Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 18 Bagian 1
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
KIM-MO TAISU tertawa bergelak. Ia cukup berpengalaman, dan ia dapat menduga bahwa calon lawannya itu mencari alasan kosong. Entah tipu muslihat apa yang hendak digunakannya tiga hari kemudian di Puncak Tapie-san. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar. "Heh-heh-heh, tiga malam yang akan datang kebetulan bulan gelap. Aku akan menantimu pagi-pagi pada hari ke empat di puncak. Nah, aku pergi!" Setelah melenggang keluar dari ruangan itu, terus berjalan dengan langkah seenaknya dan tidak mempedulikan pandang mata para pengemis yang menjaga di luar gedung. Setelah keluar dari gedung, tubuhnya bergerak cepat dan sebentar saja lenyaplah bayangannya dari pandang mata pengemis yang tebelalak lebar penuh kekaguman dan juga ketakutan. Baru kali ini mereka melihat ada orang yang berani menantang kai-ong mereka dapat keluar dengan selamat dan seenaknya!
***
Suhu...!!" Bu Song berseru girang sekali ketika ia melihat Kim-mo Taisu duduk bersamadhi di bawah pohon. Kedua kakinya sudah merasa amat lelah mendaki bukit yang amat sukar itu, akan tetapi begitu melihat suhunya, semangatnya timbul dan ia berlari terengah-engah di jalan tanjakan, menghampiri suhunya.
Kim-mo Taisu membuka kedua matanya dan tersenyum girang memandang muridnya. Bocah yang sama sekali tidak pandai ilmu silat ini telah membuktikan keberanian luar biasa dan keuletan yang mengagumkan bahwa ia dapat juga menyusulnya sampai ke lereng gunung yang merupakan perjalanan amat sukar bagi orang yang tidak terlatih ilmu silat. Muridnya itu datang dengan muka agak pucat dan tubuh membayangkan kelelahan hebat, akan tetapi pundi-pundi uang itu masih digendongnya dan semangat besar masih bernyala-nyala di sepasang mata yang bersinar-sinar itu.
"Bu Song, lekas kau duduk bersila di sini. Kau harus belajar bagaimana memulihkan tenagamu kembali dan menghilangkan lelah."
Bu Song tidak membantah. Diturunkannya pundi-pundi dari pundaknya, kemudian ia duduk bersila di depan gurunya, meniru kedudukan kaki yang ditekuk tumpang tindih.
"Tarik napas dalam-dalam sewajarnya tanpa paksaan, busungkan dada kempiskan perut, tarik terus yang panjang......." Kim-mo Taisu memberi petunjuk sambil memberi contoh. Bu Song memandang gurunya dan mentaati perintah ini, terus menarik napas dan merasa betapa dadanya penuh sekali.
"Keluarkan napas, perlahan-lahan sewajarnya tanpa paksaan, kempiskan dada busungkan perut. Nah, begitu ulangi sampai sembilan kali, makin panjang makin baik."
Otomatis Bu Song mentaati perintah suhunya ini, makin lama makin baik cara ia bernapas. Kemudian sambil masih bersila, Kim-mo Taisu mengajar muridnya mengatur napas, menarik napas dari dada ke perut, menahannya ke tengah pusar sampai perut terasa panas hangat, memberi petunjuk pula cara menguasai napas. "Kau umpamakan napasmu seekor naga yang sukar dikendalikan, akan tetapi kau harus dapat menunggang naga itu, kaubiarkan dirimu dibawa terbang keluar masuk, terus kautunggangi jangan lepaskan sedikitpun juga, akhirnya kau tentu akan mampu menguasai dan menaklukannya." Demikianlah Kim-mo Taisu memberi petunjuk. Kemudian ia mengajar muridnya untuk sambil duduk bersila menguasai napas, duduknya tegak dengan punggung lurus, muka lurus ke depan, pandang mata menunduk ke arah ujung hidung, seluruh panca indera dipusatkan "menunggang naga". Inilah inti pelajaran ilmu bersamadhi, dan siulian atau samadhi ini pula menjadi dasar pelajaran ilmu silat tinggi. Tentu saja Bu Song sama sekali tidak mengira bahwa gurunya mulai menurunkan ilmu yang menjadi dasar ilmu silat tinggi.
Diam-diam Kim-mo Taisu kagum bukan main menyaksikan kekerasan hati dan kemauan muridnya. Sayang muridnya terlalu membenci ilmu silat sehingga sukarlah baginya untuk melatih ilmu silat. Bocah ini yang baru saja tiba setelah melalui perjalanan yang amat melelahkan, kini sanggup untuk bersamadhi, sungguhpun baru saja dimulai hari ini, dari pagi sampai sore!
"Cukuplah!" kata Kim-mo Taisu sambil meraba punggung muridnya. Bu Song bagaikan sadar dari mimpi indah dan dengan hati girang ia merasa betapa tubuhnya sehat dan segar, tidak merasakan kelelahan lagi.
"Kau harus melatih siulian setiap kali ada waktu kosong. Dengan latihan ini, tubuhmu akan menjadi sehat, tidak mudah lelah dan tidak mudah diserang penyakit."
