahwa Suhu telah dapat berkumpul dengan Subo (Ibu Guru) dan ... dan adik puteri Suhu." Kata Bu Song dengan pandang mata sejujurnya dan muka ikut bergembira.
Kim-mo Taisu menurunkan tubuh isterinya perlahan. Sambil memondong Eng Eng ia menghadapi muridnya berkata, "Bu Song, kenapa kau pergi meninggalkan aku tanpa pamit?" Mendengar suara ayahnya seperti marah dan melihat Bu Song menundukkan kepala, Eng Eng segera menjawab ayahnya. "Ayah, jangan marah kepadanya. Dialah yang membawa Ibu dan aku ke sini menemui Ayah. Bu Song tidak nakal, dia baik, Ayah!"
"Ehh...??" Kim-mo Taisu memandang isterinya yang tersenyum dan mengangguk, bahkan isterinya lalu memberi penjelasan.
"Muridmu ini bekerja pada kami, mengambil air dari puncak. Ketika mengangsu air untuk kali terakhir, ia melihat kau berhadapan dengan musuh jahat, maka setibanya di rumah kami ia bertemu denganku dan mengatakan bahwa gurunya Kim-mo Taisu, menghadapi bahaya maka ia harus cepat-cepat pergi dari rumah kami, tidak mau kutahan lagi. Aku memang ada dugaan bahwa Kim-mo Taisu adalah engkau, maka aku lalu mengajak Eng Eng dan bersama Bu Song pergi menyusulmu ke sini. Kiranya benar-benar kau berhadapan dengan musuh yang tangguh. Baiknya ada Pamanku Couw Pa Ong yang membantumu."
"Couw Pa Ong.....? Dia itu...... Pamanmu.....?"
"Mari kita pulang dulu, nanti kita bicara sampai jelas."
"Pulang?" terharu hati Kim-mo Taisu, karena sesungguhnya, entah sudah berapa lamanya ia tidak mengenal arti kata "pulang" lagi. Sambil menggandeng tangan isterinya dan memondong Eng Eng, Kim-mo Taisu mengangguk dan menjawab, "Marilah!"
"Bu Song, kau ikut dengan kami." Kata Khu Gin Lin dengan suara halus, akan tetapi Bu Song masih berdiri dengan kepala menunduk.
"Bu Song, hayo ikut, nanti kita main-main di rumah!" Eng Eng juga berkata, akan tetapi tetap saja Bu Song tidak bergerak dan tidak pula mengangkat muka. Anak itu sedang dilanda kedukaan hebat. Ia memang ikut bergirang menyaksikan kebahagiaan suhunya yang telah berkumpul kembali dengan isteri dan anaknya, akan tetapi sekaligus peristiwa ini pun mengingatkan ia akan keadaannya sendiri yang jauh ayah jauh ibu, seorang anak yang tidak dapat mengecap kebahagiaan seperti Eng Eng karena ayah bundanya cerai berai. Pula, agaknya suhunya marah kepadanya, dan kalau suhunya sendiri diam saja, bagaimana ia bisa ikut mereka?
Melihat Bu Song diam saja tidak menjawab, Eng Eng lalu melorot turun dari pondongan ayahnya, lari menghampiri Bu Song dan menarik tangannya. "Hayo, kau ikut! Eh, kau... kau menangis? Kenapa??"
Mendengar ini, kagetlah Kim-mo Taisu. Ia sudah mengenal betul perangai Bu Song, seorang anak yang amat keras hatinya, yang tidak pernah sudi menangis, tabah dan berani luar biasa. Kalau sekarang menangis, benar-benar aneh! Tadinya, perjumpaannya dengan anak isterinya membuat Kim-mo Taisu sejenak melupakan Bu Song, apalagi karena muridnya itu telah meninggalkannya tanpa pamit. Ia menganggap muridnya sudah tidak suka lagi ikut dengannya, maka ia pun tadi tidak mengacuhkannya lagi. Akan tetapi sekarang mendengar bahwa muridnya menangis, ia segera membalikkan tubuh menghampiri Bu Song.
"Bu Song, kaulihat aku!" Bu Song mengangkat mukanya. Anak ini menggigit bibir menahan air mata dan memandang suhunya dengan mata tajam.
"Ketika aku bicara dengan Beng-kauwcu, kenapa kau lalu pergi meninggalkan aku tanpa pamit? Apakah kau sudah bosan ikut gurumu?"
Bu Song menggeleng kepalanya. "Teecu tidak bosan, akan tetapi teecu tidak mau bertemu dengan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan."
"Hehh.......?? Kau tahu nama Beng-kauwcu? Mengapa kau tidak mau bertemu dengannya?" Kim-mo Taisu benar-benar tertarik dan merasa heran. "Karena... karena... dia adalah Kong-kong (kakek) teecu....."
