Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 7 Bagian 7
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
Kwee Seng mengangkat pundak. "Nek, kau mengkuatirkan hatiku karena menangis sejak tadi. Diamlah, Nek. Apakah kau sakit?"
Tidak ada jawaban pula, akan tetapi suara isak itu mengendur dan mereda, akhirnya terdiam. Lega hati Kwee Seng dan ia sudah merebahkan diri telentang, bermaksud untuk beristirahat dan tidur. Akan tetapi beberapa menit kemudian terdengar suara Si Nenek, agak jauh dari tempat ia berbaring.
"Kwee Seng..."
"Ya, Nek. Ada apa?"
"Kalau kau keluar dari sini..." berhenti seakan sukar dilanjutkan.
"Ya....?" Kwee Seng mendesak.
"...Aku tidak akan ikut. Tapi aku hanya mempunyai sebuah permintaan..."
"Ya...? Permintaan apa, Nek? Tentu aku siap untuk melaksanakan semua permintaanmu."
"Kwee Seng, bukankah kau bilang bahwa kau berhutang budi kepadaku dan sanggup untuk membalas budi dengan merawatku selamanya?"
"Betul, Nek, betul. Karena itu kau harus ikut..."
"Tak perlu kau lakukan hal itu. Tak perlu bersusah payah merawatku selama hidup. Sebagai gantinya, aku hanya minta sedikit.."
"Apa, Nek? Katakanlah." Hening kembali sampai lama, menegangkan hati Kwee Seng yang makin tidak mengerti akan keanehan nenek itu.
"Ya, Nek? Bagaimana kehendakmu?"
"Kwee Seng, keadaan hujan dan gelap ini akan makan waktu sedikitnya lima belas hari lagi."
"Ya, betul agaknya. Lalu?"
"Selama itu kau tidak boleh mencoba keluar..."
Kwee Seng tertawa. Hanya inikah permintaannya? Gila benar. Mengapa bersusah-susah mengucapkannya? "Ha-ha! Tentu saja, Nek. Tidak usah memintapun bagaimana aku dapat keluar kalau Arus Maut begitu hebat mengamuk?"
"Selama gelap dan hujan kau tinggal di sini dan..."
"Ya...??" Kwee Seng mulai tidak sabar.
".... dan... kita menjadi suami isteri sampai hujan berhenti!"
"Apa??" Kini Kwee Seng terloncat ke atas dan jatuh berdebuk di atas tanah. Begitu saja ia terguling dari atas pembaringan batu, saking kagetnya. Ia terhenyak di atas lantai, terlongong keheranan, seketika menjadi bisu tak dapat mengeluarkan suara. Setelah lidahnya tidak kaku lagi, suara yang dapat keluar dari mulutnya hanya, "... apa...? ?... ah... bagaimana...?" Ia tidak percaya kepada telinganya sendiri.
Suara nenek itu penuh kegetiran, terdengar lirih mengandung rasa malu. "Hanya itu permintaanku. Kita menjadi suami isteri sampai pada saat kau berhasil keluar dari sini, yaitu setelah hujan berhenti."
Kwee Seng meloncat berdiri, mengepal tinjunya, mengerutkan keningnya.
"Apa?? Gila ini! Tak mungkin!!"
Sunyi sejenak, lalu terdengar nenek itu tersedu-sedu menangis, ditahan-tahan sehingga suara tangisnya tertutup, agaknya kedua tangan nenek yang kecil itu menutupi mulut dan hidung agar sedu sedannya tidak terlalu keras. Kemudian terdengar suara nenek itu makin jauh dari situ, diantara tangisnya,
"Ah, aku tahu... kau tentu menolak... kau tentu menolak... "
Kwee Seng terduduk di atas pembaringan batu, ada sejam lebih tak bergerak-gerak, seakan-akan ia sudah pula berubah menjadi batu. Suara sedu-sedan nenek itu seakan-akan pisau menusuk-nusuk jantungnya. Apakah nenek itu sudah menjadi gila?
Nenek-nenek yang melihat keriput di mukanya tentu berusia enam puluh tahun kurang lebih, bagaimana ingin menjadi isterinya? Mana ia sudi melayani kehendak nenek yang gila-gilaan ini? Menjemukan sekali! Sialan! Kwee Seng mengumpat diri sendiri. Ada wanita yang mencintanya, seorang nenek-nenek hampir mati! Mana mungkin ia membalas cinta seorang nenek-nenek yang buruk rupa? Teringat ia akan Ang-siauw-hwa. Teringat pula Liu Lu Sian. (Bersambung)
Kwee Seng mengangkat pundak. "Nek, kau mengkuatirkan hatiku karena menangis sejak tadi. Diamlah, Nek. Apakah kau sakit?"