"Kapankah Suhu akan mengajarkan ilmu menulis indah kepada teecu (murid)?" (Bersambung)
KIM-MO TAISU tertawa bergelak. Ia cukup berpengalaman, dan ia dapat menduga bahwa calon lawannya itu mencari alasan kosong. Entah tipu muslihat apa yang hendak digunakannya tiga hari kemudian di Puncak Tapie-san. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar. "Heh-heh-heh, tiga malam yang akan datang kebetulan bulan gelap. Aku akan menantimu pagi-pagi pada hari ke empat di puncak. Nah, aku pergi!" Setelah melenggang keluar dari ruangan itu, terus berjalan dengan langkah seenaknya dan tidak mempedulikan pandang mata para pengemis yang menjaga di luar gedung. Setelah keluar dari gedung, tubuhnya bergerak cepat dan sebentar saja lenyaplah bayangannya dari pandang mata pengemis yang tebelalak lebar penuh kekaguman dan juga ketakutan. Baru kali ini mereka melihat ada orang yang berani menantang kai-ong mereka dapat keluar dengan selamat dan seenaknya!
***
Suhu...!!" Bu Song berseru girang sekali ketika ia melihat Kim-mo Taisu duduk bersamadhi di bawah pohon. Kedua kakinya sudah merasa amat lelah mendaki bukit yang amat sukar itu, akan tetapi begitu melihat suhunya, semangatnya timbul dan ia berlari terengah-engah di jalan tanjakan, menghampiri suhunya.
Kim-mo Taisu membuka kedua matanya dan tersenyum girang memandang muridnya. Bocah yang sama sekali tidak pandai ilmu silat ini telah membuktikan keberanian luar biasa dan keuletan yang mengagumkan bahwa ia dapat juga menyusulnya sampai ke lereng gunung yang merupakan perjalanan amat sukar bagi orang yang tidak terlatih ilmu silat. Muridnya itu datang dengan muka agak pucat dan tubuh membayangkan kelelahan hebat, akan tetapi pundi-pundi uang itu masih digendongnya dan semangat besar masih bernyala-nyala di sepasang mata yang bersinar-sinar itu.
"Bu Song, lekas kau duduk bersila di sini. Kau harus belajar bagaimana memulihkan tenagamu kembali dan menghilangkan lelah."
Bu Song tidak membantah. Diturunkannya pundi-pundi dari pundaknya, kemudian ia duduk bersila di depan gurunya, meniru kedudukan kaki yang ditekuk tumpang tindih.
"Tarik napas dalam-dalam sewajarnya tanpa paksaan, busungkan dada kempiskan perut, tarik terus yang panjang......." Kim-mo Taisu memberi petunjuk sambil memberi contoh. Bu Song memandang gurunya dan mentaati perintah ini, terus menarik napas dan merasa betapa dadanya penuh sekali.
"Keluarkan napas, perlahan-lahan sewajarnya tanpa paksaan, kempiskan dada busungkan perut. Nah, begitu ulangi sampai sembilan kali, makin panjang makin baik."
Otomatis Bu Song mentaati perintah suhunya ini, makin lama makin baik cara ia bernapas. Kemudian sambil masih bersila, Kim-mo Taisu mengajar muridnya mengatur napas, menarik napas dari dada ke perut, menahannya ke tengah pusar sampai perut terasa panas hangat, memberi petunjuk pula cara menguasai napas. "Kau umpamakan napasmu seekor naga yang sukar dikendalikan, akan tetapi kau harus dapat menunggang naga itu, kaubiarkan dirimu dibawa terbang keluar masuk, terus kautunggangi jangan lepaskan sedikitpun juga, akhirnya kau tentu akan mampu menguasai dan menaklukannya." Demikianlah Kim-mo Taisu memberi petunjuk. Kemudian ia mengajar muridnya untuk sambil duduk bersila menguasai napas, duduknya tegak dengan punggung lurus, muka lurus ke depan, pandang mata menunduk ke arah ujung hidung, seluruh panca indera dipusatkan "menunggang naga". Inilah inti pelajaran ilmu bersamadhi, dan siulian atau samadhi ini pula menjadi dasar pelajaran ilmu silat tinggi. Tentu saja Bu Song sama sekali tidak mengira bahwa gurunya mulai menurunkan ilmu yang menjadi dasar ilmu silat tinggi.
Diam-diam Kim-mo Taisu kagum bukan main menyaksikan kekerasan hati dan kemauan muridnya. Sayang muridnya terlalu membenci ilmu silat sehingga sukarlah baginya untuk melatih ilmu silat. Bocah ini yang baru saja tiba setelah melalui perjalanan yang amat melelahkan, kini sanggup untuk bersamadhi, sungguhpun baru saja dimulai hari ini, dari pagi sampai sore!
"Cukuplah!" kata Kim-mo Taisu sambil meraba punggung muridnya. Bu Song bagaikan sadar dari mimpi indah dan dengan hati girang ia merasa betapa tubuhnya sehat dan segar, tidak merasakan kelelahan lagi.
"Kau harus melatih siulian setiap kali ada waktu kosong. Dengan latihan ini, tubuhmu akan menjadi sehat, tidak mudah lelah dan tidak mudah diserang penyakit."
"Kapankah Suhu akan mengajarkan ilmu menulis indah kepada teecu (murid)?" (Bersambung)
(dwi)