Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 2 Bagian 7
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
Keadaan di situ sunyi sekali. Ketegangan mencekam dan suasana ini amat tidak enak. Pat-jiu Sin-ong Liu Gan lalu tertawa dan mengahadapi para tamunya.
"Cu-wi yang terhormat harap maafkan gangguan tadi. Nah, karena soal pemilihan calon mantu sudah disebut-sebut oleh tosu mentah tadi, terpaksa kami akui bahwa hal itu memang tidak salah. Cu-wi sudah melihat ilmu silat anakku yang rendah. Oleh karena itu, kalau ada di antara para muda gagah yang hendak memperlihatkan kepandaian, anakku akan sanggup melayaninya. Mereka yang dapat mengalahkan anakku Liu Lu Sian berarti lulus dan akan diadakan pemilihan di antara mereka yang lulus, kalau-kalau ada yang berjodoh menjadi mantukku. "Ha-ha-ha!" setelah berkata demikian dan menjura, Ketua Beng-kauw ini duduk lagi di tempatnya.
"Eh, saudara muda kwee, kau lihat tosu tadi, menjemukan tidak?"
"Memang menjemukan! Semuanya menjemukan!" kata Kwee Seng.
"Ha-ha, urusan begitu saja jangan menghilangkan kegembiraan kita. Mari minum!" Keduanya lalu minum lagi dan keadaan di situ menjadi meriah pula.
Sementara itu, Liu Lu Sian sudah meloncat ke tengah panggung lagi setelah meninggalkan pedangnya di atas meja. Hal ini berarti bahwa ia hanya akan melayani pertandingan tangan kosong, tanpa mempergunakan senjata. Ketika melihat gadis cantik itu sudah berdiri siap di tengah panggung, di antara para tamu muda timbullah suasana gaduh. Sebetulnya banyak sekali pemuda yang datang dari berbagai penjuru dunia untuk menyaksikan kecantikan gadis yang sudah terkenal itu dengan mata sendiri.
Dan sekarang, setelah melihat Liu Lu Sian, hampir semua pemuda yang hadir di situ tergila-gila dan tak seorang pun yang tidak ingin memetik tangkai bunga segar mengharum ini. Akan tetapi, menyaksikan ilmu kepandaian Lu Sian dan kehebatan ayahnya, sebagian besar para muda itu sudah menjadi gentar dan tidak berani mencoba-coba. Apalagi kalau mengingat akan pembunuhan-pembunuhan aneh di dalam rumah penginapan kemarin malam, mereka merasa ngeri dan membuat sebagian besar di antara mereka mundur teratur!
Betapapun juga, di antara mereka ada juga yang nekat karena mungkin dapat menahan hatinya yang sudah runtuh oleh kecantikan Lu Sian. Seorang pemuda berpakaian serba hijau dan yang duduknya dibagian bawah, berjalan dengan langkah lebar dan gagah ke arah panggung, kemudian sekali menggerakkan tubuhnya ia sudah meloncat ke atas panggung berhadapan dengan Lu Sian. Pemuda ini berwajah cukup ganteng, alisnya tebal dan matanya tajam, hanya mulutnya lebar membayangkan ketinggian hati. Dengan sikap gagah ia menjura dan merangkap kedua tangan di depan dada, memberi hormat kepada Liu Lu Sian sambil berkata, suaranya lantang.
"Aku bernama Han Bian Ki, dikenal sebagai Siauw-kim-liong (Naga Emas Muda) di lembah sungai Min-kiang, ingin mencoba-coba kepandaian nona Liu yang gagah."
Lu Sian melirik dan bibirnya melempar senyum manis sekali. Akan tetapi sesungguhnya melihat mulut yang agak lebar itu ia sudah merasa tidak senang kepada pemuda ini. Orang macam ini berani mau coba-coba, pikirnya. Apanya sih yang diandalkan? Tampangnya tidak menarik, dan melihat gerakan loncatannya, juga tidak banyak dapat diharapkan tentang ilmu silatnya.
