Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 7 Bagian 4
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
Nenek itu tak bergerak kulit mukanya, menaruh mangkok-mangkok masakan di atas meja batu, lalu menghadapi Kwee Seng, memandang ke arah dua kitab itu, "Hemm, bangkitlah. Tak enak melihat kau sedikit-sedikit berlutut seperti itu. Kita berdua seakan-akan hidup di dunia tersendiri, terpisah dari dunia ramai, mengapa harus memakai banyak tatacara yang palsu? Kwee Seng, duduklah dan mari kita makan. Kau memilih kitab-kitab itu? Hemm, kitab tentang Samadhi dan kitab Perbintangan? Ah, justeru dua kitab itu yang aku sendiri paling tidak doyan (tidak suka)! Terlalu ruwet dan kalimat-kalimatnya amat kuno, pengertianku tentang sastra tidak sampai di situ. Kau bacalah, dan boleh memiliki dua kitab itu."
Bukan main girangnya hati Kwee Seng. "Locianpwe amat mulia, terima kasih atas pemberian..."
"Siapa memberi? Kitab-kitab itu sudah berada di sini sebelum aku lahir! Mari kita makan, perutmu kosong dan kita lanjutkan bicara nanti saja."
Untuk menghormati ajakan orang yang demikian manis budi, Kwee Seng tidak banyak cakap lagi, lalu menghadapi hidangan. Ternyata masakan itu adalah masakan ikan yang gemuk bersama sayur-sayuran yang berwarna hitam. Kelihatannya sayur itu menjijikkan, terasa gurih dan sedap. Tanpa malu-malu lagi Kwee Seng makan dengan lahapnya dan mendapat kenyataan bahwa perutnya menjadi hangat dan badannya terasa segar setelah makan hidangan aneh itu.
Sehabis makan Kwee Seng hendak membantu Si Nenek mencuci mangkok batu, akan tetapi cepat-cepat Si Nenek mencegahnya, "Mencuci mangkok adalah pekerjaan wanita, kalau kau membantu dan canggung sampai membikin pecah mangkok batu, aku harus bersusah payah membuat lagi."
Nenek itu lalu pergi lagi dan ketika Kwee Seng mengikutinya ,ternyata Neraka Bumi ini merupakan tempat tinggal yang lengkap juga. Ada air mancur yang jernih, dan disuatu sudut tumbuh bermacam sayuran aneh yang daun-daunnya berwarna hitam kehijauan, ada yang kemerahan.
Tidak kekurangan kayu bakar di situ, agaknya dari kayu-kayu dan ranting-ranting yang terbawa aliran Arus Maut, ditampung dan dikeringkan di tempat itu, dimana terdapat sinar matahari menyinar masuk melalui tebing yang tak dapat diperkirakan tingginya.
Jalan lain untuk keluar dari Neraka Bumi ini tidak ada sama sekali! Mereka telah terkurung hidup-hidup dan agaknya hanya melalui terowongan air itu saja jalan keluar masuk neraka ini! Untuk memasukinya saja mempertaruhkan nyawa, apalagi keluarnya, harus melawan arus yang begitu deras, agaknya tidak mungkin lagi.
Mendapat kenyataan ini, Kwee Seng lesu dan duka, akan tetapi kalau ia teringat akan derita hidup karena putus cinta, ditolak kasihnya oleh Liu Lu Sian, ia tidak ingin lagi kembali ke dunia ramai. Tempat itu biarpun menyeramkan dan sederhana, namun cukup enak untuk menjadi tempat tinggal.
Makanan cukup, air cukup, sinar matahari pun tidak kurang, dan di situ terdapat seorang nenek yang merawatnya begitu teliti penuh perhatian seperti seorang nenek merawat cucunya sendiri. Masih terdapat ratusan lebih kitab kuno tebal-tebal yang agaknya tak mungkin dapat habis biarpun ia baca setiap hari sampai selama ia hidup. Mau apa lagi?
Namun ternyata kitab Samadhi itu amat menarik perhatian Kwee Seng. Makin dibaca makin menarik, makin di pelajari makin sulit. Akan tetapi, setiap kali ia mencoba bersamadhi menurut petunjuk-petunjuk isi kitab,
Kwee Seng mendapat kenyataan bahwa hasilnya luar biasa. Tenaga dalamnya cepat pulih kembali, behkan ia merasa betapa dengan latihan menurut kitab itu, tenaganya menjadi makin kuat, pikirannya makin jernih dan tubuhnya terasa nyaman selalu.
Makin tekunlah ia mempelajari isi kitab dan kadang-kadang saja ia membaca kitab ke dua tentang perbintangan. Kitab ini pun menarik hatinya karena setelah membaca tentang pergerakan bintang-bintang ia mendapat pandangan yang luas tentang ilmu silat, apalagi tentang ilmu pedangnya Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang)!
