Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 5 Bagian 12
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
"Kunikmati arak hingga tak sadar
akan datangnya senja
rontokan daun bunga memenuhi
lipatan bajuku
mabok kuhampiri anak sungai
mencerminkan bulan
ohhh, burung terbang pergi,
sunyi dan rawan."
Kwee Seng berhenti bernyanyi dan meneguk araknya. Biarpun hawa arak sudah memenuhi kepalanya, membuat kepalanya serasa ringan dan hendak melayang-layang namun sebagai seorang ahli silat yang sakti, telinganya menangkap suara langkah kaki orang. Sambil minum terus dan arak menetes-netes dari bibirnya, Kwee Seng melirik ke sebelah kanan. Ia masih berdiri bersandarkan langkan.
"Heh-heh-heh, matahari pergi tentu terganti munculnya bulan..." Ia berkata-kata seorang diri akan tetapi diam-diam ia memperhatikan orang-orang yang baru datang. Mengapa ada orang datang dari belakang rumah penginapan?
Ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang pemuda dan seorang gadis, ia tidak berani memandang langsung, melainkan mengerling dan memperhatikan dari sudut matanya. Alangkah herannya ketika ia mengenal wanita itu. Bukan lain adalah gadis baju putih, Lai Kui Lan, suci (kakak seperguruan) dari Jenderal Kam Si Ek!
Pakaiannya masih sutra putih seperti pagi tadi, wajahnya masih terang dan manis seperti tadi, akan tetapi ada keanehan pada diri gadis ini. Kalau pagi tadi Lai Kui Lan amat peramah dan sinar matanya bening terang, kini gadis itu sama sekali tidak menengok ke arahnya, seakan-akan tidak mengenalnya atau tidak melihatnya, padahal tak mungkin tidak melihatnya karena di tempat itu tidak ada orang lain. Dan sinar mata gadis itu, seperti kehilangan semangat, tidak sewajarnya! Apalagi lengan kiri gadis itu digandeng dengan erat oleh Si Pemuda yang memandang penuh curiga kepadanya.
Kwee Seng membalikkan tubuh, menggoyang-goyang kepalanya seperti seorang pemabokan dan mengangkat tempat arak ke arah pemuda itu dengan gerakan menawarkan. Akan tetapi diam-diam ia memperhatikan Si Pemuda. Seorang pemuda sebaya dengannya, berwajah cukup tampan akan tetapi membayangkan keanehan dan kekejaman, sepasang alisnya yang tebal hitam itu bersambung dari mata atas kiri ke atas mata kanan. Kepalanya kecil tertutup kain penutup kepala yang bentuknya lain daripada biasa. Pada muka itu terbayang sesuatu yang asing, seperti terdapat pada wajah orang-orang asing. Tubuhnya tidak berapa besar namun membayangkan kekuatan tersembunyi yang hebat, sedangkan sinar matanya pun membayangkan tenaga dalam yang kuat. Diam-diam Kwee Seng terkejut dan menduga-duga siapa gerangan pemuda ini, dan mengapa pula Lai Kui Lan ikut dengan pemuda ini dengan sikap seolah-olah seekor domba yang dituntun ke penjagalan.
Seekor domba yang dituntun ke penjagalan! Kalimat ini seakan-akan berdengung di telinga Kwee Seng, membuatnya termenung lupa akan araknya ketika dua orang itu sudah memasuki kamar tengah, mendengar suara Si Pemuda yang berat dan parau minta kamar dijawab oleh pengurus rumah penginapan. Kemudian, masih lupa akan araknya, Kwee Seng berjalan perlahan menuju ke kamarnya sendiri, kalimat tadi masih terngiang di telinganya. Mungkin, bisik hatinya. Mungkin sekali Lai Kui Lan menjadi domba dan pemuda itu kiranya patut pula menjadi seorang penyembelih domba, seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul). Kalau tidak demikian, mengapa sikap Lai Kui Lan begitu aneh seperti orang terkena sihir? Seperti seorang yang melek akan tetapi tidak sadar?
Makin gelap keadaan cuaca di luar hotel, makin gelap pula pikirnya Kwee Seng menghadapi teka-teki itu. Hatinya pernah penasaran, biarpun beberapa kali ia meyakinkan hatinya bahwa kehadiran Lai Kui Lan bersama seorang pemuda itu sama sekali bukan urusannya dan bahwa tidak patut mengintai keadaan muda-mudi yang mungkin sedang di lautan madu asmara, namun kecurigaannya mendesak-desaknya sehingga tak lama kemudian, di dalam kegelapan malam, Kwee Seng sudah melayang naik ke atas genteng hotel dan melakukan pengintaian. Hal ini ia lakukan dengan guci arak masih di tangan, karena untuk melakukan pekerjaan yang berlawanan dengan kesusilaan ini ia harus menguatkan hati dengan minum arak.
Akan tetapi ketika ia mengintai ke dalam kamar dua orang itu, hampir saja ia terjengkang saking marah dan kagetnya. Tak salah lagi apa yang dikuatirkan hatinya! Ia melihat Lai Kui Lan terbaring telentang di atas pembaringan dalam keadaan lemas tak dapat bergerak, mukanya yang pucat itu basah oleh air mata, terang bahwa gadis itu tertotok hiat-to (jalan darah) di bagian thian-hu hiat dan mungkin juga jalan darah yang membuat gadis itu menjadi gagu! Akan tetapi air mata itu menceritakan segalanya! Menceritakan bahwa keadaan gadis seperti itu bukanlah atas kehendak Si Gadis sendiri, melainkan terpaksa dan karena tak berdaya. Adapun pemuda tadi, duduk di tepi pembaringan sambil berkata lirih membujuk-bujuk. (Bersambung)
"Kunikmati arak hingga tak sadar
akan datangnya senja
rontokan daun bunga memenuhi
lipatan bajuku
mabok kuhampiri anak sungai
mencerminkan bulan
ohhh, burung terbang pergi,
sunyi dan rawan."
