Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid V Bagian 1

Senin, 26 Juni 2017 - 18:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid V Bagian 1
Suling Emas, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Suling Emas

MENDENGAR pertanyaan ini kakek itu memandang heran. "Kongcu datang dari manakah sehingga tidak tahu keadaan disini? Dimana-mana terdapat manusia-manusia serigala, bala tentara gubernur merajalela menganggu penduduk dan merampok harta memperkosa wanita dengan alasan membasmi pemberontak!

Semua orang takut menentang Gubernur Li, hanya Kam-goan swe seorang yang berani melindungi kami. Kongcu dan Nona sebagai orang-orang asing sebaiknya jangan melakukan perjalanan di daerah ini, berbahaya." Setelah berkata demikian, kakek itu melanjutkan perjalanan bersama rombongan pengungsi yang terdiri dari tiga puluh orang lebih itu.

"Lopek, masih jauhkah benteng itu dari sini?" tiba-tiba Lu Sian bertanya sambil mengajukan kudanya. Kakek itu menoleh dan memandang, akan tetapi keningnya berkerut, tidak mau menjawab, malah lalu berjalan lagi dan timbul kemarahannya, membentak,

"Eh, Kakek! Apakah kau tuli dan bisu?"

Kakek itu cemberut, menoleh lagi dan mengomel. "Tidak ada wanita baik di jaman edan ini!"

Tentu saja Lu Sian makin marah. Melihat ini, Kwee Seng khawatir kalau-kalau Liu Sian akan turun tangan, maka ia cepat menggeprak kudanya, maju ke depan Lu Sian dan berkata kepada kakek itu.

"Lopek, sahabatku ini bertanya baik-baik, mengapa kau tidak mau menjawab? harap jangan salah melihat orang, sahabatku ini seorang pendekar wanita yang berhati mulia."

Lenyap kemarahan Lu Sian dan ia tersenyum-senyum mendengar pujian ini. Adapun kakek itu lalu membalikkan tubuh, memandang ragu kepada Lu Sian lalu menjura. "Harap nona suka maafkan. Baru pagi tadi sini lewat pula tiga orang gadis seperti nona, akan tetapi mereka itu kasar bukan main, bahkan lima orang kami mereka pukul dengan cambuk karena kurang cepat minggir untuk mereka lewat dengan kuda mereka yang besar-besar. Kalau nona hendak mengetahui, benteng itu tidak jauh lagi, kurang lebih tiga li lagi dari sini."

Setelah rombongan itu bergerak lagi dan Kwee Seng mulai menggerakkan kendali untuk melanjutkan perjalanan, Lu Sian menyentuh lengannya dan berkata,

"Kwee-koko, kita berhenti disini, mencari tempat mengaso sampai nanti malam."

"Eh, mengapa begitu? Hari masih siang, dan perjalanan masih jauh. Ada keperluan apa yang harus berhenti di sini?"

"Keadaan benteng itu, Jenderal Kam itu, dan tiga orang gadis yang agaknya juga pergi ke sana, menarik hatiku untuk menyelidiki. Malam nanti aku hendak menyelidiki ke sana, melihat keadaan dan mencari tahu apakah sebenarnya yang terjadi."

"Ah, Moi-moi, mengapa kau mencari urusan yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kita? Urusan Jenderal Kam adalah urusan negara, dan selama orang menyangkutkan diri dengan urusan negara, maka tak boleh tidak ia mempunyai cita-cita yang kotor. Tak perlu kita mencampurinya, Moi-moi."

Akan tetapi lu Sian sudah memutar kudanya dan mencari tempat yang enak untuk mengaso dan bermalam. Akhirnya ia berhenti di bawah pohon yang besar, lalu turun dari kudanya. Terpaksa Kwee Seng mengikutinya.

"Sudahlah, koko, aku lapar karena terlalu banyak bicara. Biar kucarikan daging untuk teman roti kering kita." Gadis itu meloncat dan lenyap memasuki hutan yang gelap. Tak lama kemudian ia tertawa-tawa sambil memegang dua ekor kelinci gemuk pada telinganya, Kwee Seng tidak berkata apa-apa, hanya membantu gadis itu menguliti kelinci dan membakar dagingnya. Setelah mereka makan kenyang, Lu Sian merebahkan diri di atas rumput yang gemuk empuk. Tak sampai sepuluh menit kemudian gadis itu sudah tidur nyenyak, mukanya miring berbantal tangan, napasnya panjang teratur, pipinya kemerahan, bulu matanya yang merapat kelihatan panjang membentuk bayangan pada pipi.

Berjam-jam Kwee Seng hanya duduk sambil memandangi tubuh yang rebah miring didepannya. Pikirannya melayang-layang. Alangkah cantiknya gadis ini. Rambutnya yang hitam itu agak kacau, sebagian rambut yang terlepas dari ikatan menutupi pipi dan kening. Dahi yang halus putih itu agak basah oleh peluh karena hawa memang panas menjelang senja itu. Kwee Seng melihat ini lalu memadamkan api unggun yang tadi dipakai memanggang daging kelinci. Kemudian ia duduk lagi menghadapi Lu Sian sambil menikmati wajah ayu itu. (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0501 seconds (0.1#10.140)