"Han-enghiong, tak usah ragu-ragu. Mulailah!" katanya dengan suara dingin. (Bersambung)
Keadaan di situ sunyi sekali. Ketegangan mencekam dan suasana ini amat tidak enak. Pat-jiu Sin-ong Liu Gan lalu tertawa dan mengahadapi para tamunya.
"Cu-wi yang terhormat harap maafkan gangguan tadi. Nah, karena soal pemilihan calon mantu sudah disebut-sebut oleh tosu mentah tadi, terpaksa kami akui bahwa hal itu memang tidak salah. Cu-wi sudah melihat ilmu silat anakku yang rendah. Oleh karena itu, kalau ada di antara para muda gagah yang hendak memperlihatkan kepandaian, anakku akan sanggup melayaninya. Mereka yang dapat mengalahkan anakku Liu Lu Sian berarti lulus dan akan diadakan pemilihan di antara mereka yang lulus, kalau-kalau ada yang berjodoh menjadi mantukku. "Ha-ha-ha!" setelah berkata demikian dan menjura, Ketua Beng-kauw ini duduk lagi di tempatnya.
"Eh, saudara muda kwee, kau lihat tosu tadi, menjemukan tidak?"
"Memang menjemukan! Semuanya menjemukan!" kata Kwee Seng.
"Ha-ha, urusan begitu saja jangan menghilangkan kegembiraan kita. Mari minum!" Keduanya lalu minum lagi dan keadaan di situ menjadi meriah pula.
Sementara itu, Liu Lu Sian sudah meloncat ke tengah panggung lagi setelah meninggalkan pedangnya di atas meja. Hal ini berarti bahwa ia hanya akan melayani pertandingan tangan kosong, tanpa mempergunakan senjata. Ketika melihat gadis cantik itu sudah berdiri siap di tengah panggung, di antara para tamu muda timbullah suasana gaduh. Sebetulnya banyak sekali pemuda yang datang dari berbagai penjuru dunia untuk menyaksikan kecantikan gadis yang sudah terkenal itu dengan mata sendiri.
Dan sekarang, setelah melihat Liu Lu Sian, hampir semua pemuda yang hadir di situ tergila-gila dan tak seorang pun yang tidak ingin memetik tangkai bunga segar mengharum ini. Akan tetapi, menyaksikan ilmu kepandaian Lu Sian dan kehebatan ayahnya, sebagian besar para muda itu sudah menjadi gentar dan tidak berani mencoba-coba. Apalagi kalau mengingat akan pembunuhan-pembunuhan aneh di dalam rumah penginapan kemarin malam, mereka merasa ngeri dan membuat sebagian besar di antara mereka mundur teratur!
Betapapun juga, di antara mereka ada juga yang nekat karena mungkin dapat menahan hatinya yang sudah runtuh oleh kecantikan Lu Sian. Seorang pemuda berpakaian serba hijau dan yang duduknya dibagian bawah, berjalan dengan langkah lebar dan gagah ke arah panggung, kemudian sekali menggerakkan tubuhnya ia sudah meloncat ke atas panggung berhadapan dengan Lu Sian. Pemuda ini berwajah cukup ganteng, alisnya tebal dan matanya tajam, hanya mulutnya lebar membayangkan ketinggian hati. Dengan sikap gagah ia menjura dan merangkap kedua tangan di depan dada, memberi hormat kepada Liu Lu Sian sambil berkata, suaranya lantang.
"Aku bernama Han Bian Ki, dikenal sebagai Siauw-kim-liong (Naga Emas Muda) di lembah sungai Min-kiang, ingin mencoba-coba kepandaian nona Liu yang gagah."
Lu Sian melirik dan bibirnya melempar senyum manis sekali. Akan tetapi sesungguhnya melihat mulut yang agak lebar itu ia sudah merasa tidak senang kepada pemuda ini. Orang macam ini berani mau coba-coba, pikirnya. Apanya sih yang diandalkan? Tampangnya tidak menarik, dan melihat gerakan loncatannya, juga tidak banyak dapat diharapkan tentang ilmu silatnya.
"Han-enghiong, tak usah ragu-ragu. Mulailah!" katanya dengan suara dingin. (Bersambung)
(dwi)