Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 15 Bagian 9
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
Di halaman pondok yang tadinya dijadikan sarang asmara sepasang orang muda itu, di mana setiap hari orang-orang dusun melihat mereka berkasih-kasihan, kini pebuh dengan tubuh bergelimpangan, ada yang sudah mati, ada yang terluka parah, dan kesemuanya mandi darah! Ngeri sekali pemandangan itu, akan tetapi karena tidak ada pertempuran lagi, orang-orang dusun mulai turun tangan menolong mereka sedapatnya.
Semenjak peristiwa ini, mulailah nama Liu Lu Sian dikenal sebagai seorang wanita yang selain cantik jelita dan mudah menggoncangkan batin dan membobolkan pertahanan hati para pria, juga amat ganas dan kejam menghadapi mereka yang ia anggap musuh. Pendeknya, bagi seorang pria yang disuka oleh Lu Sian, wanita ini tentu akan menjadi seorang dewi khayangan yang penuh dengan madu, mesra dan menggairahkan. Sebaliknya bagi pria yang dibencinya, Lu Sian, tentu akan berubah menjadi iblis betina yang haus darah. Para piauwsu yang tidak mati, tentu saja merupakan pemberita yang aktif tentang diri Lu Sian sehingga sebentar saja Lu Sian dijuluki Tok-siauw-kwi (Setan Kecil Beracun)!
***
Seorang anak kecil berusia sembilan tahun pergi dari rumah memasuki dunia luar yang tak pernah dikenalnya, tanpa sanak kadang, tanpa tujuan, sudah tentu merupakan hal yang amat sengsara. Sembilan daripada sepuluh orang anak kecil tentu akan menangis dan minta diantar pulang oleh siapa saja yang dijumpainya kalau ia sudah kehabisan bekal dan tidak tahu harus makan apa dan minta tolong kepada siapa.
Akan tetapi, Bu Song biarpun berusia sembilan tahun, namun ia bukan anak sembarangan. Semenjak berusia lima tahun ia sudah diajar membaca dan menulis. Setiap hari ia dijejali kitab-kitab dan pada masa itu, yang disebut kitab pelajaran hanyalah kitab-kitab filsafat, kitab-kitab sajak dan agama yang isinya berat-berat, segalanya ada hubungannya dengan kebatinan. Sekecil itu, Bu Song sudah mempunyai pemandangan yang luas, sudah dapat mempergunakan kebijakan dan dapat menangkap suara batin.
Ia adalah putera Jenderal Kam Si Ek, seorang pahlawan yang patriotik, yang berdisiplin dan berbudi. Ibunya adalah seorang yang memiliki watak aneh dan keras membaja. Agaknya Bu Song mewarisi watak ibunya ini, maka hatinya keras, kemauannya besar dan kenekatannya bulat.
Sekali ia mengambil keputusan, akan diterjangnya terus tanpa takut apa pun juga. Kekerasan hati inilah yang banyak menolongnya dalam perantauan yang tiada tujuan ini, kekerasan hati yang takkan dapat dilemahkan oleh ancaman maut sekalipun. Kemudian kebijaksanaan dan disiplin diri yang ia warisi dari ayahnya membuat ia dapat saja mencari jalan hidup.
Bekalnya tidak banyak, namun sebelum habis sama sekali, ia sudah mempergunakan tenaganya untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Ia tidak malu-malu untuk minta pekerjaan betapa kasar pun di setiap dusun, sekedar minta upah sebagai pengisi perutnya.
Memotong kayu, menjaga sawah, mengembala kerbau, menggiling tahu, menuai gandum, bahkan mengangkut batu kali, apa saja akan dikerjakannya. Tenaga anak ini memang besar dan tubuhnya juga tegap. Namun tak pernah tinggal terlalu lama di sebuah tempat, karena ia mau bekerja hanya untuk menyambung hidupnya.
Biarpun ayah bundanya adalah jagoan silat yang jarang ditemui tandingannya, namun Bu Song yang berusia sembilan tahun itu sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Ia pun tidak ingin belajar silat, karena sejak kecil, kitab-kitab filsafat dan nasihat-nasihat ayahnya membuat ia mempunyai pandangan rendah terhadap ahli silat.
Ahli silat hanya menyeretmu ke dalam pekerjaan kasar dan kotor, demikian nasihat ayahnya. Menjadi tentara, menjadi tukang pukul, menjadi pengawal, atau menjadi perampok! Kesemuanya membutuhkan ilmu silat untuk melawan musuh, untuk membunuh orang lain dalam permusuhan pribadi! Memang ada yang dapat mempergunakan ilmu silat untuk menjadi pendekar dan berbakti untuk negera, membasmi musuh negara, akan tetapi berapa banyaknya? Kecil sekali dibandingkan dengan yang menyeleweng menjadi penjahat mengandalkan kekuatan dan kepandaian silatnya.
Inilah sebabnya mengapa Bu Song sama sekali tidak bisa ilmu silat, namun ia pandai bersajak, pandai pula menulis dan menggambar huruf hias. Karena kekerasan wataknyalah maka ia "memaksa diri" untuk membenci ilmu silat, padahal wataknya yang keras, jujur, tubuhnya yang tegap dan tenaganya yang besar itu menunjukkan bahwa ia memiliki bakat baik untuk menjadi pendekar, bukan menjadi seorang sastrawan! (Bersambung)
Di halaman pondok yang tadinya dijadikan sarang asmara sepasang orang muda itu, di mana setiap hari orang-orang dusun melihat mereka berkasih-kasihan, kini pebuh dengan tubuh bergelimpangan, ada yang sudah mati, ada yang terluka parah, dan kesemuanya mandi darah! Ngeri sekali pemandangan itu, akan tetapi karena tidak ada pertempuran lagi, orang-orang dusun mulai turun tangan menolong mereka sedapatnya.