Kwee Seng berhenti bernyanyi dan meneguk araknya. Biarpun hawa arak sudah memenuhi kepalanya, membuat kepalanya serasa ringan dan hendak melayang-layang namun sebagai seorang ahli silat yang sakti, telinganya menangkap suara langkah kaki orang. Sambil minum terus dan arak menetes-netes dari bibirnya, Kwee Seng melirik ke sebelah kanan. Ia masih berdiri bersandarkan langkan.
"Heh-heh-heh, matahari pergi tentu terganti munculnya bulan..." Ia berkata-kata seorang diri akan tetapi diam-diam ia memperhatikan orang-orang yang baru datang. Mengapa ada orang datang dari belakang rumah penginapan?
Ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang pemuda dan seorang gadis, ia tidak berani memandang langsung, melainkan mengerling dan memperhatikan dari sudut matanya. Alangkah herannya ketika ia mengenal wanita itu. Bukan lain adalah gadis baju putih, Lai Kui Lan, suci (kakak seperguruan) dari Jenderal Kam Si Ek!
Pakaiannya masih sutra putih seperti pagi tadi, wajahnya masih terang dan manis seperti tadi, akan tetapi ada keanehan pada diri gadis ini. Kalau pagi tadi Lai Kui Lan amat peramah dan sinar matanya bening terang, kini gadis itu sama sekali tidak menengok ke arahnya, seakan-akan tidak mengenalnya atau tidak melihatnya, padahal tak mungkin tidak melihatnya karena di tempat itu tidak ada orang lain. Dan sinar mata gadis itu, seperti kehilangan semangat, tidak sewajarnya! Apalagi lengan kiri gadis itu digandeng dengan erat oleh Si Pemuda yang memandang penuh curiga kepadanya.
Kwee Seng membalikkan tubuh, menggoyang-goyang kepalanya seperti seorang pemabokan dan mengangkat tempat arak ke arah pemuda itu dengan gerakan menawarkan. Akan tetapi diam-diam ia memperhatikan Si Pemuda. Seorang pemuda sebaya dengannya, berwajah cukup tampan akan tetapi membayangkan keanehan dan kekejaman, sepasang alisnya yang tebal hitam itu bersambung dari mata atas kiri ke atas mata kanan. Kepalanya kecil tertutup kain penutup kepala yang bentuknya lain daripada biasa. Pada muka itu terbayang sesuatu yang asing, seperti terdapat pada wajah orang-orang asing. Tubuhnya tidak berapa besar namun membayangkan kekuatan tersembunyi yang hebat, sedangkan sinar matanya pun membayangkan tenaga dalam yang kuat. Diam-diam Kwee Seng terkejut dan menduga-duga siapa gerangan pemuda ini, dan mengapa pula Lai Kui Lan ikut dengan pemuda ini dengan sikap seolah-olah seekor domba yang dituntun ke penjagalan.
Seekor domba yang dituntun ke penjagalan! Kalimat ini seakan-akan berdengung di telinga Kwee Seng, membuatnya termenung lupa akan araknya ketika dua orang itu sudah memasuki kamar tengah, mendengar suara Si Pemuda yang berat dan parau minta kamar dijawab oleh pengurus rumah penginapan. Kemudian, masih lupa akan araknya, Kwee Seng berjalan perlahan menuju ke kamarnya sendiri, kalimat tadi masih terngiang di telinganya. Mungkin, bisik hatinya. Mungkin sekali Lai Kui Lan menjadi domba dan pemuda itu kiranya patut pula menjadi seorang penyembelih domba, seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul). Kalau tidak demikian, mengapa sikap Lai Kui Lan begitu aneh seperti orang terkena sihir? Seperti seorang yang melek akan tetapi tidak sadar?
Makin gelap keadaan cuaca di luar hotel, makin gelap pula pikirnya Kwee Seng menghadapi teka-teki itu. Hatinya pernah penasaran, biarpun beberapa kali ia meyakinkan hatinya bahwa kehadiran Lai Kui Lan bersama seorang pemuda itu sama sekali bukan urusannya dan bahwa tidak patut mengintai keadaan muda-mudi yang mungkin sedang di lautan madu asmara, namun kecurigaannya mendesak-desaknya sehingga tak lama kemudian, di dalam kegelapan malam, Kwee Seng sudah melayang naik ke atas genteng hotel dan melakukan pengintaian. Hal ini ia lakukan dengan guci arak masih di tangan, karena untuk melakukan pekerjaan yang berlawanan dengan kesusilaan ini ia harus menguatkan hati dengan minum arak.
Akan tetapi ketika ia mengintai ke dalam kamar dua orang itu, hampir saja ia terjengkang saking marah dan kagetnya. Tak salah lagi apa yang dikuatirkan hatinya! Ia melihat Lai Kui Lan terbaring telentang di atas pembaringan dalam keadaan lemas tak dapat bergerak, mukanya yang pucat itu basah oleh air mata, terang bahwa gadis itu tertotok hiat-to (jalan darah) di bagian thian-hu hiat dan mungkin juga jalan darah yang membuat gadis itu menjadi gagu! Akan tetapi air mata itu menceritakan segalanya! Menceritakan bahwa keadaan gadis seperti itu bukanlah atas kehendak Si Gadis sendiri, melainkan terpaksa dan karena tak berdaya. Adapun pemuda tadi, duduk di tepi pembaringan sambil berkata lirih membujuk-bujuk. (Bersambung)
(dwi)