Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 7 Bagian 1

Rabu, 12 Juli 2017 - 18:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 7 Bagian 1
Suling Emas, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Suling Emas

BETAPA tidak akan ngeri hatinya melihat bahwa tak jauh di depannya, air itu tertumbuk pada tebing lain yang juga tinggi dan kiranya air itu memasuki terowongan di dalam tebing! Bagaimana akalnya? Untuk mendarat tidak mungkin, kanan kiri tebing tinggi dan licin, di depanpun tebing yang sama, menahan arus air tak mungkin! Celaka, pikirnya, kali ini aku akan dibanting hancur oleh arus air kepada tebing di depan! Akan tetapi ia tidak mau menyerah kepada maut begitu saja selama ia masih dapat berikhtiar. Ia cepat mengambil napas sampai memenuhi rongga dadanya, kemudian ia menyelam sedalam mungkin.

Ikhtiarnya ini menyelamatkannya dari cengkraman maut. Arus air pecah-pecah bagian atasnya menghantam tebing, akan tetapi di bagian bawah dengan kecepatan luar biasa menerobos ke dalam sebuah lubang yang lebar garis tengahnya kurang lebih dua meter. Kalau saja terowongan di dalam perut gunung ini terlalu panjang, tentu Kwee Seng takkan tertolong lagi nyawanya.

Ia terseret arus yang amat cepat, ia hanya menahan napas meramkan mata, sedapat mungkin mengerahkan sin-kang di tubuhnya karena tubuhnya mulai terbentur-bentur batu. Kalau ia bukan seorang gemblengan, tentu sudah remuk tulang-tulangnya. Akan tetapi siksaan alam ini terlalu hebat dan ia sudah hampir pingsan ketika tiba-tiba ia melihat cahaya terang di atas.

Cepat ia menggerakkan kedua kakinya yang terasa sakit-sakit itu dan tubuhnya mumbul ke atas. Ia masih berada dalam terowongan yang amat besar, merupakan gua panjang yang amat menyeramkan. Air mengalir di tengah terowongan, kini air makin melebar dan makin dangkal. Di atas bergantungan batu-batu yang meruncing seperti tombak besar, dinding yang hijau berkilauan terkena cahaya matahari yang entah menembus dari mana. Karena air amat dangkal akhirnya tubuhnya yang lemas itu tersangkut pada batu.

Kwee Seng mengeluh, kepalanya puyeng, tubuhnya sakit-sakit semua, lemas dan tangan kanannya kaku lumpuh akibat racun jarum yang masih menancap didalam pundak kanannya. Rambut awut-awutan menutupi muka, pakaiannya yang basah kuyup itu tidak karuan macamnya, robek sana-sini. Ia mengerahkan tenaganya untuk bangkit berdiri. Kiranya air hanya tinggal sepaha dalamnya.

Ketika ia merangkak minggir, air makin dangkal akan tetapi ia beberapa kali terjatuh dan kakinya tersangkut batu. Air yang amat jernih, akan tetapi pandang mata Kwee Seng amat gelap, pikirannya amat keruh. Ia tidak tahu bahwa tak jauh dari situ berdiri seorang wanita tua, seorang nenek-nenek yang memandang ke arahnya penuh perhatian. Nenek ini tubuhnya kecil kurus, mukanya amat tua penuh keriput, pakaiannya bersih akan tetapi penuh tambalan. Mata nenek ini terang jernih bersinar-sinar.

"Sungguh aneh seorang manusia terbawa arus maut bisa sampai ke sini dalam keadaan masih hidup!" Nenek itu berkata penuh keheranan, akan tetapi ia segera melangkah, gerakannya cepat dan cekatan sekali ketika ia melihat Kwee Seng mengeluh panjang dan terguling roboh di tepi sungai, tak bergerak lagi karena sudah pingsan.

Amatlah mengherankan dan mengagumkan betapa nenek-nenek tua renta yang kurus itu setelah memeriksa nadi tangan Kwee Seng, lalu mengangkat tubuh Kwee Seng bagaikan mengangkat tubuh seorang bayi saja, begitu mudah dan ringan, lalu membawa tubuh Kwee Seng ke sebuah ruangan dibawah tanah yang tak jauh dari sungai itu, melalui terowongan yang berlika-liku. Dengan hati-hati nenek itu merebahkan tubuh Kwee Seng di atas pembaringan batu, kemudian sekali lagi memeriksa tubuhnya. Ia mengeluarkan suara kaget ketika melihat betapa pundak kanan Kwee Seng berwarna hitam.

"Aihhh, kejamnya orang yang menggunakan jarum beracun!" serunya, cepat-cepat ia mengambil obat dari pojok dimana terdapat meja dan lemari batu, kemudian ia menggunakan sebatang pisau merobek kulit pundak Kwee Seng, mengeluarkan jarum hitam yang bersarang di situ.

Dengan beberapa kali pijatan di sekitar pundak ia mengeluarkan darah hitam dan menempelkan sebuah batu yang warnanya putih dan ringan sekali, besarnya sekepalan tangan. Aneh bukan main, batu putih ringan itu dalam sekejap mata menjadi berubah hitam dan berat, dan kiranya darah yang berada di sekitar luka telah disedot oleh batu itu! Setelah mencuci batu dan mengeringkannya kembali di atas api, nenek itu kembali menggunakan batu mujijat untuk menyedot darah. Sampai lima kali hal ini dilakukan, setelah batu itu warnanya berubah merah, barulah ia berhenti, menggunakan obat bubuk dituangkan ke dalam luka dan membalut luka itu dengan sehelai kain sutera yang agaknya adalah sebuah ikat pinggang. (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0653 seconds (0.1#10.140)