Tidak ada jawaban pula, akan tetapi suara isak itu mengendur dan mereda, akhirnya terdiam. Lega hati Kwee Seng dan ia sudah merebahkan diri telentang, bermaksud untuk beristirahat dan tidur. Akan tetapi beberapa menit kemudian terdengar suara Si Nenek, agak jauh dari tempat ia berbaring.
"Kwee Seng..."
"Ya, Nek. Ada apa?"
"Kalau kau keluar dari sini..." berhenti seakan sukar dilanjutkan.
"Ya....?" Kwee Seng mendesak.
"...Aku tidak akan ikut. Tapi aku hanya mempunyai sebuah permintaan..."
"Ya...? Permintaan apa, Nek? Tentu aku siap untuk melaksanakan semua permintaanmu."
"Kwee Seng, bukankah kau bilang bahwa kau berhutang budi kepadaku dan sanggup untuk membalas budi dengan merawatku selamanya?"
"Betul, Nek, betul. Karena itu kau harus ikut..."
"Tak perlu kau lakukan hal itu. Tak perlu bersusah payah merawatku selama hidup. Sebagai gantinya, aku hanya minta sedikit.."
"Apa, Nek? Katakanlah." Hening kembali sampai lama, menegangkan hati Kwee Seng yang makin tidak mengerti akan keanehan nenek itu.
"Ya, Nek? Bagaimana kehendakmu?"
"Kwee Seng, keadaan hujan dan gelap ini akan makan waktu sedikitnya lima belas hari lagi."
"Ya, betul agaknya. Lalu?"
"Selama itu kau tidak boleh mencoba keluar..."
Kwee Seng tertawa. Hanya inikah permintaannya? Gila benar. Mengapa bersusah-susah mengucapkannya? "Ha-ha! Tentu saja, Nek. Tidak usah memintapun bagaimana aku dapat keluar kalau Arus Maut begitu hebat mengamuk?"
"Selama gelap dan hujan kau tinggal di sini dan..."
"Ya...??" Kwee Seng mulai tidak sabar.
".... dan... kita menjadi suami isteri sampai hujan berhenti!"
"Apa??" Kini Kwee Seng terloncat ke atas dan jatuh berdebuk di atas tanah. Begitu saja ia terguling dari atas pembaringan batu, saking kagetnya. Ia terhenyak di atas lantai, terlongong keheranan, seketika menjadi bisu tak dapat mengeluarkan suara. Setelah lidahnya tidak kaku lagi, suara yang dapat keluar dari mulutnya hanya, "... apa...? ?... ah... bagaimana...?" Ia tidak percaya kepada telinganya sendiri.
Suara nenek itu penuh kegetiran, terdengar lirih mengandung rasa malu. "Hanya itu permintaanku. Kita menjadi suami isteri sampai pada saat kau berhasil keluar dari sini, yaitu setelah hujan berhenti."
Kwee Seng meloncat berdiri, mengepal tinjunya, mengerutkan keningnya.
"Apa?? Gila ini! Tak mungkin!!"
Sunyi sejenak, lalu terdengar nenek itu tersedu-sedu menangis, ditahan-tahan sehingga suara tangisnya tertutup, agaknya kedua tangan nenek yang kecil itu menutupi mulut dan hidung agar sedu sedannya tidak terlalu keras. Kemudian terdengar suara nenek itu makin jauh dari situ, diantara tangisnya,
"Ah, aku tahu... kau tentu menolak... kau tentu menolak... "
Kwee Seng terduduk di atas pembaringan batu, ada sejam lebih tak bergerak-gerak, seakan-akan ia sudah pula berubah menjadi batu. Suara sedu-sedan nenek itu seakan-akan pisau menusuk-nusuk jantungnya. Apakah nenek itu sudah menjadi gila?
Nenek-nenek yang melihat keriput di mukanya tentu berusia enam puluh tahun kurang lebih, bagaimana ingin menjadi isterinya? Mana ia sudi melayani kehendak nenek yang gila-gilaan ini? Menjemukan sekali! Sialan! Kwee Seng mengumpat diri sendiri. Ada wanita yang mencintanya, seorang nenek-nenek hampir mati! Mana mungkin ia membalas cinta seorang nenek-nenek yang buruk rupa? Teringat ia akan Ang-siauw-hwa. Teringat pula Liu Lu Sian. (Bersambung)
(dwi)