Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 7 Bagian 5

Jum'at, 14 Juli 2017 - 18:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Suling...
Suling Emas, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Suling Emas

Tertegun Kwee Seng kadang-kadang menyaksikan sikap nenek ini. Begitu mudah ngambul dan marah, kadang-kadang diam termenung seperti orang menyedihkan sesuatu. Untuk menyenangkan hatinya terpaksa ia menghilangkan panggilan locianpwe dan memanggilnya nenek.

Anehnya kadang nenek itu tertawa menutupi mulutnya mendengar sebutan ini. Dan yang amat membingungkan hati Kwee Seng, setiap kali nenek itu memandangnya dengan mata bening jernih memancarkan semangat bernyala-nyala dan amat tajam, ia merasa seakan-akan pernah melihat mata macam ini. Akan tetapi entah kapan dan dimana, ia tidak dapat ingat lagi karena memang rasanya baru pertama kali ini ia bertemu dengan seorang nenek yang begini aneh.

Dengan mendapat hiburan kitab samadhi itu waktu tidak terasa lagi oleh Kwee Seng. Saking tekunnya ia melatih diri dalam samadhi dan memperdalam ilmu silatnya dari kitab Perbintangan, tak terasa lagi ia telah terkurung di dalam Neraka Bumi itu selama hampir seribu hari!

Tiga tahun lewat tanpa terasa oleh Kwee Seng yang semakin girang menyaksikan kemajuan ilmu silatnya. Tenaga sin-kangnya hebat sekali sehingga ketika ia mencoba kedua tangannya, hawa pukulannya sanggup menahan aliran air yang deras untuk beberapa detik! Dengan latihan-latihan berdasarkan ilmu perbintangan, ia dapat menggunakan dua buah ranting untuk "mendaki" naik sepanjang dinding tebing yang licin dan keras dengan cara menancap-nancapkan dua ranting itu secara bergantian, merayap seperti seekor kelabang!

Hubungannya dengan nenek itu makin akrab dan selama itu Si Nenek memperlihatkan sikap yang penuh kasih sayang, benar-benar ia merasa seperti dekat dengan seorang nenek sendiri, atau bahkan dengan ibu sendiri! Tidaklah mengherankan ketika pada suatu hari Kwee Seng menyatakan keinginannya untuk mencari jalan keluar, nenek itu menangis tersedu-sedu!

"Kalau kau pergi ... aku... aku mati saja..." Si Nenek berkata dalam tangisnya.

"Nenek, mengapa begitu?" Kwee Seng menghibur. "Percayalah, kalau aku bisa mendapatkan jalan keluar, tentu kau akan kuajak keluar dari neraka ini dan..."

"Tidak...! Tidak...! Mau apa aku mencari derita di dunia ramai? Aku mau mati di sini!"

Kwee Seng terharu, melangkah maju dan menyentuh pundak nenek itu. "Harap kau jangan berpendirian begitu, Nek...!"

"Jangan sentuh aku!" Tiba-tiba nenek itu menggerakkan pundaknya dan Kwee Seng merasa betapa dari pundak itu keluar tenaga dorongan yang cukup hebat. Ia merasa heran. Memang hebat tenaga dorongan pundak yang hanya digerakkan begitu saja, akan tetapi ia harus akui bahwa tenaga itu tidaklah sehebat yang ia sangka. Tenaga murni dari sin-kang nenek ini agaknya tidak akan melebihi tenaga sin-kangnya sendiri. Hal ini amatlah mengherankan.

"Nenek yang baik. Aku harus mengaku bahwa aku telah menerima budimu bertumpuk-tumpuk, sampai mati pun aku takkan mampu membalas budimu. Oleh karena itu, perkenankanlah aku mencari jalan keluar dan membawamu di dunia ramai, dan aku bersumpah akan menganggap kau sebagai nenek atau ibu sendiri, dan aku akan berbakti kepadamu, merawatmu, menjagamu untuk membalas budi..."

"Cukup! Aku tak mau dengar lagi!" Nenek itu lalu meninggalkannya dengan sikap marah. Kwee Seng duduk terlongong, terheran-heran. Akan tetapi sikap nenek itu tentu saja tidak memadamkan niatnya untuk mencari jalan keluar. Betapa pun besar ia berhutang budi, masa ia yang masih muda mengubur diri sampai mati di tempat itu?

Tiba-tiba terdengar suara berkerosokan hebat di sebelah atas, dan keadaan menjadi gelap. Cepat-cepat Kwee Seng menyalakan lampu dari minyak yang dikumpulkan dari ikan sehingga keadaan di situ menjadi remang-remang. Nenek itu datang berjalan perlahan.

"Suara apakah itu, Nek?"

"Hujan! Agaknya akan datang musim hujan besar. Dulu pernah sampai tiga puluh hari lebih tidak cahaya matahari, gelap di sini dan Arus Maut mengalir deras mengamuk, membabi buta."

"Wah, celaka! Tentu di sini terendam air, Nek?"

"Jangan kuatir. Air itu membanjir ke depan, terus keluar melalui terowongan. Tak pernah banjir di sini, akan tetapi sukar menangkap ikan. Maka sebelum banjir besar dan gelap datang, kita harus banyak mengumulkan ikan untuk bahan makan, juga mengumpulkan sayur."

Tiga hari mereka kerja keras, setiap saat menangkap ikan dan mengumpulkan kayu bakar, sayur-sayur. Kemudian tibalah musim gelap dan hujan yang dikuatirkan. Air yang mengalir ke dalam terowongan itu menjadi liar dan besar, batu-batu diterjangnya hanyut, suaranya memenuhi ruangan itu, bergema menakutkan. Lubang di atas melalui tebing-tebing tinggi itu tidak dijenguk matahari lagi.

Gelap pekat, hanya diterangi lampu minyak yang hanya kadang-kadang kalau perlu saja dinyalakan, harus seringkali dipadamkan, apalagi diwaktu mereka tidur, untuk menghemat minyaknya. Si Nenek tidak marah-marah lagi. Dalam keadaan terancam itu mereka seringkali duduk bercakap-cakap. (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0377 seconds (0.1#10.140)