Semenjak peristiwa ini, mulailah nama Liu Lu Sian dikenal sebagai seorang wanita yang selain cantik jelita dan mudah menggoncangkan batin dan membobolkan pertahanan hati para pria, juga amat ganas dan kejam menghadapi mereka yang ia anggap musuh. Pendeknya, bagi seorang pria yang disuka oleh Lu Sian, wanita ini tentu akan menjadi seorang dewi khayangan yang penuh dengan madu, mesra dan menggairahkan. Sebaliknya bagi pria yang dibencinya, Lu Sian, tentu akan berubah menjadi iblis betina yang haus darah. Para piauwsu yang tidak mati, tentu saja merupakan pemberita yang aktif tentang diri Lu Sian sehingga sebentar saja Lu Sian dijuluki Tok-siauw-kwi (Setan Kecil Beracun)!
***
Seorang anak kecil berusia sembilan tahun pergi dari rumah memasuki dunia luar yang tak pernah dikenalnya, tanpa sanak kadang, tanpa tujuan, sudah tentu merupakan hal yang amat sengsara. Sembilan daripada sepuluh orang anak kecil tentu akan menangis dan minta diantar pulang oleh siapa saja yang dijumpainya kalau ia sudah kehabisan bekal dan tidak tahu harus makan apa dan minta tolong kepada siapa.
Akan tetapi, Bu Song biarpun berusia sembilan tahun, namun ia bukan anak sembarangan. Semenjak berusia lima tahun ia sudah diajar membaca dan menulis. Setiap hari ia dijejali kitab-kitab dan pada masa itu, yang disebut kitab pelajaran hanyalah kitab-kitab filsafat, kitab-kitab sajak dan agama yang isinya berat-berat, segalanya ada hubungannya dengan kebatinan. Sekecil itu, Bu Song sudah mempunyai pemandangan yang luas, sudah dapat mempergunakan kebijakan dan dapat menangkap suara batin.
Ia adalah putera Jenderal Kam Si Ek, seorang pahlawan yang patriotik, yang berdisiplin dan berbudi. Ibunya adalah seorang yang memiliki watak aneh dan keras membaja. Agaknya Bu Song mewarisi watak ibunya ini, maka hatinya keras, kemauannya besar dan kenekatannya bulat.
Sekali ia mengambil keputusan, akan diterjangnya terus tanpa takut apa pun juga. Kekerasan hati inilah yang banyak menolongnya dalam perantauan yang tiada tujuan ini, kekerasan hati yang takkan dapat dilemahkan oleh ancaman maut sekalipun. Kemudian kebijaksanaan dan disiplin diri yang ia warisi dari ayahnya membuat ia dapat saja mencari jalan hidup.
Bekalnya tidak banyak, namun sebelum habis sama sekali, ia sudah mempergunakan tenaganya untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Ia tidak malu-malu untuk minta pekerjaan betapa kasar pun di setiap dusun, sekedar minta upah sebagai pengisi perutnya.
Memotong kayu, menjaga sawah, mengembala kerbau, menggiling tahu, menuai gandum, bahkan mengangkut batu kali, apa saja akan dikerjakannya. Tenaga anak ini memang besar dan tubuhnya juga tegap. Namun tak pernah tinggal terlalu lama di sebuah tempat, karena ia mau bekerja hanya untuk menyambung hidupnya.
Biarpun ayah bundanya adalah jagoan silat yang jarang ditemui tandingannya, namun Bu Song yang berusia sembilan tahun itu sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Ia pun tidak ingin belajar silat, karena sejak kecil, kitab-kitab filsafat dan nasihat-nasihat ayahnya membuat ia mempunyai pandangan rendah terhadap ahli silat.
Ahli silat hanya menyeretmu ke dalam pekerjaan kasar dan kotor, demikian nasihat ayahnya. Menjadi tentara, menjadi tukang pukul, menjadi pengawal, atau menjadi perampok! Kesemuanya membutuhkan ilmu silat untuk melawan musuh, untuk membunuh orang lain dalam permusuhan pribadi! Memang ada yang dapat mempergunakan ilmu silat untuk menjadi pendekar dan berbakti untuk negera, membasmi musuh negara, akan tetapi berapa banyaknya? Kecil sekali dibandingkan dengan yang menyeleweng menjadi penjahat mengandalkan kekuatan dan kepandaian silatnya.
Inilah sebabnya mengapa Bu Song sama sekali tidak bisa ilmu silat, namun ia pandai bersajak, pandai pula menulis dan menggambar huruf hias. Karena kekerasan wataknyalah maka ia "memaksa diri" untuk membenci ilmu silat, padahal wataknya yang keras, jujur, tubuhnya yang tegap dan tenaganya yang besar itu menunjukkan bahwa ia memiliki bakat baik untuk menjadi pendekar, bukan menjadi seorang sastrawan! (Bersambung)
(dwi)