Nenek itu jarang sekali bicara, namun dalam sikap diamnya, nenek itu kelihatan amat memperhatikan segala keperluannya. Bahkan pakaiannya yang robek-robek itu telah ditambali oleh Si Nenek. Seringkali Kwee Seng memutar otak untuk menerka siapa gerangan nenek ini yang tak pernah mau mengaku namanya maupun riwayatnya. Ketika Kwee Seng mencoba untuk mendesak, nenek itu bersungut-sungut dan menjawab dengan suara kesal. "Sudahlah, kausebut saja aku nenek, habis perkara. Aku tidak suka kausebut sebut locianpwe segala. Orang macam aku ini ada kepandaian apa sih?" (Bersambung)
Nenek itu tak bergerak kulit mukanya, menaruh mangkok-mangkok masakan di atas meja batu, lalu menghadapi Kwee Seng, memandang ke arah dua kitab itu, "Hemm, bangkitlah. Tak enak melihat kau sedikit-sedikit berlutut seperti itu. Kita berdua seakan-akan hidup di dunia tersendiri, terpisah dari dunia ramai, mengapa harus memakai banyak tatacara yang palsu? Kwee Seng, duduklah dan mari kita makan. Kau memilih kitab-kitab itu? Hemm, kitab tentang Samadhi dan kitab Perbintangan? Ah, justeru dua kitab itu yang aku sendiri paling tidak doyan (tidak suka)! Terlalu ruwet dan kalimat-kalimatnya amat kuno, pengertianku tentang sastra tidak sampai di situ. Kau bacalah, dan boleh memiliki dua kitab itu."
Bukan main girangnya hati Kwee Seng. "Locianpwe amat mulia, terima kasih atas pemberian..."
"Siapa memberi? Kitab-kitab itu sudah berada di sini sebelum aku lahir! Mari kita makan, perutmu kosong dan kita lanjutkan bicara nanti saja."
Untuk menghormati ajakan orang yang demikian manis budi, Kwee Seng tidak banyak cakap lagi, lalu menghadapi hidangan. Ternyata masakan itu adalah masakan ikan yang gemuk bersama sayur-sayuran yang berwarna hitam. Kelihatannya sayur itu menjijikkan, terasa gurih dan sedap. Tanpa malu-malu lagi Kwee Seng makan dengan lahapnya dan mendapat kenyataan bahwa perutnya menjadi hangat dan badannya terasa segar setelah makan hidangan aneh itu.
Sehabis makan Kwee Seng hendak membantu Si Nenek mencuci mangkok batu, akan tetapi cepat-cepat Si Nenek mencegahnya, "Mencuci mangkok adalah pekerjaan wanita, kalau kau membantu dan canggung sampai membikin pecah mangkok batu, aku harus bersusah payah membuat lagi."
Nenek itu lalu pergi lagi dan ketika Kwee Seng mengikutinya ,ternyata Neraka Bumi ini merupakan tempat tinggal yang lengkap juga. Ada air mancur yang jernih, dan disuatu sudut tumbuh bermacam sayuran aneh yang daun-daunnya berwarna hitam kehijauan, ada yang kemerahan.
Tidak kekurangan kayu bakar di situ, agaknya dari kayu-kayu dan ranting-ranting yang terbawa aliran Arus Maut, ditampung dan dikeringkan di tempat itu, dimana terdapat sinar matahari menyinar masuk melalui tebing yang tak dapat diperkirakan tingginya.
Jalan lain untuk keluar dari Neraka Bumi ini tidak ada sama sekali! Mereka telah terkurung hidup-hidup dan agaknya hanya melalui terowongan air itu saja jalan keluar masuk neraka ini! Untuk memasukinya saja mempertaruhkan nyawa, apalagi keluarnya, harus melawan arus yang begitu deras, agaknya tidak mungkin lagi.
Mendapat kenyataan ini, Kwee Seng lesu dan duka, akan tetapi kalau ia teringat akan derita hidup karena putus cinta, ditolak kasihnya oleh Liu Lu Sian, ia tidak ingin lagi kembali ke dunia ramai. Tempat itu biarpun menyeramkan dan sederhana, namun cukup enak untuk menjadi tempat tinggal.
Makanan cukup, air cukup, sinar matahari pun tidak kurang, dan di situ terdapat seorang nenek yang merawatnya begitu teliti penuh perhatian seperti seorang nenek merawat cucunya sendiri. Masih terdapat ratusan lebih kitab kuno tebal-tebal yang agaknya tak mungkin dapat habis biarpun ia baca setiap hari sampai selama ia hidup. Mau apa lagi?
Namun ternyata kitab Samadhi itu amat menarik perhatian Kwee Seng. Makin dibaca makin menarik, makin di pelajari makin sulit. Akan tetapi, setiap kali ia mencoba bersamadhi menurut petunjuk-petunjuk isi kitab,
Kwee Seng mendapat kenyataan bahwa hasilnya luar biasa. Tenaga dalamnya cepat pulih kembali, behkan ia merasa betapa dengan latihan menurut kitab itu, tenaganya menjadi makin kuat, pikirannya makin jernih dan tubuhnya terasa nyaman selalu.
Makin tekunlah ia mempelajari isi kitab dan kadang-kadang saja ia membaca kitab ke dua tentang perbintangan. Kitab ini pun menarik hatinya karena setelah membaca tentang pergerakan bintang-bintang ia mendapat pandangan yang luas tentang ilmu silat, apalagi tentang ilmu pedangnya Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang)!
Nenek itu jarang sekali bicara, namun dalam sikap diamnya, nenek itu kelihatan amat memperhatikan segala keperluannya. Bahkan pakaiannya yang robek-robek itu telah ditambali oleh Si Nenek. Seringkali Kwee Seng memutar otak untuk menerka siapa gerangan nenek ini yang tak pernah mau mengaku namanya maupun riwayatnya. Ketika Kwee Seng mencoba untuk mendesak, nenek itu bersungut-sungut dan menjawab dengan suara kesal. "Sudahlah, kausebut saja aku nenek, habis perkara. Aku tidak suka kausebut sebut locianpwe segala. Orang macam aku ini ada kepandaian apa sih?" (Bersambung)
(dwi)