"Apa kau bilang??" Kim-mo Taisu melangkah maju mendekati muridnya lalu berjongkok agar dapat memandang wajah muridnya, baik-baik. "Dia itu Kakekmu? Bu Song, katakanlah siapa nama ayahmu?"
"Ayah teecu Kam Si Ek, akan tetapi teecu tidak mau pulang...., juga teecu tidak mau ikut Kong-kong, teecu hendak mencari ibu....."
Jantung Kim-mo Taisu bedebar-debar keras, lalu ia memeluk Bu Song. "Ah, mengapa ada peristiwa begini kebetulan? Bu Song... jadi kau anak Lu Sian dan Kam Si Ek...??"
Bu Song meronta dari pelukan suhunya, memandang dengan mata tebelalak. "Suhu mengenal Ayah dan Ibu?"
"Anak baik, tentu saja aku mengenal mereka!" "Kalau begitu maaf, teecu tidak dapat ikut Suhu lagi." Anak ini lalu membalikkan tubuhnya dan lari. Akan tetapi dengan tiga kali lompatan saja Kim-mo Taisu sudah menangkap tangannya.
"Kenapa?" "Teecu tidak mau Suhu kembalikkan ke rumah Ayah atau Kong-kong. Teecu hendak mencari ibu."
Kim-mo Taisu mengangguk-angguk. "Baiklah, Bu Song. Aku tidak akan mengantarmu kepada Ayah dan Kakekmu, kau ikut saja dengan kami dan kelak kubantu kau mencari Ibumu." Kembali ia menghela napas karena teringat akan cerita Pat-jiu Sin-ong Liu Gan bahwa Liu Lu Sian telah meninggalkan suami dan putera, malah telah melakukan hal-hal yang luar biasa di dunia kang-ouw, telah mencuri kitab-kitab dari Beng-kauw sendiri. Sungguh aneh, mengapa secara kebetulan sekali putera Liu Lu Sian menjadi muridnya? Pantas saja begitu berjumpa dengan anak ini, timbul rasa sayang di hatinya. Kiranya anak ini darah daging Lu Sian! Diam-diam ia menjadi girang sekali dan berjanji kepada diri sendiri untuk mengimbangi Bu Song seperti puteranya sendiri.
Maka turunlah mereka berempat dari puncak dengan wajah bahagia. Kim-mo Taisu tak pernah dilepaskan tangannya oleh isterinya, yang kadang-kadang mengucurkan air mata sambil tersenyum-senyum memandangi wajah suaminya yang dirindukannya selama bertahun-tahun. Mereka bergandeng tangan sambil bercakap-cakap menceritakan pengalaman masing-masing selama berpisah. Eng Eng yang sifatnya lincah itu pun menggandeng tangan Bu Song diajak balapan lari atau diajak memetik bunga mengejar kupu-kupu di sepanjang jalan, sambil tertawa-tawa.
Secara singkat Kim-mo Taisu menceritakan pengalamannya sejak keluar dari Neraka Bumi, pengalaman yang penuh kesengsaraan dan kepahitan sehingga membuat isterinya makin sayang kepadanya. Khu Gin Lin ikut mengucurkan air mata mendengar betapa suaminya menyesali diri sendiri sampai menjadi seperti seorang jembel gila.
Kemudian tiba gilirannya untuk bercerita. Seperti telah diceritakan oleh mendiang Ang-siauw-hwa atau Khu Kim Lin mendiang saudara kembarnya kepada Kwee Seng, dia dan Kim Lin adalah anak kembar dari seorang pangeran bernama Khu Si Cai, seorang Pangeran Kerajaan Tang. Khu Si Cai ini, adalah adik ipar Raja Muda Couw Pa Ong yang terkenal. Ketika terjadi perang yang mengakibatkan tumbangnya Kerajaan Tang, keluarga Kaisar dan para bangsawan menjadi korban.
Tak terkecuali keluarga Pangeran Khu yang ikut terbasmi. Sepasang bocah kembar yang baru berusia lima tahun itu dapat diselamatkan oleh seorang pelayan, dibawa lari keluar pada saat istana pangeran itu diserbu musuh dan dibakar. Dalam pelarian ini mereka bertemu keributan perang sehingga akhirnya Khu Gin Lin terlepas dari gandengan tangan pelayannya membuat ia terpisah dari saudara kembarnya.
Anak ini menangis sambil lari kesana kemari, jatuh bangun ditabrak orang-orang yang sedang melarikan diri dari perang. Akhirnya ia jatuh pingsan di tengah jalan hampir saja diinjak-injak orang yang sedang panik itu kalau saja tidak ditolong oleh seorang tosu (pendeta To) yang kebetulan lewat. Tosu ini sudah tua sekali, mukanya pucat dan melihat seorang anak perempuan menggeletak di jalan, hampir terinjak-injak, cepat ia menyambarnya dan membawanya pergi cepat-cepat.
"Tosu itu adalah Kwan Cin Cun, seorang tokoh Thian-san-pai yang terkenal sebagai seorang patriot pembela Kerajaan Tang, sahabat baik dari Paman Sin-jiu Couw Pa Ong." Demikian Gin Lin melanjutkan ceritanya. "Dia tidak tahu bahwa aku adalah kepaonakan Couw Pa Ong. Seperti juga Pamanku itu yang terluka hebat, malah menjadi lumpuh kedua kakinya, Suhu Kwan Cin Cu terluka parah di sebelah dalam dadanya, luka yang tak mungkin dapat disembuhkan lagi karena ia telah terkena pukulan beracun yang hebat. Dia membawaku ke Neraka Bumi dan kebetulan sekali saat itu musim kering sehingga lebih mudah memasuki Neraka Bumi. Neraka Bumi sebetulnya adalah tempat bertapa kakek gurunya, yaitu sucouw (kakek guru) dari Thian-san-pai, tempat rahasia yang hanya diketahui oleh Suhu Kwan Cin Cu. Aku dibawa ke tempat itu, lalu ia melatihku membaca kitab dan juga dasar-dasar ilmu silat. Sayang sekali, ketika aku berusia dua belas tahun, Kwan Suhu meninggal dunia karena lukanya yang memang hebat sekali."
"Hemm, seorang sakti seperti dia, mengapa menyembunyikan diri dan tidak mau keluar lagi?" Kim-mo Taisu mencela.
"Dia sudah putus harapan. Katanya kepadaku, daripada keluar dari Neraka Bumi melihat negeri dijajah orang, lebih baik ia bersembunyi dan bertapa sampai mati. Selama mendidikku, ia menanamkan kesan betapa buruknya dunia, betapa jahatnya manusia, betapa berbahayanya hidup seorang gadis muda. Oleh karena itulah maka aku lalu membuat kedok nenek-nenek dan tak pernah mau keluar dari Neraka Bumi, sampai... sampai... Thian membawamu masuk ke sana dan... dan... lahirnya Eng Eng." Jari-jari tangan Gin Lin mencengkram jari-jari tangan suaminya dan keluarlah getaran-getaran kasih dari jari tangan mereka.
Ketika mereka berempat tiba di rumah kediamannya Couw Pa Ong, ternyata kakek lumpuh itu telah berada di situ, bahkan berdiri menanti di depan pintu. Bu Song memandang dengan kagum dan juga serem kepada kakek sakti itu. Adapun Kim-mo Taisu segera maju dan memberi hormat dengan kikuk, karena sebetulnya, sebagai tokoh kang-ouw, ia enggan memberi hormat berlebihan, akan tetapi mengingat bahwa orang ini paman isterinya, tidak enak pula kalau tidak memberi hormat.
Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong tertawa bergelak, kelihatannya girang sekali. "Sudahlah, tidak perlu banyak sungkan, kita orang sendiri ha-ha-ha! Alangkah girang hatiku mendapat kenyataan bahwa suami kepoakanku adalah Kim-mo Taisu! Sungguh menyenangkan, ini berarti bahwa Dinasti Kerajaan Tang masih belum saatnya lenyap dari permukaan bumi! Kim-mo Taisu, dengan adanya engkau sebagai keluarga kami, maka kekuatan untuk memulihkan kekuasaan Kerajaan Tang menjadi makin besar.
"Maaf, Ong-ya, eh..... Paman, akan tetapi saya sama sekali tidak ada minat untuk memikirkan soal kerajaan, saya tidak akan ikut-ikut...."
"Ha-ha-ha, coba saja kita sama-sama lihat! Aku Kong Lo Sengjin adalah seorang buronan, dicap sebagai musuh kerajaan yang sekarang berkuasa, juga isterimu dianggap sebagai anggota pemberontak, keluarga bekas Kerajaan Tang. Kalau isterimu dimusuhi, apakah kau sebagai suaminya tidak?"
Kim-mo Taisu mengerutkan keningnya. "Kalau begitu, saya akan ajak isteri, anak dan murid saya untuk menjauhkan diri, mengungsi di tempat sunyi, hidup mengasingkan diri di tempat aman tenteram."
Keng Lo Sengjin membanting-banting tongkatnya ke atas tanah. "Gin Lin! Kaudengar kata-kata suamimu? Apa kau sudah lupa lagi, akan keluarga Ayah Bundamu yang terbasmi?"
"Paman, harap bersabar. Aku akan mengikuti suamiku ke manapun juga ia pergi. Tentang sakit hati keluarga, sampai mati pun keponakanmu ini tidak akan lupa."
"Haaahhh, pergilah.....!" Mulutnya bilang begitu akan tetapi kakek ini sendirilah yang pergi jauh dari rumah itu, dengan gerakan cepat sekali, berloncat-loncatan menggunakan kedua "kaki" nya yang berupa sepasang tongkat. (Bersambung)
(dwi)